Mohon tunggu...
Hukum

Quo Vadis LPSK: Optimisme Perlindungan Saksi dan Korban di Antara Politik Hukum dan Tanggung Jawab Negara

21 November 2018   16:10 Diperbarui: 22 November 2018   17:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsekuensi pengakuan negara yang dijalankan berdasarkan kedaulatan hukum setidaknya memengaruhi sistem penegakan hukum di Indonesia yang menitikberatkan pada rasa persamaan di muka hukum atau equality before the law. Berangkat dari hal tersebut negara memandang dalam proses penegakan hukum terdapat pihak-pihak yang hak-haknya seringkali dikesampingkan dengan dalih penegakan hukum itu sendiri yakni, saksi dan korban. 

Jika diperhatikan lebih lanjut proses penegakan hukum tidak mungkin dapat berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh norma hukum apabila saksi dan korban tidak terlibat dalam proses penegakan hukum. Namun pada kenyataannya dengan terlibatanya seseorang menjadi saksi apalagi korban permasalahan hukum seseorang tersebut justru mendapat tekanan dari pihak lain (khususnya pihak pelaku kejahatan) atau bahkan mendapat tekanan dari negara apabila negara terlibat dalam permasalahan tersebut.

Rujukan filosofis tersebut lah yang mendorong negara mengimplementasikan tanggungjawabnya untuk memberikan landasan moral dan operasional dalam pelayanan perlindungan saksi dan korban yang mengacu pada nilai-nilai penghormatan atas harkat dan matabat manusia, bentuk jaminan bagi saksi dan/atau korban dalam kerangka perlindungan negara terhadap peran dan posisi mereka dalam proses penegakan hukum, dan prinsip keseimbangan yang diterapkan bagi saksi dan/atau korban dalam tata hukum dan proses peradilan yang selama ini belum mendapatkan tempat yang sesuai dengan status dan posisi sebagai saksi dan/atau korban[1] melalui politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai landasan hukum pembentukan dan pelaksanaan operasional Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sejatinya dengan berdirinya LPSK telah memberi harapan baru bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia terlebih lagi dalam proses penegakan hukum. Masyarakat memiliki kepercayaan tinggi terhadap kinerja akuntabilitas dan intergritas LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi hak-hak saksi dan korban. 

Secara spesifik dapat dilihat pada tingginya pengaduan masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual anak dan penganiayaan yang mengalami peningkatan permohonan secara signifikan, untuk semester I tahun 2015 sejumlah 755 kasus, tahun 2016 sejumlah 1727 kasus, dan tahun 2017 sejumlah 1901 kasus.

Optimisme masyarakat tersebut sayangnya tidak sejalan dengan kontribusi negara yang dirasa kurang memberikan perhatian dalam pengembangan institusi LPSK, khususnya berkaitan dengan anggaran operasional LPSK. Merujuk pada pagu anggaran LPSK tahun 2017 dimana LPSK mendapat anggaran sebesar 74,5 miliar dimana hanya sebesar 31,13 persen dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pelayanan, seperti penguatan landasan hukum dan meningkatkan kualitas dan kuantitas perlindungan saksi dan korban dan sisanya digunakan untuk alokasi anggaran sekretariat dan pimpinan. 

Artinya dalam hal ini negara masih belum dapat mencukupi kebutuhan anggaran LPSK sehingga terdapat hambatan bagi institusi tersebut dalam menjalankan operasionalnya, misalnya seseorang yang dilindungi seharusnya mendapatkan dua orang pengawal, satu manajer kasus, dan satu orang staff administrasi. Namun, karena keterbatasan anggaran, orang yang dilindungi tersebut hanya mendapatkan dua pendamping.

Fakta tersebut dibenarkan juga oleh Hasto Atmojo Suroyo selaku Wakil Ketua LPSK yang menuturkan bahwa selama ini LPSK tidak ada peningkatan anggaran signifikan. Peningkatan anggaran itu paling dihitung dari inflasi saja. Tapi, peningkatan dalam artian yang diprediksikan mengikuti jumlah permohonan, itu tampaknya belum. Mestinya posting anggaran untuk LPSK, persentase untuk layanan, baik itu di BPP (Biro Penerimaan Permohonan) atau BPHSK (Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban), mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. 

Perhatian yang lebih serius karena terbukti dari tahun ke tahun, BPHSK itu selalu mengalami kekurangan dalam memberikan layanan. Permasalahan ini pula akan menjadi tantangan tersendiri bagi pimpinan LPSK selanjutnya agar mampu melaksanakan kebijakan berdasarkan rasional anggaran yang disediakan negara atau setidaknya mampu melakukan negosiasi terhadap negara guna meningkatkan anggaran LPSK atau mampu memberikan solusi baru bagi masalah anggaran LPSK. Sebagaimana diketahui bersama bahwa keniscayaan anggaran akan sangat berperan dalam proses operasional layanan saksi dan korban.

Selain permasalahan anggaran pimpinan LPSK selanjutnya diharapakan mampu mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban, memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban, dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban yang merupakan integrasi visi LPSK yakni Terwujudnya Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Dewasa ini peran digitalisasi sangat berpengaruh pada praktek penyelenggeraan pemerintahan modern, khususnya untuk menjamin akuntabilitas dan integritas layanan pemerintahan untuk memenuhi prinsip Good Governance. 

Sekiranya dengan memperhatikan aspek penting perkembangan zaman pimpinan baru LPSK dapat memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memangkas adminitrasi permohonan layanan perlindungan saksi dan korban serta dapat mengefektifkan birokrasi intitusi LPSK. 

Urgensi ini muncul akibat adanya keterbatasan anggaran di tubuh LPSK dan sebagai evaluasi yang sebagaimana tercermin dalam Laporan Tahunan LPSK Tahun 2017 yang membutuhkan adanya road map reformasi birokrasi LPSK, penataan sistem e-government, dan evaluasi terhadap rencana strategis LPSK.

Pada umumnya program perlindungan saksi dijalankan dengan menekankan aspek keamanan karena ancaman dan intimidasi terhadap saksi.[2] Sedangkan dalam kerangka layanan perlindungan bagi korban tindak pidana menekankan aspek perlindungan pada hak-hak prosedural di persidangan dan hak atas pemulihan seperti rehabilitasi, kompensasi dan restitusi. Terkait dengan kendala-kendala yang terkait dengan kelembagaan tersebut semangat untuk tetap mengedepankan pemberian layanan yang maksimal.[3]

Satu dasawarsa berjalannya intitusi LPSK tidak terlepas dari politik hukum landasan hukum dibentuknya LPSK (Undang-Undang LPSK) yang tidak menutup kemungkinan terdapat kekurangan dalam proses perumusannya. Misalnya berkaitan dengan upaya melindungi saksi dari pihak yang membahayakannya LPSK dapat memberikan perlindungan berupa tempat persembunyian sementara atau dengan mengubah identitas saksi tersebut. 

Tapi bagaimana jika dalam permasalahan tersebut negara terlibat dalam pelanggaran hukum yang terjadi? Dapat dirasakan bahwa ketentuan hukum yang ada belum dapat menjawab pertanyaan tersebut. Permasalahan ini bukan sekedar fiksi sebab sejarah telah mencatat ada pelanggaran-pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh lembaga negara khususnya TNI dan POLRI. Sebagai bahan refleksi dapat dilihat upaya perlindungan saksi, misalnya di Afrika Selatan. Afrika Selatan yang telah memulai konsep perlindungan saksi sejak tahun 1998 melalui Witness Protection Act dapat mengirim dan melakukan perlindungan saksi di luar negeri untuk menghindarkan gangguan akan keselamatan martabat kemanusiaan seorang saksi. 

Tentunya upaya tersebut sekiranya efektif untuk melindungi saksi apabila pihak lain khususnya negara terlibat permasalahan pelanggaran hak asasi manusia. Optimisme perlindungan saksi dan korban sekiranya merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pimpinan baru LPSK. Salah satunya dapat dilakukan dengan adanya dorongan dari pimpinan LPSK untuk memperbaharui Undang-Undang LPSK untuk mengoptimalkan wewenang dan kewajiban LPSK dalam memberikan pelayanan perlindungan saksi dan korban. 

Poin-poin perubahan yang dapat diperhatikan adalah berkenaan dengan pemberian sanksi yang dapat diberikan oleh LPSK bagi aparat penegak hukum maupun lembaga negara yang tidak melibatkan LPSK dalam proses penegakan hukum yang dimungkinkan mengganggu keselamatan martabat kemanusiaan saksi dan korban dan mengatur lebih jelas batas-batas wewenang LPSK yang dimungkinkan dapat bersinggungan dengan wewenang lembaga negara lain.

Gaya baru kepemimpinan institusi LPSK sangat berpengaruh pada sistem perlindungan saksi dan korban secara menyeluruh sebagai bagian dari sistem hukum nasional dan bukan hanya berkaitan dengan institusional LPSK belaka. Pimpinan baru LPSK menanggung beban berat untuk mewujudkan cita-cita pengakuan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Namun sejatinya pimpinan LPSK tidak akan pernah sendiri membangun institusi LPSK, sebab masyarakat dan mahasiswa bersama mendorong pengembangan lebih lanjut LPSK sebagai institusi yang memberikan layanan perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

[1] Draft Rancangan Undang-Undang Lemaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 6.

[2] Supriyadi Widodo dkk., Masukan Terhadap Perubahan Uu No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2014, hlm. 20-21.

[3]Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun