"Oh iya katanya, Lurah pring sewu, si Suryo panggah juga menjadi korban tanah longsor, rumah dia yang berdiri di lereng bukit itu roboh kena longsor sampai sumurnya juga ikut terkubur. Semua terkubur tanah longsor, ada korban manusia saat itu, katanya ada lebih 8 orang mati, termasuk Suro panggah sendiri. ........ Yaaah, begitulah kalau orang mau hidup tidak mengikuti aturan. Nebang pohon se-enaknya saja, bukit yang tadinya rimbun dibuat gundul. Â Kalau tidak ada pohon-pohon, kan tanah tidak punya perekat jadi gampang gembur dan longsor."
Penggalan scriptpercakapan diatas antara Ki lurah Jati Asih bersama istrinya Nyi Lurah, tertangkap basah di ruang pendengaran saya. Lalu, ruang imajinasi saya tersentak dan teringat kembali akan hal-hal positif yang luput dilakukan bersama alam. Mekipun saya bisa anggap hanya kebetulan, scripttadi cukup mujarab, untuk obat kesadaran, terutama kesadaran bencana.
Meminjam catatan seorang Sastrawan Muriel Rukeyser yang menyebut "Alam semesta terbuat dari cerita, bukan atom-atom". Mungkin masuk akal. Terbukti jika kisah-kisah legenda, mitologi dan drama kolosal berbalut sandiwara bisa menjadi penyampai pesan moral yang efektive yang asik untuk dinikmati. Pesan moral-nya bisa apa saja, termasuk pesan moral menyelamatkan lingkungan di sekitar kita.
Membuktikan itu, mari kita mundur ke-era 90-an, ketika Sandiwara radio menjadi hiburan favorite masyarakat kita, hal itu menjadi fakta, jika masyarakat kita sangat suka bermain imajinasi.Ya mau apalagi, mungkin pilihan hiburannya hanya radio saja pada saat itu.
Melalui corong speakernya, suara apapun yang keluar dari radio menjadi sumber hiburan dan informasi yang memanjakan pancapendengaran. Coba sebut saja, Sandiwara radio yang pernah nge-hitsseperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular menjadi kisah radio yang ditunggu-tunggu. Dimana ceritanya gurih, dibumbui buaian improvisasi suara manja berkarakter tokoh-tokoh sandiwara didalamnya.
Penggalan kisah sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana (ADB), episode ke-49 diatas menjadi salah satu penggalan kecil dan berhasil menggugah hati nurani saya untuk sadar bencana. Namun sentilan tersebut, tidaklah mengganggu kekhusyukkan dari cerita utama asmara antara Djatmiko dan Setyoningsih di tengah bencana dan prahara. Duh jadi penasaran-kan kelanjutan sandiwara nanti?
Legenda Kota Sama-Rendah Dan Permasalahan Banjir-nya
Berdomisili di kota Samarinda-pun sejak lahir, saya kerap merasakan banjir yang tiada-tara, setiap tahunnya tepatnya di setiap musim penghujan. Apakah ini takdir atau-pun masalah yang diciptakan manusia itu sendiri? Jawabannya akan berpulang pada kesadaran bencana masyarakatnya-kan?
Menjawab bencana banjir, seolah masyarakat kami hafal jika kondisi sama-rendah itulah penyebab-nya. Percaya apa tidak, namun saya fikir lekatnya cerita orangtua dulu seharusnya bisa menjadi pemacu untuk membuat lingkungan kita lebih baik lagi dan tidak banjir lagi.
Buktinya. Apakah kita tepat membuang sampah pada tempatnya? Kita bisa cek di sungai karang mumus, yang setiap hari menghasilkan tumpukan sampah berserakan plus sampah yang ada di got jalan pemukiman penduduk.
Lainnya, kita bisa menjumpai dengan mudah pemukiman kumuh warga di sepanjang bantaran sungai karang mumus yang sulit untuk move-on. Tanpa disadari, aktivitas warga telah mendesak aliran sungai untuk meluapkan airnya ke jalan-jalan raya. Pernahkah kita sadari jika kitalah yang ternyata menjadi pemain sekaligus korbannya, dari bencana banjir itu.
Radio Peramu Cerita Legenda Dan Potensi Bencana Buat Sadar Bencana
Radio kini bak amoeba, membelah diri di tengah kepungan media audio-visual. Radio bermunculan dengan segmen pendengar yang beragam. Ada radio berita, dangdut, jazz, pop, talk-show, komunitas dan lain-lain. Dalam konteksmarketing, segmentasiini saya yakin menjadi peluang untuk melemparkan produk mereka kepada segmen komunitas/pasar yang jelas.
Artinya apa? Radio berpeluang menjadi media yang efektive untuk menjangkau pendengar dengan retensi resiko bencana, dan melemparkan produk edukasisadar bencana dengn tepat. Semua berpulang dari program siar radio yang apik, yang mampu 'menarik kuping' pendengar untuk sadar bencana.
Radio kinibisa ditemukan dimana-mana. Di restaurant, mobil, kantor, rumah, smartphone, dengan kualitas suara FM yang jernih, dan tak terbatas jangkauannya. Siaran relay kerjasama beberapa radio lintas daerah atau dengan streaming via internet, adalah solusi mudah menemukan radio favoritkita, dimana saja kita berada.
Namun hadirnya pilihan hiburan lain melalui televisi yang menawarkan fasilitas audio-visual, telah mengepung kehadiran radio di era-2000an. Sinetron menjadi predator sandiwara radio, dengan memamerkan tokoh-nya yang berkarakter kuat, menjadikan kehadiran sandiwara radio maju-mundur. Walaupun harus diakui banyak juga cerita sandiwara radio yang pernah sukses didaur ulang kembali dalam bentuk sinetron dan mendapat attensi yang tinggi pemirsa.
Menurut saya, Indonesia kaya akan kisah Legenda nan-seksi. Dari kisah legenda tadi, terselip hal positiveyang menjadi kepercayaan masyarakat daerah untuk setia merawat alam untuk diteladani. Dan melahirkan apa yang kita kenal dengan kearifan lokal dalam mengelola alam kita.
Koentjaraningrat (1987), memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisonal dan kelompok transfornasi. Bisa dimaknai jika mitigasibencana belum-lah menjadi prioraitas. Dalam hal itu, perlulah berjuta cara dalam membangun kesadaran bencana alam di masing-masing daerah.
Coba kita tengok, Smog di Aceh, Tetue di Mentawai, lalu teknik pembangunan rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Joglo, Rumah panggung telah menjadi pelajaran berharga dalam menghadapi bencana alam tsunamidan gempa-bumi. Dimana cara tersebut, telah ditemukan oleh nenek moyang kita yang bisa saja luntur termakan zaman, jika tidak diperkenalkan kembali saat ini.
Yuk Sadar Bencana Melalui Sandiwara Radio
Jika ditengok data Badan Nasioanal Penaggulangan Bencana (BNPB) mengisyaratkan tren peningkatan kasus bencana yang terus saja meningkat. Jika dibandingkan tahun 2016, terjadi peningkatan 35% kasus bencana pada tahun 2015.
Bencana banjir sendiri telah terjadi di 315 kab/kota di Indonesia dan menelan 63.7 juta korban warga. Oleh karena itu, merebaknya kasus bencana alam ini, juga harus diikuti dengan langkah pencegahan masyarakat yang terlebih dahulu sadar akan bencana.
Saya berfikir, Radio yang memiliki segmentasipendengar dari berbagai status social, bisa turut andil dalam melemparkan program siar bertema lingkungan yang efektive dan efisenkepada pendengarnya. Itu telah dibuktikan BNPB yang telah meluncurkan sandiwara radio Asmara Di Tengah Bencana (ADB) pada Agustus 2016 silam. Hasilnya, sebanyak 43 juta pendengar terjaring dalam kisahnya.
Media sosial, terutama beberapa radio komunitas di Samarinda belakangan mulai tak ketinggalan dalam mengkampanyekan untuk sadar bencana banjir. Radio dengan iklan layanan masyarakat dan talk-shownya telah melahirkan komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS SKM). Gerakan tersebut saat ini massive didengungkan dan berhasil mengajak masyarakat mulai sadar bencana. Dengan tidak membuang sampah ke sungai dan memungut sampah.
Nah, saya yakin, jika media terutama radio tak pernah lelah menjadi corong dalam mengingatkan sadar bencana. Walhasil gerakan-gerakan seperti ini akan terus bermunculan di bumi etam. Dan segera menyadarkan warga samarinda dari dogma sejarah, yang menyerah terhadap ancaman bencana banjir nantinya.
Ah, semoga keberadaan ADB season 2, akan menggiatkan lagi usaha-usaha penyadaran masyarakat kami akan bencana terutama banjir dengan cerita ADB yang lebih seru lagi. Dengan kemudahan mendapatkan akses jangkauan signal radio via streaming atau relay, keberadaan sandiwara radio ADB pasti ditunggu masyarakat daerah, terutama di Samarinda ya. Dan bisa mendapat attensi lebih, bagi pendengar luar jawa khususnya.
Dalam ADB season 2 nanti, akan menjawab, bisakah Djatmiko menahan rasa cemburu, terhadap banyak lelaki yang mendekati Setyaningsih, sepeninggalannya? Dan yang pasti akan banyak selipan pesan sadar bencana yang kita bisa cerna dan lakukan dalam sadar bencana ya.