"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja."
Ya, kata-kata yang saya sebutkan di atas adalah quotes dari salah satu tokoh terkenal bangsa kita, yang dikenal sebagai ulama besar pada masanya. Siapakah ia? Ya! Buya Hamka.
Buya Hamka adalah ulama, wartawan, penulis, pahlawan kemerdekaan, sekaligus ketua MUI pertama dan juga pengurus Muhammadiyah pada masanya. Kehebatan beliau inilah yang menjadi inspirasi ide para sineas untuk mengangkat kisahnya menjadi film biopik, yang berjudul "Buya Hamka".
Film Buya Hamka adalah film yang diproduksi oleh Falcon Pictures dan disutradarai oleh Fajar Bustomi, dan bercerita tentang perjalanan kisah hidup Buya Hamka dari tahun ke tahun.Â
Perjalanannya yang begitu panjang membuat filmnya memiliki total durasi 7 jam, yang kemudian dibagi ke dalam 3 volume. Volume 1 akan tayang pada 20 April 2023, sedangkan Volume 2 direncanakan akan tayang pada Idul Adha.
Buya Hamka Volume 1 fokus pada periode di mana Buya Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, dan beliau berhasil memberikan pengaruh besar pada organisasi tersebut. Ia juga menulis sastra koran dan juga cerita roman, yang ternyata disukai oleh banyak pembaca.Â
Hamka diberikan tawaran untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat, dan ia beserta keluarganya memutuskan untuk pindah dan menerima tawaran tersebut.Â
Redaksi tersebut sukses besar, korannya laku keras di masyarakat, dan tulisannya terkenal. Namun, hal tersebut juga membuat Buya Hamka berbenturan dengan Jepang karena dianggap berbahaya.Â
Karena banyaknya aturan Jepang yang memberatkan umat Islam pada saat itu, pihak Jepang dan Buya Hamka melakukan negosiasi.
Negosiasi yang dilakukan oleh Buya Hamka ternyata membuat banyak orang salah paham, ia dituduh sebagai penjilat dan pengkhianat, dan membuat Hamka diminta untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Muhammadiyah.
Buya Hamka Volume 1.Â
Pada hari Minggu, 09 April 2023 saya diberi kesempatan oleh Cinemags dan KOMIK Kompasiana untuk menghadiri Gala Premiere filmFilmnya bertabur aktor dan aktris terkenal, juga menjadi film biopik Indonesia dengan modal terbesar. Namun, apakah modal yang besar tersebut sepadan dengan kualitasnya?Â
Yuk simak, ini ulasannya!
Film Buya Hamka Vol 1 adalah surat cinta beliau terhadap Pers, Islam, dan Indonesia
Menonton film Buya Hamka volume 1 bagaikan melihat surat cinta beliau untuk keluarganya, Pers, Islam, dan Indonesia. Penonton diperlihatkan betapa besar perjuangan dan rasa cintanya terhadap itu semua.Â
Di babak awal filmnya mulai, kita diperlihatkan bagaimana Buya Hamka begitu mencintai hobinya, yakni menulis. Namun, tujuannya menulis tak hanya sekadar penghilang bosan. Ia memiliki tujuan besar, yakni untuk berdakwah juga berjuang untuk Indonesia.Â
Film Buya Hamka juga berhasil memperlihatkan betapa sayangnya beliau pada keluarganya. Bagaimana cintanya terhadap istrinya (Siti Raham), yang selalu mendukung dan membantu dalam perjuangannya.Â
Caranya mendidik anak-anaknya juga dapat menjadi contoh bagi kita sebagai orang-tua tentang bagaimana menanamkan nilai-nilai religius yang kuat pada diri anak.
Tak hanya itu, film Buya Hamka juga memperlihatkan bagaimana Buya Hamka memaknai hidup. Kita diperlihatkan bagaimana ia menerima kehilangan, menemukan jalan pulang, hingga berdamai dengan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Buya Hamka adalah sosok yang layak dijadikan teladan.
Hal ini tentunya menjadi kekuatan utama dalam film ini, yang berhasil membuat penontonnya terkagum-kagum dengan karakter Buya Hamka.
Penuh dengan nilai-nilai Islam dan menyorot budaya Minang
Baru kali ini saya menemukan film biopik Indonesia yang benar-benar kuat nilai keislamannya. Ya, film Buya Hamka berhasil menunjukkan bahwa mengangkat topik 'agama' dalam sebuah film tak melulu terasa bak menonton ceramah. Buya Hamka berhasil membuat penontonnya merasa tercerahkan, terhibur, juga terkagum-kagum dengan tokohnya.
Hal yang membuatnya spesial adalah walau film ini penuh dengan nilai-nilai keislaman dan pesan dakwah; seperti tauhid, fikih, aqidah, dan perkara Islam lainnya, film ini tetap mampu menyampaikan nilai-nilai tersebut dengan lembut dan tak tampak menggurui, menceramahi, apalagi menyalahkan.Â
Alhasil, jika penonton dari agama lain menonton film ini, saya rasa mereka akan tetap dapat menikmati filmnya. Film ini berhasil membuktikan bahwasannya Islam adalah agama yang damai, menerima perbedaan, dan tidak menolak perkembangan zaman.Â
Setiap kali Buya Hamka mengeluarkan kalimat dan pendapatnya, saya sebagai penonton selalu merasa kagum dan dapat merasakan pengetahuannya yang luas mengenai Islam, Indonesia, juga makna hidup.Â
Ia memang menerima perubahan, tidak kaku, dan penuh dengan ide-ide baru. Namun, Buya Hamka tetap mampu berpegang teguh pada ajaran Islam yang sesungguhnya, terutama pada prinsip tauhid yang ia pegang erat-erat sepanjang hidupnya.
Selain kuat dengan nilai-nilai Islam, film Buya Hamka juga kuat akan budaya Minang yang dibawanya. Penggunaan aksen Minang terlihat meyakinkan, apalagi tiap kali kata 'onde mande' keluar, penonton penuh dengan gelak tawa.Â
Tak hanya kuat di aksennya, film Buya Hamka juga dihiasi dengan pemandangan-pemandangan indah daerah Padang Panjang, dan daerah di Sumatera Barat. Beberapa budaya khasnya seperti pakaian adat Minang, Rumah Gadang, dan unsur budaya lainnya juga berhasil disorot dengan baik.Â
Alur yang terasa seperti kepingan-kepingan sejarah yang belum utuh
Perjalanan hidup Buya Hamka yang begitu panjang nampaknya membuat Alim Sudio dan Cassandra Massardi sebagai penulis naskah agak kesulitan untuk menentukan fokus utama penceritaannya. Alhasil, alur dalam film Buya Hamka volume 1 terasa agak jumpy, alias lompat-lompat. Namun, apakah hal tersebut mengganggu penceritaan dan sensasi menonton filmnya?
Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan, walau mungkin akan sedikit menimbulkan pertanyaan penontonnya, seperti "Bagaimana proses Buya Hamka dalam menjadi penulis hebat?", "Mengapa pihak Jepang mau mengalah dengan Indonesia?", dan beberapa pertanyaan lain yang menimbulkan sedikit keganjalan dalam diri penonton.
Namun dari segi plot, sejatinya film yang disutradari oleh Fajar Bustomi ini telah berhasil merangkum kisah Buya Hamka dengan cukup baik dan menghadirkan momen-momen penting yang memberi dampak emosi yang signifikan dalam filmnya.Â
Mulai dari ketika Buya Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah, menjadi pemimpin media, menjadi penulis roman, hingga menjalin hubungan dengan Soekarno dan momen-momen lain berhasil dihadirkan dengan naskah yang cukup matang dan dialog yang kuat.
Sehingga ketika film Buya Hamka Volume 1 berakhir, penonton akan mendapat gambaran siapa itu Buya Hamka dan apa yang telah ia lakukan untuk Indonesia.Â
Tujuan utama dari film ini, yakni sebagai film biopik, saya rasa berhasil tersampaikan dengan baik.
Sinematografi yang cantik dan menyejukkan mata
Pengambilan shoot gambar yang mengedepankan estetika serta dihiasi dengan color grading yang teduh semakin memanjakan mata penontonnya. Ciri khas film buatan Falcon selalu digambarkan dengan warna kuning tua pada cahaya filmnya nyatanya memang cocok digunakan dalam film Buya Hamka.Â
Nuansa tahun 90-an semakin terasa, ditambah dengan pengambilan angle kamera yang tepat pada beberapa bagian, dan menyorot ekspresi dari Buya Hamka ketika ia berbicara, berhasil membuat nuansa satu studio bioskop berhasil fokus menyimak filmnya.
Scoring Music yang mewah
Selain sinematografi dan color grading yang mempercantik filmnya, instrumen scoring music yang mewah dan berkelas juga menambah bobot emosi yang cukup signifikan pada beberapa adegannya. Seperti di babak pertama, yang mampu menghadirkan nuansa haru dan mampu memantik simpati penontonnya.
Namun ada beberapa adegan yang saya rasa terlalu berlebihan dari segi instrumen musiknya. Ada momen yang seharusnya ketegangannya dibangun secara natural, namun dengan scoring music yang berlebihan, justru membuat penontonnya berekspektasi lebih dan akhirnya berujung kecewa.Â
Tapi hal tersebut hanya terjadi sedikit saja, dan tentunya keseluruhan filmnya tetap mampu dinikmati dan skoring musiknya juga patut diapresiasi. Jarang sekali ada film Indonesia dengan scoring music sebagus ini.Â
Faktanya, skoring musiknya juga melibatkan musisi kelas dunia. Proses recording ilustrasi musik untuk film Buya Hamka dikerjakan oleh 43 musisi kelas dunia. Proses ini dilakukan di Praha, republik Ceko dan dipimpin langsung oleh Kang Purwa Tjakra.
Akting pemain yang totalitas
Tak perlu diragukan lagi, kekuatan film ini terletak pada akting para pemainnya yang totalitas.Â
Vino G.Bastian sukses memerankan karakter Buya Hamka yang kharismatik dan berhasil memberikan gambaran yang tepat mengenai sosoknya. Tiap kali Vino bergestur, bertutur, dan berinteraksi, saya dapat melihat adanya kekuatan dan daya tarik yang besar pada karakternya.
Laudya Cynthia Bella yang berperan sebagai Siti Raham juga berhasil memerankan karakternya dengan sangat baik. Ia berhasil menunjukkan bahwa istrinya juga berperan penting pada kemajuan yang dialami oleh Buya Hamka. Bagaimana kecintaannya pada suaminya dan peran besarnya sebagai support system berhasil memantik simpati para penontonnya.
Chemistry keduanya (Laudya - Vino) begitu kuat, dialog-dialog romantis yang mereka keluarkan berhasil membuat saya sebagai penonton tersenyum gemas. Dialog-dialog mereka yang romantis tetap terasa spesial karena ada makna yang mendalam tiap ada kalimat yang keluar dari keduanya.
Akting pemain pendukung lainnya, seperti Donny Damara yang berperan sebagai Haji Rasul, Ayah dari Buya Hamka juga sukses diperankan dengan apik. Seluruh pemainnya berhasil dengan fasih menggunakan bahasa Minang.
Satu-satunya yang terasa sedikit mengganjal bagi saya adalah penggunaan bahasa Jepang pada karakter penjajah Jepang yang terasa kaku. Dialognya yang minim bahasa Jepang dan lebih dominan bahasa Indonesia membuatnya kurang terasa realistis dan membangkitkan ketegangan kala menontonnya.
Cocok menjadi tontonan di saat lebaran
Overall, Buya Hamka volume 1 berhasil menjadi film biopik Indonesia yang inspiratif, menghibur, dan juga penuh dengan nilai sejarah.
Berkat penceritaannya yang padat, walau sedikit terasa jumpy, berhasil memberikan gambaran mengenai sosok Buya Hamka dan perannya untuk Islam dan Indonesia, dan semakin membuat saya yakin bahwa Buya Hamka adalah sosok yang layak dijadikan teladan.
Vino G.Bastian berhasil mengerahkan akting terbaiknya untuk membawakan peran Buya Hamka yang kharismatik. Pemain pendukung lainnya juga berhasil memerankan karakternya dengan baik. Chemistry antar pemain terjalin kuat dan solid, dan semakin membuat tokoh-tokoh yang diperankan terasa believable dan meyakinkan.
Sinematografi yang cantik dan scoring music yang apik turut menambah bobot emosi pada filmnya. Penonton akan merasakan perasaan haru, kagum, semangat, dan tersentuh dengan kisah Buya Hamka yang begitu mencintai Islam dan Indonesia, dan rela berkorban apapun demi apa yang ia cintai.
Film Buya Hamka Volume 1 akan tayang pada 20 April 2023. Cocok sekali menjadi tontonan di kala libur lebaran nanti, dan cocok ditonton bersama keluarga, teman, dan pasangan.Â
Jangan hanya sekadar menjadi tontonan, yuk terapkan semangat Buya Hamka dalam kehidupan kita sehari-hari!
Rating pribadi : 8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H