Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Budi Pekerti", Tuntutan Menjadi Individu Sempurna di Era Digital

7 November 2023   16:23 Diperbarui: 8 November 2023   15:28 1901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan film "Budi Pekerti" karya Wregas Bhanuteja. Sumber foto: Screenshot YouTube Rekata Studio

"Apakah cuma karena video 20 detik, 20 tahun pengabdian ibu jadi guru akan hancur?"

Pertanyaan tersebut berasal dari Tita, anak Bu Prani dalam film "Budi Pekerti". Bu Prani merupakan guru BK yang memiliki metode unik dalam menangani siswa-nya. Ia lebih suka menggunakan metode 'refleksi' dibanding 'hukuman' bagi murid-muridnya yang melanggar peraturan. 

Misal, saat ada siswa yang mengumpat pada temannya menggunakan kata-kata kasar, Bu Prani memerintahkan siswa tersebut untuk mengulang kembali kata-kata tersebut di depan tumbuhan yang ia tanam, lalu mengukur, "Mana tumbuhan yang tumbuh lebih tinggi? Apakah yang diberi makian atau tidak?".

Berkat metodenya yang unik dan berhasil membangun kesadaran siswa akan perbuatan yang dilakukannya, Bu Prani diangkat menjadi kandidat calon wakasek di sekolah. 

Posisi tersebut teramat penting baginya, karena ia perlu membiayai biaya ke psikolog untuk suaminya yang menderita bipolar. Gejala bipolar yang dialami suaminya diakibatkan karena efek pandemi yang berimbas pada bangkrutnya setiap usaha yang pernah dibuat.

Ia memiliki dua anak, Mukhlas dan Tita. Mukhlas merupakan konten kreator/influencer dengan ratusan ribu pengikut, sedangkan Tita merupakan musisi yang gemar menyuarakan keadilan dalam lirik-liriknya. 

Naas, nasib Bu Prani hancur tatkala ia menegur seorang lelaki yang merebut antriannya tatkala membeli kue putu. Bu Prani mengeluarkan kata "Ah, suwi" yang artinya "Ah, lama". Namun, dalam video yang diunggah oleh seorang pembeli, sekilas ucapan tersebut terdengar seperti umpatan "Asui" yang berarti anjing.

Netizen merundung Prani di sosial media, pihak sekolah lebih mendahulukan reputasi sekolahnya, dan keluarga terkena dampaknya. Akankah Bu Prani mampu meyakinkan publik bahwa dirinya tidak bersalah? Akankah pengabdiannya sebagai guru akan hancur hanya karena video 20 detik?


"Budi Pekerti" merupakan film yang ditulis dan disturadarai oleh Wregas Bhanuteja, dan dibintangi oleh Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, Dwi Sasono, dan pemain lainnya. Berdurasi 1 jam 51 menit, film ini akan membawa kamu untuk berefleksi dan merasakan beragam emosi melalui kacamata sosial yang relate dengan semua orang.

Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini review-nya!

Mengungkapkan Keresahan Pada Era Media Sosial

Dahsyatnya sosial media yang dapat membuat viralitas dalam hitungan jam, sumber foto: Screenshot YouTube Rekata Studio 
Dahsyatnya sosial media yang dapat membuat viralitas dalam hitungan jam, sumber foto: Screenshot YouTube Rekata Studio 

Sejak pertama kali mendengar karya terbaru Wregas ini masuk ke dalam TIFF, saya sangat yakin bahwa film "Budi Pekerti" akan menawarkan sesuatu yang berbeda dari film Indonesia kebanyakan. 

Hal tersebut telah terbukti benar. Setelah kesuksesannya dalam film "Penyalin Cahaya", Wregas kembali memamerkan kematangannya dalam film "Budi Pekerti" Ia berhasil menggambarkan berbagai ketidakpastian dan konflik yang seringkali kita alami dalam kehidupan era digital melalui karyanya yang terbaru ini.

"Budi Pekerti" berhasil memperlihakan bagaimana masyarakat saat ini seringkali ditekan untuk menjadi individu tanpa cela yang harus selalu tampil 'benar,' tak boleh membuat kesalahan. Jika salah sedikit saja, maka risiko yang didapatkan oleh Bu Prani mungkin juga akan dapat kita alami.

Naskah yang disusun dengan cermat oleh Wregas mengamati detail-detail yang bernilai dan membuat film ini terasa relevan dan dekat dengan penonton. Bu Prani mungkin hanyalah seorang warga biasa, bukan selebritas atau tokoh penting, namun berkat kehadiran media sosial dan kemasan konten clickbait yang memancing penasaran, video teguran Bu Prani pada penyerobot antrian mendadak viral.

"Budi Pekerti" mengajak kita untuk mengikuti upaya Bu Prani dalam membersihkan reputasi. Beragam cara dilakukan, baik proaktif maupun pasif, yang kerap justru menjadi bumerang dan mendatangkan masalah baru.

Film ini mengajak kita untuk merenung, perlukah kita membuka semua privasi kita dan menceritakan semua hal demi menggaet kepercayaan publik, tatkala mereka sebetulnya hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu bentuk keresahan Wregas yang ditumpahkan dalam film ini.

Bu Prani (Ine Febriyanti) dalam film
Bu Prani (Ine Febriyanti) dalam film "Budi Pekerti" karya Wregas Banuteja. Sumber foto: Dok. Rekata Studio

Tak hanya berbicara perihal dampak dari sensasi media sosial, kritik terhadap sistem pendidikan yang dihadirkan dalam film "Budi Pekerti" sangat relevan dengan realitas sosial saat ini.

Penekanan pada citra sekolah dan penilaian berlebihan terhadap kesalahan kecil menggambarkan ketidakseimbangan yang masih ada dalam dunia pendidikan. 

Wregas dengan tajam mengekspos kebijakan yang merugikan guru dan siswa, serta dampak negatifnya terhadap keadilan dan keberagaman dalam sistem pendidikan. 

Sekolah, yang harusnya mengutamakan keadilan dan kesejahteraan guru, baik secara fisik maupun psikis, malah berubah menjadi 'tempat penghakiman' bagi Bu Prani dan memaksanya untuk meminta maaf atas tindakannya yang sebenarnya benar.

Selain itu, isu kesehatan mental juga diperkenalkan oleh Wregas dalam bagian tengah hingga akhir film. Film ini menggambarkan bagaimana netizen dengan mudahnya menyimpulkan bahwa seseorang memiliki 'trauma' hanya berdasarkan asumsi semata. 

Para ahli juga terlibat dalam mengkotak-kotakkan situasi tanpa berbicara langsung kepada Bu Prani dan hanya bermodalkan video pendek untuk menilai salah/benarnya tindakan tersebut, yang justru memperburuk keadaan.

Wregas berhasil menyampaikan pesan kritisnya dengan humor ringan, membuat film ini mudah dicerna oleh penonton. "Budi Pekerti" membuktikan bahwa kritik sosial dalam film tidak selalu harus berat; dengan pendekatan yang tepat, pesan yang kuat dapat disampaikan dengan cara yang menghibur.

Kualitas Produksi yang Patut Diapresiasi

Prani (Ine Febriyanti) dan anaknya, Muklas (Angga Yunanda). Sumber foto: Instagram/@filmbudipekerti
Prani (Ine Febriyanti) dan anaknya, Muklas (Angga Yunanda). Sumber foto: Instagram/@filmbudipekerti

Kualitas film "Budi Pekerti" juga didukung dengan kualitas produksi yang maksimal. Rumahnya dibuat dengan serealistis mungkin, dengan memperhatikan setiap detail kecil, menciptakan kesan bahwa Bu Prani adalah tokoh dari keluarga biasa yang hidup dalam keterbatasan. 

Selain itu, desain kostum dalam film ini juga patut mendapat pujian. Penggunaan masker kuning, kemeja kuning, dan helm kuning oleh Bu Prani memiliki makna mendalam, diambil langsung dari warna kuning pada cover buku "Pendidikan Moral Pancasila" yang membahas pelajaran budi pekerti. Hal ini membuat Bu Prani menjadi simbol dari nilai-nilai budi pekerti, yaitu mempertahankan prinsip-prinsipnya meski dihadapkan pada tekanan dari berbagai pihak.

Penggambaran berbagai komentar dan konten yang dibuat oleh netizen dalam memviralkan video pendek 20 detik juga sangat realistis dan sesuai dengan kondisi sosial media saat ini. 

Berbagai konten seperti video reaksi, remix video yang dijadikan lagu DJ, meme, dan konten vlog makanan digambarkan dengan sangat detail, menggambarkan betapa 'gila'-nya fenomena viral di media sosial yang pada akhirnya memiliki potensi untuk menghancurkan kehidupan seseorang.

Akting dan Chemistry yang Kuat Dari Setiap Pemain

Prilly Latuconsina berperan sebagai Tita dalam film
Prilly Latuconsina berperan sebagai Tita dalam film "Budi Pekerti". Sumber foto: dok. Rekata Studio dan Kaninga Pictures

Penyutradaraan Wregas yang sangat memperhatikan detail emosi setiap karakternya, baik melalui ekspresi maupun gestur, berhasil diinterpretasikan dengan sangat baik oleh para aktor dan aktris yang memerankan karakter-karakter dalam film ini. 

Ine Febriyanti yang berperan sebagai Bu Prani sukses membawakan kompleksitas karakternya dengan brilian. ambiguitas karakternya. Ia mampu menggambarkan ambiguitas dalam hati Prani dengan sangat mendalam. 

Apa yang sebenarnya berkecamuk dalam hati Prani? Apakah pria yang ia tegur di depan penjual putu memang benar-benar menyerobot antrian, atau sama seperti para netizen di media sosial, Prani sudah lebih dulu berprasangka? Apakah metode refleksi yang ia terapkan pada Gor merupakan metode yang tepat, atau memang ternyata punya cela?

Bu Prani memang bukanlah sosok yang sempurna, demikian juga metode refleksi yang ia gunakan. Ketidaksempurnaan itu berhasil disampaikan dengan baik melalui ekspresi wajahnya dan gerakan tubuh yang diperlihatkan dalam sorotan close-up, mengundang penonton untuk ikut merasakan perasaan dan konflik batin yang dirasakan oleh Bu Prani. 

Angga Yunanda yang berperan sebagai Mukhlas dan Prilly Latuconsina yang berperan sebagai Tita juga turut memperkuat nuansa dalam film ini. Penggunaan bahasa Jawa yang fasih, disertai dengan selipan comic timing yang tepat mampu mencairkan suasana di tengah situasi yang sedang runyam. 

Chemistry Angga, Ine Febriyanti, Dwi Sasono, dan Prilly Latuconsina berhasil dijalin dengan solid dan menjadi penggerak rasa dalam film "Budi Pekerti".

Skoring Musik yang menambah bobot emosi

Penggunaan skoring musik dalam film ini juga hadir dengan porsi yang tepat. Munculnya musik-musik DJ yang lirik-liriknya bak meledek Bu Prani membuat saya teringat dengan sebuah video pendek yang viral di sosial media, yang kemudian dijadikan remix dan lagu DJ dan diparodikan oleh banyak orang.

Peletakan musik skoring dalam film ini juga sesuai dengan adegan yang tengah ditampilkan, khususnya pada bagian akhir film yang menggunakan soundtrack berjudul "Dan Hujan I" karya Gardika Gigih. Air mata saya tak berhenti mengalir tatkala lagu ini terdengar, sembari melihat akhir dari film yang terasa menyesakkan dada. 

Cuplikan film
Cuplikan film "Budi Pekerti" karya Wregas Bhanuteja. Sumber foto: Screenshot YouTube Rekata Studio

Itulah review saya mengenai film "Budi Pekerti", apakah kamu tertarik untuk menontonnya?

Secara keseluruhan, "Budi Pekerti" berhasil menghadirkan kritik sosial dalam ceritanya yang mewakilkan keresahan banyak orang. Naskahnya disusun dengan rapih oleh Wregas, dengan beragam keresahan yang hadir, mulai dari dampak dari cyber bullying, viralitas sosial media, kritik pada institusi pendidikan, hingga perihal kesehatan mental. 

Mungkin filmnya masih menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai salah/benarnya metode yang Bu Prani lakukan. Namun, film ini hadir bukan untuk memberikan jawaban. Berbeda dengan soal pelajaran budi pekerti, masalah dalam kehidupan tidak selalu dapat dipecahkan. Ada kalanya kita hanya perlu membiarkan hidup kita berjalan.

Dengan akting dan chemistry yang solid dari tiap pemain, didukung dengan kualitas produksi, sinematografi, dan penggunaan skoring musik yang tepat, membuat "Budi Pekerti" berhasil menjadi film yang kaya akan rasa, yang tak hanya menghibur, melainkan juga membuat penonton turut berefleksi tatkala selesai menontonnya.

Skor pribadi: 10/10

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun