Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fiksi Millenial Itu Merayakan "May Day" dengan Wisata, Apa Bisa?

1 Mei 2018   18:33 Diperbarui: 2 Mei 2018   12:41 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merenungi pendapat dari Profesor bidang Humaniora dan ekonomi dari Northwestern University, yakni Gary Saul Morson dan Morton Schapiro.

 Keduanya berpendapat jika ilmu ekonomi yang diajarkan kepada para Mahasisiwa kerapkali mengabaikan tiga hal, yakni efek budaya terhadap pembuatan keputusan, kegunaan cerita dalam menjelaskan tindakan masyarakat serta perkara etika. Lalu Morson dan Schapiro menjelaskan kembali salah satu cara memahami masyarakat dan budaya adalah melalui kajian sastra atau novel. 

Novel fiksi dapat diyakini bisa mendorong pemahaman  tentang masyarakat, karena cerita yang dijelaskannya dapat mengembangkan empati. Ya, memang pendapat ini bisa jadi sama dengan pendapat bang Rocky Gerung, yang menyatakan Fiksi bisa menjadi energy untuk dapat meledakaan angan kita dalam mewujudkannya di masa yang akan datang. Millineals harusnya memang kaya dengan Fiksi.

Coba saja kita melihat di sekeliling kita, pemahaman kebutuhan masyarakat yang nyata bisa saja dikonversi menjadi bisnis dengan untung besar lho. Apa itu, sebut saja layanan transportasi on-line atau Ojek online.

 Rasakan animo masyarakat pun dahsyat kan? bahkan sebagian dari mereka menggantungkan mobilisasinya kepada layanan transportasi online. Efisiensi waktu dan tenaga tak pelak berimbas kepada produktivitas warga kota, dan pada akhirnya bisa berefek pula terhadap perekonomian dan aspek-aspek kehidupan lainnya. 

Nah bisa saja, pendekatan kolaboratif yang melibatkan dua atau lebih bidang ilmu diterapkan dalam sistem akademik kita. Karena upaya tersebut bisa lebih mengkaji suatu fenomena dari aneka perspektif.

 Dan kolaborasi yang dikenal dengan interdispliner bisa saja melahirkan solusi dan ide-ide kreatif. Namun memang harus diakui, di Indonesia sendiri sangat sulit menerapkan pendekatan pembelajaran seperti itu, karena sering dianggap melanggar etika keilmuan. Alasanya, adalah pengkajian ilmu oleh orang-orang yang bukan ahlinya dianggap tidak pantas dilakukan. Hal itu argumen yang dilayangkan oleh Setya Yuwana dalam tulisannya. 

Padahal pendekatan pengajaran interdispliner dapat menambah kemampuan berkomunikasi karena bertambahnya pemahaman bidang-bidang tertentu. 

Namun apa sih yang tidak bisa buat Milleneals, solusinya kita bisa saja kembali mengambil peran Tehnology, meski terhalang oleh sistem terhadap pengenalan pendekatan interdispliner tadi. Kita mudah menerapkannya dengan terbukanya berbagai saluran untuk mengakses ilmu pengetahuan. Informasi-informasi di ranah online berpotensi menambah khazanah pengetahuan seseorang. 

Kendati demikian, informasi yang diserap patut disaring dan dicek berulang, dibandingkan, dan terus dicari tesis serta antitesisnya agar pemahaman tidak mandek. Asal kita mau!

tribuners.com
tribuners.com
Yah, mungkin dari celah itulah, kaum millenials bisa memacu ide-ide kreatif yang out the box seperti tokoh tokoh yang sebenarnya juga tidak hanya belajar hanya satu ilmu. Dan berhasil mengenggam dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun