Namun politik juga dimasukkan ke dalam komoditas yang sangat seksi ketimbang produk sehari-hari untuk di-improve kedalam bentuk propaganda di media sosial.
Isu politik inilah yang menjadi ibu kandung dan akar kuat yang memperuncing perbedaan yang sudah tertanam bagi setiap user medsos -- ya user juga manusiakan?-Â
Dan seterusnya sampai sekarang, politik akan selalu dikaitkan dengan perbedaan SARA yang tidak ada habisnya diperdebatkan.
Dan dari sinilah istilah buzzer menjadi seksi dan populer. Meskipun ada juga alasan buzzer, jika mereka adalah relawan yang berjuang tanpa pamrih karena terikat perjuangan ideologi yang mungkin hanya menginginkan surga versi mereka saja, untuk melakukannya.
Namun dibalik faktanya, menjadikan profesi buzzer saat ini, ya cukup juga menjajikan. Cukup modal Hp dan kuota, dan permainan kata, serta kebencian yang memuncak, ya jadi-lah itu 'barang'.
Tapi apakah salah menjadi seorang Buzzer?Â
Dengan kedua alasan di atas baik tanpa materi dan juga materi, ya tetap juga diri kita adalah Buzzer kan?
Dan lihatlah, salah satu turunan negatif yang ditimbulkan, adalah kasus Ninoy Karundeng, yang terlibat bentrok dengan lawan Buzzernya.
Dalam video beredar menyebut dirinya adalah adalah Buzzer --salah satu kubu- yang katanya juga bersifat independen dan bergaji jutaan rupiah sebulannya.
BACA JUGA :Â MERINDUKAN KERAMAHAN INDUSTRI SAWIT
Nah jadi, untuk membelah tujuan diri pribadi kita utamanya, apakah  seorang Buzzer --yang sengaja atau tidak- harus memiliki tujuan ideologi atau dijadikan profesi. Sepertinya kita akan terus bersikap malu-malu kucing untuk mengatakannya yes am buzzer? Ih, kenapa maluk ya?