Buya Hamka Vol. 1 menghadirkan kisah mengenai perjuangan buya Hamka dan kecintaannya pada pers, keluarga, dan juga Islam. Naskahnya bak kepingan-kepingan sejarah yang belum utuh, melompat dari masa ke masa. Akan tetapi, filmnya tetap mampu memunculkan rasa haru dan inspiratif, membuat saya semakin mencintai dunia kepenulisan.
Setelah diundur penayangannya, akhirnya sekuel dari film Buya Hamka Vol. 1 tayang dan berganti judul menjadi "Hamka & Siti Raham Vol. 2". Entah mengapa, rasanya Falcon sengaja mengikuti formula judul "Habibie & Ainun" agar dapat menggaet ketertarikan penonton. Ekspektasi saya, film keduanya ini akan berfokus pada hubungan romansa.
Sayangnya, ekspektasi tersebut sirna diganti kecewa. Hamka & Siti Raham memang berhasil menghadirkan penceritaan yang lebih rapih dibandingkan film pertamanya, namun film ini kehilangan 'rasa' yang ada pada film sebelumnya.
Hamka & Siti Raham Vol. 2 menyorot kehidupan Hamka pasca Indonesia merdeka. Kedatangan kembali Belanda ke Indonesia, konflik antara TNI dan Hizbullah, perbedaan pendapat antara Soekarno dan Hamka yang menyebabkan Hamka dipenjara, hingga Hamka yang menjadi ketua MUI pertama.
Penggunaan judul "Hamka & Siti Raham" rasanya hanya menjadi gimmick saja. Dikarenakan film ini masih sama seperti sebelumnya, yakni fokus menyorot dakwah dan konflik yang dihadapi oleh Buya Hamka. Sedangkan porsi romansanya hanya muncul sesekali sebagai pemanis film ini.
Film ini membawa begitu banyak konflik, terlalu banyak untuk film berdurasi 105 menit. Naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Massardi lebih memilih menggunakan metode merangkum sejarah, alih-alih fokus pada satu momen penting. Alhasil, naskahnya terasa terburu-buru, lompat antara satu masa ke masa, dengan dampak emosi yang serba tanggung.
Bagaimana tidak? Segudang potensi dimiliki film ini, namun disia-siakan begitu saja. Konfliknya hanya mengambang di permukaan, tanpa ada eksplorasi mendalam. Contohnya adalah tatkala film ini menyorot konflik antara Soekarno dan Hamka, yang seharusnya tampil dengan intens, malah berujung hambar. Naskahnya luput menjelaskan pada penonton mengenai konflik apa yang sedang dihadapi, mengapa Soekarno tega memenjarakan sahabatnya sendiri.Â
Jika kita melihat film-film biopik lain, karakter utama tak harus selalu ada di setiap adegan. Ada kalanya karakter antagonis perlu diberi sorotan, agar penonton dapat memahami pandangan dari kedua sisi. Andai teknik ini diterapkan, niscaya konfliknya akan mampu menyorot Soekarno dan Hamka secara imbang, memancing atensi penonton, dan membuat filmnya semakin kaya dengan nilai sejarah.
"Hamka & Siti Raham Vol. 2" seharusnya mampu menghadirkan sudut pandang yang luas, yang tak hanya menyorot dari satu sisi. Andai bagaimana perubahan Soekarno dalam pandangannya kepada Buya Hamka juga diperlihatkan, niscaya filmnya tak akan terasa terlalu hambar.
Namun apalah daya, penonton dipaksa untuk memahami sendiri apa yang dialami oleh Buya Hamka. Begitu pula tatkala novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dituduh plagiat oleh Pramoedya Ananta Toer, konfliknya hanya 'numpang lewat' dan tidak diberi pendalaman yang lebih.Â
Semuanya serba tiba-tiba; Buya Hamka tiba tiba masuk penjara, tiba tiba naskahnya dituduh plagiat, tiba tiba sudah keluar, tiba-tiba konflik selesai. Hamka & Siti Raham Vol. 2 seperti sengaja bermain aman demi menghindari perdebatan sejarah.Â
Berbicara soal naskah, banyak dialog-dialog tidak perlu yang menunjukkan kemalasan film ini dalam menggali mengenai sosok Buya Hamka. Sisi kritis seorang Hamka hanya ditampilkan melalui tulisan yang hanya muncul selewat dalam film ini, dan luput menampilkan sisi kritis seorang Hamka pada kehidupan sehari-hari.
Selain itu, terdapat pula penggunaan kalimat-kalimat thayyibah (Subhanallah, MasyaAllah, dan lainnya) secara berlebihan. Kalimat tersebut jelas baik dan wajar dikatakan oleh seorang ulama besar, namun ada kalanya terkesan sebagai upaya untuk menggantikan dialog yang seharusnya lebih substansial. Hal ini menciptakan kesan bahwa film ini enggan untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan sulit atau dialog yang memerlukan jawaban lebih mendalam.Â
Ketidakmampuannya bertutur secara rapih berusaha ditutupi "Hamka & Siti Raham Vol. 2" dengan menggunakan skoring musik yang mendominasi film ini. Harapannya penonton dapat merasakan emosi yang dirasakan oleh tiap karakter. Sayangnya hal tersebut gagal dirasakan oleh saya sebagai penonton. Overscoring justru menjadi kelemahan film ini.
Pengarahan Fajar Bustomi juga terlihat malu-malu. Ia cenderung bermain aman terhadap rating 'semua umur', menghindar menggunakan metode yang lebih intens tatkala Hamka harus berhadapan dengan polisi yang menginterogasi, maupun tatkala adegan dirinya tertembak. Fajar lebih memilih pendekatan dramatis.
Namun ada satu adegan yang patut diapresiasi, yakni tatkala Buya Hamka hendak membunuh dirinya sendiri dengan menyayat tangannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hamka juga manusia yang bisa merasakan putus asa. Naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Masardi berserta penyutradaraan Fajar Bustomi cukup mampu memotret momen tersebut dengan baik.
Akting Vino G. Bastian sebagai Buya Hamka mampu menggambarkan sosok kharimatik Hamka. Bagaimana ekspresinya tatkala berdakwah, bagaimana ia begitu mencintai istrinya, mampu ia sampaikan dengan baik melalui gestur dan gaya bicara yang apik.Â
Begitu pula dengan Laudya Cynthia Bella yang berperan sebagai Siti Raham. Ia mampu menghidupkan karakternya dengan baik, menunjukkan dukungan Siti Raham dalam setiap kegiatan yang Hamka lakukan.Â
Chemistry keduanya berhasil dijalin dengan apik, meski sorotan untuk kedua karakternya masih belum berimbang. Porsi romansa yang menyorot momen berdua juga tampil sedikit sekali dalam film ini.
"Hamka & Siti Raham Vol. 2" berhasil menghindarkan keindahan Minang dan kekayaan alamnya. Namun tatkala Hamka pindah ke Jakarta, sorotan terhadap kondisi perkotaan kala itu kurang mampu ditampilkan dengan baik. Sinematografi dengan penggunaan color grading yang serba kuning juga cukup mengganggu saya sebagai penonton.
Bukan berarti Hamka & Siti Raham Vol. 2Â gagal sebagai tontonan inspiratif. Film ini tetap berhasil menghadirkan pesan dakwah yang dalam dan menyentuh, hanya saja pengemasannya kurang mampu melibatkan rasa. Naskahnya yang seperti buku rangkuman sejarah membuat film ini terasa hambar, tanpa adanya puncak konflik yang memantik rasa penasaran penonton.
Rating pribadi: 6/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H