Menapakkan kaki ke tanah Jawa pastilah memberikan kesan akan wujud modernitas apa saja yang terlihat waah setiap saat kan? Terutama bagi saya -orang daerah- ketika jarang mengunjunginya.
Namun anehnya desakan arus modernisasi global yang deras kini, tak lantas memburamkan entitas masyarakat pulau Jawa sediri. Yakni kebudayaan masyarakatnya yang masih dipertahankan, dan malah laku dijual dalam konteks-konteks pariwisata.
Menginjakkan kaki di ujung Timur pulau Jawa –misalnya- di Gerbang Bandara Juanda. Entitas kebudayaan –minimal- simbol tarian khas Jawa Timur dan pernak-perniknya dipamerkan sebagai icon selamat datang kepada tamunya.
Lantas, jika menginjakkan kaki di bagian Barat Pulau Jawa. Kebudayaan Betawi jua hadir lewat simbol-simbol tarian ondel-ondelnya dan pernak-perniknya di balik kemegahan infrastruktur Bandara Soetta.
Nah, kini ketika saya menapakkan kaki agak ke tengah di Pulau Jawa, kita akan mendapati hal serupa? Iya, di Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) Kulon Progo ini –misalnya- suasana entitas kebudayaan jawa lainnya juga sangat terasa.
Hal yang kentara lainnya dirasakan adalah terdapat 3 bahasa yang menjadi bahasa informasi penerbangan di YIA. Hal itu kita rasakan ketika hendak check-in, Boarding pesawat, atau baru saja landing di terminal kedatangan YIA.
Di sana kita akan mendengarkan bahasa jawa, sebagai salah-satu bahasa informasi aktivitas penerbangannya.
Dan yang paling menghanyutkan lagi adalah lentingan musik jawa yang dimainkan dengan paket alat musik Gamelannya, ketika stay di YIA Kulon Progo dengan aktivitas apa saja di sana.
jika disimak mendalam, alunan musik paket gamelan khas jawa tadi berhasil menghasilkan alunan musik harmonis. siapa saja yang sedang mendengarnya, pastilah ikut mendendangkannya diam-diam.
Dimana -kebetulan- kehidupan modern yang kita rasakan sekarang, selalu saja berkelindan dengan masalah intoleransi, yang mengutamakan ego guna meraih kepentingan entitasnya saja? Merasa gak?
Hal inilah yang bisa menjadi ancaman dan penghalang kita guna mewujudkan keharmonisan seperti lantunan Gamelan jawa tadi. Dan sudah melahirkan keanekaragaman berupa alunan musik daerah, serta tarian daerah Nusantara.
Dan terbukti, keharmonisan atas beragamnya kebudayaan Nusantara itu mampu jua berdiri kokoh, terpelihara bak bangunan candi Borobudur di Magelang sana.
Dan akhirnya, dari alat musik tadi, mampu jua menuliskan kembali resep bertoleransi kepada generasi dunia selanjutnya. Generasi yang gemar berwisata ke Borobudur nanti? Lho kok harus Borobduur sih?
Mampukah Wisata Borobudur, Kiblat Toleransi itu ya?
Rasanya wajar sih gaung Borobudur menggema di mana saja! Terlebih ketika kaki kita berada di Bandara YIA, Kulon Progo ini. Getarannya terasah!
Menjelajah wisata Kebudayaan Jogyakarata juga rasanya tidak lengkap jika tidak menjenguk wisata Borobudur yang berjarak 42 KM saja.
Hemm.. mengapa harus ke Borobudur? Jika alasaanya berwisata, niatan itu mudah saja terwujud! Banyak sekali paket travel yang sanggup menghantarkan kita ke sana, lewat Bandara YIA ini.
Dimanjakan seperti itu, bisa saja kita berseloroh, jika objek wisata Borobudur –memang- seperti anak emas saja ya? Dan sengaja disajikan, sebagai menu pilihan wisata utama kita, pas berada di Jogyakarta ini. Wajar gak sih?
Satu hal yang menjadi doktrin untuk berwisata ke Borobudur, yakni objek Borobudur sudah menjadi warisan dunia. Dimana Borobudur dipercaya berhasil memanacarkan banyak dimensi kehidupan kebudayaan apa saja pada masyarakat Nusantara masa lampau.
Tapi, ketika sudah berada di sana, apa yang biasa dan bisa kita lakukan ya? Datang dan hanya melihat-lihat stupa candi saja? Lantas akhirnya berswa-photo gitu saja? Dan setelahnya pulang?
Hiks, hal tadi adalah bisa jadi pengalaman saya sendiri kok, ketika bertandang ke sana. Dan akhirnya saya-punh berseloroh, apa sih istimewanya Borobudur yang dunia puja itu?
Semakin kemari lagi, Borobudur –katanya- sudah kawasan wisata Super prioritas, dengan cost investasi yang berlimpah-ruah. Harapannya, modal pembangunan itu akan menjadi magnet wisata untuk lekas landing di YIA, Kulon Progo ini. Dan menyeruput semua menu wonderful Indonesia, wisata Borobudur tadi.
Nah, dalam rilis detik.com pernah menyibak jika Borobudur nanti akan menjelma menjadi kawasaan wisata modern, yang dinamakan Borobduur Higland. Dimana –katanya- akan terdapat 5 zona, yakni gerbang masuk, zona resort eksklusif, zona wsaita petualangan, zona wisata budaya dan zona Ekstreem.
Sampai di titik ini, bisa saja kita membayangkan dan memimpikan kemegahan Borobodur-kan?
Lantas, apakah Borobudur-Highland nanti, berhasil menjadi katalisator semangat berwisata di Borobudur lagi. Dan berhasil meleburkan essensi kebudayaan jawa kuno dan kehidupan modern kita, agar mampu bersatu padu untuk meracik semangat toleransi yang kita singgung diatas?
Atau malah sebaliknya, Candi Borobudur-lah yang akan menjadi pemantik Borobudur-Higland yang megah tadi, untuk menghidupi sisi-sisi sosial-ekonomi warga lokal kita, dan memenuhi target pajak-pajak komersil bagi modal pembangunan daerah?
Nah kolaborasi keduanya, antara dimensi modern-kuno bisa saja menjadi semangat baru dan niatan awal kita sebagai wisatawan untuk mengunjungi Borobudur kapan saja kan?
Nah jawaban itulah, yang sekaligus menjawab tabir yang disemburkan Gamelan jawa dalam mewujudkan keharmonisan Nusantara yang sudah dimulai pada abad ke-8? Nyambung gak sih?
Sound of Borobudur, analogi keberagaman kita adalah satu!
Gamelan? Ituloh seperangkat alat musik yang terdiri dari Kendang, Rebab, Celempung, Gambang, Gong, Seruling, Bonang, kenong, Siter, Slenthem, Saron dan Kempul. Gamelan, pastilah akan banyak diklaim menjadi entitas orang jawa saja ya?
Gamelan, alat musik khas jawa mewakili alat musik pukul, petik dan jua tiup. Untuk memainkannya, Gamelan biasanya menggunakana tangga nada pelog yakni tujuh nada per oktaf, atau Slendro lima nada per oktaf.
Sebut saja alat musik pukul kendang yang mirip-mirip dengan Tifa di Maluku dan Papua. Jika dimati lagi, eh mirip pula dengan alat musik Muzavu Tamil atau Tabla dari India. Lalu, alat musik Tiup Sulim juga mirip dengan Bansuri di India atau Sho Jepang. Itu contoh kecil saja sih!
Nah, jika kita berkeliling ke Candi Borobudur kita akan menemukan fakta, jika kesamaan akar kebudayaan Nusantara dalam berkesenian dapat ditelusuri dari alat musiknya. Yakni berupa relief yang menggambarkan kebudayaan berkesenian Nusantara dahulu di abad ke-8. Dan ternyata kini alat-alat musik tadi masih massif dimainkan masyarakat modern jua.
Sekilas saja, relief tadi melihatkan perilaku manusia yang vulgar ya? Namun esensinya, relief tadi menyemburkan makna hukum sebab-akibat. Dimana setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Baik ya dapat pahala, berbuat jahat ya dapat dosa.
Selain itu, relief itu jua melukiskan gambaran kehidupan masayarakat jawa kuno, termasuk aktivitias berkesenian, baik bermusik dan juga menarinya.
Jika dihitung ada sekitar 10 panel relief Karmawibhangga yang menggambarkan 4 jenis alat musik. Ada jenis idophone (kentongan dan kerincingan), membraphone (gendang dan kentingan), chardaphone (dawai, senar petik, gesek) serta alat musik aeraphoen (alat musik tiup).
Menyibak itu semua, kita bisa mendapatkan banyak nilai-nilai luhur, yakni nilai dari sisi seni Borobudur, untuk mampu dimprovisasi menjadi nilai kesamaan bukan perbedaan, yang digunakan dalam kehidupan modern kan?
Itu saja? belum! Ada juga nilai arsitektur, lingkungan, habitat dan relasi sosial lainnya yang juga bersama bisa terus dikembangkan kan. Dan mampu dijual dalam paket wisata nan menarik jua! Mungkin itulah mengapa Borobudur Highland harus jua berdiri tegak, sebagai kolaborasi peradaban dahulu dan kini?
Akhirnya, ya sisi seni dari relief candi akan menjadi refleksi kita dalam menyuarakan berbagai musik apa saja sebagai ungkapan perasaan manusia melalui perangkat alat musik yang sama, dan sudah diperdengarkan, didokumentasikan di Borobudur.
Borobudur Cultural Feast 2016, sudah memulai menggemakan Sound of Borobudur, dan berhasil menyuarkan kembali alat musik dawai Gasona, Gasola, dan Solawa yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga tadi. Jika dilihat kembali alat musiknya terlihat seperti alat musk sampe, alat musik khas domisili saya di Kalimantan ya?
Akhirnya, Sound of Borobudur, diawal bulan April 2021 lalu, pastilah sudah memberikan spirit baru jua untuk memotivasi kita, dan belajar kembali pada Borobudur.
Dan semnagat itu, pas diterjemahkan dalam ungkapan jawa “Gotong royong pitutur agung guyub rukun gemah ripah loh jinawi jayaning nusantara amargo laku-lelaku”
Dimana Borobudur, mengajak kita bersinergi menata lelaku, membersihkan hati, menjernihkan pikiran, dan terus berbuat, bekerja, berkarya, dan berbakti demi kejayaan Nusantara.
Bagaiaman mewudjukannya? Ya lewat sikap toleransi kita untuk menghargai perbedaan ?
Artinya, dari alat musik yang sama itulah itulah kita belajar bahwa kita terlahir dari satu irama, dan berasal dari sound of Borobudur.
Referensi :
https://travel.detik.com/fototravel/d-5554184/keren-begini-borobudur-highland-ketika-sudah-rampung/1
https://www.youtube.com/watch?v=1c9aCENDesI
IG @bandarayogyakarta
www.japungnusantara.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H