Ruth tahu bahwa anaknya memiliki masalah mental, oleh karena itu ia mengekangnya. Alih-alih efektif, justru pengekangan tersebut berdampak besar pada sisi psikologis Pearl.Â
Rasa represi yang terlalu lama membuatnya muak, akhirnya meledak. Alhasil, ia menghalalkan segala cara dalam meraih mimpinya.
Dari film ini kita dapat memahami, bahwa sejatinya dalam mendidik anak, justru pengekangan yang berlebih dapat menimbulan efek psikologis yang kurang baik. Lebih baik jika kita mengarahkan dan membimbingnya.
Visual yang indah namun mencekam
Keunikan yang dimiliki oleh Pearl adalah bagaimana film ini hadir dengan estetika yang memukau, mulai dari segi visual, musik, hingga pemilihan font untuk judul dan credit scene. Nuansa tahun 90-an mampu dihidupkan dalam film ini.Â
Sekilas, sinematografi yang ada justru lebih terlihat seperti film-film slice of life yang berbicara mengenai pemuda yang hendak meraih mimpi. Namun di sinilah kekuatan Pearl, bagaimana film ini mampu menyulap semua estetika yang hadir dengan nuansa yang disturbing.
Namun, nilai jual utama film ini, yakni psychological horor slasher, tetap hadir mencekam lewat serangkaian adegan, dialog, serta ekspresi karakter utamanya yang terlihat naif, namun nyatanya ia adalah sosiopat yang mampu berbuat keji terhadap orang yang menghalangi impiannya.
Camera movement pada beberapa adegan sadis yang dilakukan Pearl juga sukses memperlihatkan dan membangun suasana tegang, mencekam, dan mampu membuat penonton merasa tak tenang. Beberapa kali saya menutup mata karena tak berani melihatnya.
Lebih memperlihatkan sisi psikologis karakter utamanya
Pearl memang hadir dengan sadis dan cukup brutal. Tusuk menusuk, terbakar, tercekik, bahkan adegan mutilasi yang hadir membuat saya sebagai penonton beberapa kali menutup mata. Namun nilai keseraman yang sesungguhnya bukan ada pada adegan tersebut.
Ya! Pearl lebih banyak menghadirkan pendekatan horor dengan menyorot sisi psikologis karakternya.Â