Koentjaraningrat (1987), memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisonal dan kelompok transfornasi. Bisa dimaknai jika mitigasibencana belum-lah menjadi prioraitas. Dalam hal itu, perlulah berjuta cara dalam membangun kesadaran bencana alam di masing-masing daerah.
Coba kita tengok, Smog di Aceh, Tetue di Mentawai, lalu teknik pembangunan rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Joglo, Rumah panggung telah menjadi pelajaran berharga dalam menghadapi bencana alam tsunamidan gempa-bumi. Dimana cara tersebut, telah ditemukan oleh nenek moyang kita yang bisa saja luntur termakan zaman, jika tidak diperkenalkan kembali saat ini.
Yuk Sadar Bencana Melalui Sandiwara Radio
Jika ditengok data Badan Nasioanal Penaggulangan Bencana (BNPB) mengisyaratkan tren peningkatan kasus bencana yang terus saja meningkat. Jika dibandingkan tahun 2016, terjadi peningkatan 35% kasus bencana pada tahun 2015.
Bencana banjir sendiri telah terjadi di 315 kab/kota di Indonesia dan menelan 63.7 juta korban warga. Oleh karena itu, merebaknya kasus bencana alam ini, juga harus diikuti dengan langkah pencegahan masyarakat yang terlebih dahulu sadar akan bencana.
Saya berfikir, Radio yang memiliki segmentasipendengar dari berbagai status social, bisa turut andil dalam melemparkan program siar bertema lingkungan yang efektive dan efisenkepada pendengarnya. Itu telah dibuktikan BNPB yang telah meluncurkan sandiwara radio Asmara Di Tengah Bencana (ADB) pada Agustus 2016 silam. Hasilnya, sebanyak 43 juta pendengar terjaring dalam kisahnya.
Media sosial, terutama beberapa radio komunitas di Samarinda belakangan mulai tak ketinggalan dalam mengkampanyekan untuk sadar bencana banjir. Radio dengan iklan layanan masyarakat dan talk-shownya telah melahirkan komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS SKM). Gerakan tersebut saat ini massive didengungkan dan berhasil mengajak masyarakat mulai sadar bencana. Dengan tidak membuang sampah ke sungai dan memungut sampah.