Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review "Posesif", Ketika Hubungan Romantis Berubah Jadi Toxic Relationship

16 Februari 2023   11:08 Diperbarui: 16 Februari 2023   11:23 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ditanya mengenai ciri khas film Indonesia, dua genre ini pasti selalu muncul. Ya, horror dan romansa. 

Hal ini dibuktikan dengan perolehan penonton yang begitu besar. KKN dengan 9 juta penonton sebagai perwakilan genre horor, dan Dilan 1990 dengan perolehan 6 juta penonton sebagai perwakilan genre romansa.

Awalnya saya tak begitu tertarik dengan genre romansa buatan Indonesia. Mengapa? karena bagi saya tema-tema yang dihadirkan, apalagi yang berlatar sekolah, biasanya hanyalah cerita romansa 'menye-menye' alias romansa klise penuh gombalan belaka.

Namun ternyata stereotip saya ini terpatahkan sehabis saya menonton film "Posesif" yang rilis pada tahun 2017 lalu. Film ini disutradarai oleh Edwin, dan naskahnya ditulis oleh Gina S.Noer. Menyorot hubungan romantis remaja SMA secara mendalam, membuat film ini sungguh berbeda dari film romansa Indonesia kebanyakan.


"Posesif" bercerita tentang Lala (Putri Marino), atlet loncat indah yang baru kembali ke sekolahnya dan bertemu dengan Yudhis (Adipati Dolken), murid baru yang tengah dihukum karena memakai sepatu berwarna selain hitam.

Pertemuan mereka kemudian berlanjut. Lala membantu Yudhis mengambil sepatunya yang disita, dan menyebabkan mereka dihukum bersama-sama. Momen 'terpaksa' itulah yang membuat mereka mulai jatuh cinta. Alhasil, Yudhis memanfaatkan momen tersebut untuk mengajak Lala untuk menuju ke tempat yang ia ingin kunjungi.

Yudhis banyak bercerita dengan Lala, dan berkat Yudhis pula, Lala bisa lepas dari kekangan ayahnya yang tegas dan terlalu mengatur hidupnya. Awalnya hubungan mereka berjalan manis, namun seiring berjalannya waktu, Yudhis berubah menjadi orang yang posesif. Ia rela menyingkirkan siapapun yang mendekati Lala, dan ia melakukan segala cara agar Lala dapat terikat dengannya.

Hubungan romansa yang awalnya manis, perlahan berubah menjadi posesif, bahkan cenderung abusive. Apa yang akan terjadi dengan kisah mereka?

Jawabannya dapat kamu temukan dengan menontonnya di platform streaming. Bisa kamu tonton di Netflix ataupun Vidio.

Penasaran? Apa yang membuat film ini menarik dan berbeda dari film romansa Indonesia lainnya? Yuk simak, ini ulasannya!

Pertemuan pertama Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken). Sumber : Palari Films
Pertemuan pertama Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken). Sumber : Palari Films

"Posesif" diawali dengan pertemuan yang familiar, khas film-film romansa remaja pada umumnya. Siswi berprestasi bertemu dengan siswa baru yang melanggar aturan, yang kemudian jatuh cinta lewat momen sederhana, yakni dihukum bersama di tengah lapangan. 

Namun pertemuan sederhana dan familiar itulah yang menimbulkan kesan manis di awal filmnya. Hanya dengan berjalan-jalan ke tempat yang diinginkan, lalu berbincang dan bertukar pikiran, mereka akhirnya saling jatuh cinta. Karena pada hakikatnya, jatuh cinta tak selalu tentang memberi bunga dan memberikan rayuan gombal.

Perhatian demi perhatian Yudhis berikan kepada Lala, yang akhirnya membuat mereka mulai menjalin hubungan asmara. Hadirnya Yudhis juga membuat Lala perlahan sadar akan keinginannya, dan membuatnya mulai mencoba lepas dari kekangan ayahnya. 

Sumber foto : Palari Films
Sumber foto : Palari Films

Sebagaimana kita tahu, hubungan asmara biasanya hanya manis di awal saja, dan setelah mulai menjalaninya, disitulah sifat dan karakter asli kita terlihat. Sebagaimana karakter Yudhis, yang awalnya penuh perhatian, perlahan berubah mengekang. Perasaan creepy saya rasakan ketika melihat tatapan mata Yudhis yang penuh amarah dan kecemburuan.

"Posesif" mampu menghadirkan secara perlahan sikap posesif dalam hubungan Yudhis dan Lala dengan cukup detail. Awalnya hanya sekadar kecemburuan biasa dan muncul perasaan kesal karena pasangan yang kurang meluangkan waktu. Namun lama kelamaan, ia mulai melakukan tindakan-tindakan posesif untuk 'mengikat' pasangannya.

Mulai dari menelponnya terus menerus, memeriksa ponsel pasangan, dan tindakan manipulatif lainnya dilakukan Yudhis agar Laras tetap menjadi miliknya.

Berkat directing Edwin yang piawai, dan naskah Gina S.Noer yang cukup matang, mereka mampu mengubah hubungan romansa yang tadinya terlihat manis, berubah bak sajian thriller menegangkan. 

Penonton dibuat kesal, juga tegang melihat bagaimana manipulatifnya Yudhis terhadap Lala. Perkataan manis yang ia lontarkan, ucapan maaf, semuanya manipulatif dan dilakukan demi bisa 'mengikat' Lala agar tak bisa lepas darinya.

Sumber foto : Palari Films
Sumber foto : Palari Films

Namun, apakah "Posesif" hanya berhenti disitu? Tidak. Ia menyelam jauh lebih dalam, mempertanyakan kembali, apakah sifat posesif hanya dikaitkan dengan hubungan romansa? Atau jangan-jangan, sikap posesif juga bisa terjadi dalam hubungan anak-orangtua?

Konsep posesif diperlihatkan sebagai hasrat dasar manusia yang mengatur seseorang yang dianggapnya berharga, dimiliki, atau di bawah kendali, tak peduli siapa dan usia berapa. 

Ayah Lala terus menuntut Lala agar bisa berprestasi dan menjadi yang terbaik dalam loncat indah. Ia mengatur pola makan anaknya, dan seringkali membandingkannya dengan atlet loncat indah yang lebih hebat darinya. 

Ibunya Yudhis (Cut Mini) lebih parah lagi. Ia memaksa puteranya untuk meneruskan tradisi keluarga, yakni berkuliah di ITB. Ia memaksa Yudhis untuk pindah ke bandung, walau Yudhis sebetulnya tidak ingin pindah. Tak ada pilihan, ia harus menuruti ibunya. 

Ibunya menggunakan perkataan manipulatif,  "Mamah yang ngelahirin kamu, mamah yang banting tulang untuk kamu, cuma mamah yang paling tahu apa yang terbaik buat kamu"

Bisa jadi, alasan mengapa Yudhis posesif adalah karena lingkungan keluarganya yang juga posesif terhadap dirinya.  

Sumber foto : Palari Films
Sumber foto : Palari Films

Alur dalam film "Posesif" mengalir begitu saja, tanpa kejutan apapun. Namun disinilah kekuatan filmnya, yang lebih memilih untuk memperkuat penokohan dan motivasi tiap-tiap karakternya.

Alhasil, alih-alih membuat penonton menghakimi pelaku dan mengkasihani korban, film ini justru mengajak penontonnya untuk memahami 'penyebab' dan membuat kata "Udah sih, tinggal putusin aja" tak semudah itu. 

Demikian pula dengan tindakan Lala dan Yudhis yang berusaha lepas dari orang-tua mereka yang terlalu mengatur. Sikapnya tak bisa dibenarkan, tapi "Posesif" mengajak penontonnya untuk tidak bersikap judgemental.

Babak terakhir film ini ditutup dengan baik. Lala yang masih ingin melanjutkan hubungannya dengan Yudhis karena menganggap "Cuma gue yang bisa ngubah dia", akhirnya sadar bahwa semakin lama ia bersama Yudhis, justru dirinya akan semakin terpuruk, dan Yudhis pun juga tak akan berubah.

Maka keputusan yang tepat, ketika film ini mengajak penontonnya untuk memahami lebih dalam tentang hubungan romansa yang sesungguhnya. Bagaimana hubungan 'posesif' dan toxic relationship bisa berdampak buruk bagi hidup kita.

Sumber foto : Palari Films
Sumber foto : Palari Films

Naskah yang kuat ini juga didukung oleh akting pemainnya yang solid. Adipati Dolken mampu hadir sebagai Yudhis yang memiliki pesona yang membuat Lala jatuh cinta, namun disisi lain ia adalah pasangan yang posesif dan menebar kengerian lewat sorot matanya yang penuh dengan kebencian.

Putri Marino tampil piawai sebagai Lala, yang menunjukkan kelabilan remaja dan kegelisahan terhadap hidupnya yang mulai dewasa. Ia tampil totalitas, dan menjadi daya tarik utama, terutama ketika melihat pesonanya melakukan loncat Indah. 

Yayu Unru menempatkan karakternya dengan tepat, dimana ia bukanlah orangtua yang otoriter, melainkan hanyalah orang-tua yang kurang lancar dalam menunjukkan kasih sayang.

Pemain pendukung lainnya, seperti Chicco Kurniawan sebagai Rino, dan Gritte Agatha sebagai Ega mampu hadir menjadi sahabat yang suportif bagi dua karakter utamanya. 

Jangan lupakan lagu-lagu soundtrack yang easy listening. Beberapa lagu populer, seperti "Dan" karya Sheila On-7, juga "No One Can Stop Us" karya Dipha Barus mampu diletakkan secara tepat dan proporsional. Kehadirannya tak hanya menjadi sekedar lagu untuk didengar, melainkan juga membantu membangun nuansa filmnya.

Sumber foto : Palari Films
Sumber foto : Palari Films

Itulah ulasan saya mengenai film "Posesif". Apakah kamu tertarik untuk menontonnya?

Overall, film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton bersama teman ataupun keluarga. Dengan konfliknya yang relate, mengenai hubungan posesif dan toxic relationship, juga ceritanya yang kompleks dan fokus membuat pesan-pesan yang ada dalam film ini berhasil tersampaikan dengan baik. 

Pada akhirnya, "Posesif" mampu menjadi tontonan yang berkualitas. Mengajak remaja untuk merenungi dan lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan. Juga mengajak orang-tua untuk lebih memahami anak-anak mereka. 

Rating pribadi : 8/10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun