Namun apalah daya, penonton dipaksa untuk memahami sendiri apa yang dialami oleh Buya Hamka. Begitu pula tatkala novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dituduh plagiat oleh Pramoedya Ananta Toer, konfliknya hanya 'numpang lewat' dan tidak diberi pendalaman yang lebih.Â
Semuanya serba tiba-tiba; Buya Hamka tiba tiba masuk penjara, tiba tiba naskahnya dituduh plagiat, tiba tiba sudah keluar, tiba-tiba konflik selesai. Hamka & Siti Raham Vol. 2 seperti sengaja bermain aman demi menghindari perdebatan sejarah.Â
Berbicara soal naskah, banyak dialog-dialog tidak perlu yang menunjukkan kemalasan film ini dalam menggali mengenai sosok Buya Hamka. Sisi kritis seorang Hamka hanya ditampilkan melalui tulisan yang hanya muncul selewat dalam film ini, dan luput menampilkan sisi kritis seorang Hamka pada kehidupan sehari-hari.
Selain itu, terdapat pula penggunaan kalimat-kalimat thayyibah (Subhanallah, MasyaAllah, dan lainnya) secara berlebihan. Kalimat tersebut jelas baik dan wajar dikatakan oleh seorang ulama besar, namun ada kalanya terkesan sebagai upaya untuk menggantikan dialog yang seharusnya lebih substansial. Hal ini menciptakan kesan bahwa film ini enggan untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan sulit atau dialog yang memerlukan jawaban lebih mendalam.Â
Ketidakmampuannya bertutur secara rapih berusaha ditutupi "Hamka & Siti Raham Vol. 2" dengan menggunakan skoring musik yang mendominasi film ini. Harapannya penonton dapat merasakan emosi yang dirasakan oleh tiap karakter. Sayangnya hal tersebut gagal dirasakan oleh saya sebagai penonton. Overscoring justru menjadi kelemahan film ini.
Pengarahan Fajar Bustomi juga terlihat malu-malu. Ia cenderung bermain aman terhadap rating 'semua umur', menghindar menggunakan metode yang lebih intens tatkala Hamka harus berhadapan dengan polisi yang menginterogasi, maupun tatkala adegan dirinya tertembak. Fajar lebih memilih pendekatan dramatis.
Namun ada satu adegan yang patut diapresiasi, yakni tatkala Buya Hamka hendak membunuh dirinya sendiri dengan menyayat tangannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hamka juga manusia yang bisa merasakan putus asa. Naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Masardi berserta penyutradaraan Fajar Bustomi cukup mampu memotret momen tersebut dengan baik.
Akting Vino G. Bastian sebagai Buya Hamka mampu menggambarkan sosok kharimatik Hamka. Bagaimana ekspresinya tatkala berdakwah, bagaimana ia begitu mencintai istrinya, mampu ia sampaikan dengan baik melalui gestur dan gaya bicara yang apik.Â