Ah membaca sejenak Timeline kawan di berbagai platform media sosial, kita bisa saja terbius oleh kesukaan atau kebencian terhadap kebenaran atau  kebohongan informasi yang berhamburan di sana.
Jika kita atau teman merasa suka atau benar -menurut kita saja- atas informasi tadi, ya sudah share saja, minimal dikasi jempol sebagai penanda jika kita iyes atas info benar-salah tadi.
Ini aktifitas jemari yang remeh-temeh sih, tapi bisa saja kebiasaan yang berulang tadi itu adalah keinginan Real-Buzzer untuk membuat viral dan menggiring opini yang mengangkat suatu isu yang lagi hits.
Ya isu berupa informasi apa saja, yang sengaja dihamburkan di time-line media sosial tadi. Jika itu terjadi, wah betapa senang sekali para Real-buzzer, karena dia sudah sukses tuh!
Duh artinya, otomatis kita bagian dari Buzzer dong, meski ya tidak sadar atau sengaja.
Tapi, pastilah  kita agak gak terima jika kita dikatakan Buzzer oleh orang lain, yang berlainan sudut pandang tentang yes or no terhadap suatu isu politik misalnya.
Namun panggilan Buzzer seakan sudah menjadi justifikasi, untuk menunjukkan adanya tanda perbedaan kita terhadap apa saja yang kawan sebarkan di timeline kan?
Iya, teman yang berbeda padangan politik bisa saja menyebut kita buzzer dan sebaliknya, sampai kiamat nanti -bahkan!-
Ingat tidak dahulu ketika Pilkada Jakarta 2012? Istilah Buzzer mulai marak dirasakan. Banyak sekali pasukan siber atau Buzzer salah satu Paslon Pilkada Jakrata yang melancarkan isu propaganda politis lewat media sosial, dan akhirnya berhasil.
Padahal sebenarnya muasal terciptanya pasukan siber atau buzzer itu marak untuk membuzz atau mendorong strategi marketing produk, dan sangat efektif ketika flatform Twitter diperkenalkan di tahun 2009.