Bergegas Faisal mengambil plastik putih besar yang ia simpan di sela-sela kaki meja. Dengan cekatan ia hamparkan plastik besar itu di atas tiga kotak berukuran sedang tempat ia sehari-hari menjajakan macam-macam kue buatan ibunya. Dalam beberapa detik saja semua sudah tertutup sempurna, ia pun hanya perlu menepi ke tembok sebuah toko elektronik agar tidak basah oleh hujan yang turun tiba-tiba.
Cukup lama hujan turun, sudah hampir 40 menit Faisal berteduh menunggu hujan itu reda. Sebenarnya salah seorang penjaga toko sudah menawarkan tempat untuk Faisal berteduh di dalam, tetapi Faisal dengan sopan menolaknya.
Bukan karena Faisal suka hujan, hanya saja ia tidak begitu suka berlama-lama di tempat yang bukan rumahnya. Ia khawatir kalau-kalau ada barang yang hilang, ia berpotensi jadi tersangka. Baginya, hidup sederhana tanpa masalah sudah merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa.
Sembari menunggu hujan, ia merenung. Bukan, ia bukan merenungi nasibnya yang harus berjualan makanan selepas sekolah, ia menikmati semua itu. Ia justru merenungi sesuatu yang mungkin tidak ada di pikiran para remaja yang senasib dengannya. Ya, ia merenungi bagaimana kelanjutan pendidikannya selepas tamat SMA, padahal kebanyakan remaja yang senasib dengannya tentu ingin cepat-cepat bekerja. Ia memang menyadari akan hidupnya yang cukup susah, namun ia tidak bersedia menyerah begitu saja. Ia yakin kalau memang sudah rezeki, solusi atas masalah itu pasti bisa ia temui.
Di saat Faisal sedang hanyut dalam renungannya, melintas seorang gadis dengan tiba-tiba. Gadis itu adalah Noviza, teman Faisal sejak kelas 1 SMA. Sebenarnya mereka tidak begitu dekat, atau lebih tepatnya, hanya Faisal yang berusaha mendekat.
"Baru pulang?" teriak Faisal coba menyapa.
Noviza hanya sedikit menoleh, tidak membalas sapaan Faisal, dan terus berlari kecil menuju rumahnya. Faisal tidak marah, ia paham kalau Noviza sedang bergegas karena hujan turun cukup deras. Dari kejauhan ia pandangi terus Noviza, sampai gadis itu menghilang di balik tembok sebuah rumah. Setelah Noviza menghilang, Faisal segera memalingkan pandangan dan kembali kepada apa yang sebelumnya direnungkan.
Faisal memang mengagumi Noviza, bahkan sejak pandangan pertama. Kekagumannya itu sudah bukan rahasia, semua temannya termasuk Noviza sendiri mengetahuinya. Bicara cantik, Noviza memang cantik. Yang Faisal pernah dengar, Noviza memiliki darah Arab dari kakek buyutnya, namun bukan itu intinya. Kecerdasan Noviza dalam banyak hal-lah yang menjadi alasan utama. Oleh sebab itu, alih-alih merasa malu kekagumannya diketahui, Faisal justru merasa bangga.
Sering Faisal memuji Noviza, misalnya tiga bulan yang lalu saat Noviza bernyanyi pada acara peringatan Hari Sumpah Pemuda. Selepas acara, Faisal mendekat kepada Noviza yang sedang menikmati beberapa hidangan tersedia.
"Sekolah kita ternyata banyak uang, ya?!" Faisal membuka pembicaraan.
"He'eh." Sahut Noviza tak acuh sambil terus menyantap hidangan.
"Buktinya, untuk mengisi acara internal saja, mereka sampai rela mengundang Raisa." Faisal menambahkan.
"Raisa?! Mana Raisa?!" Noviza tersentak dan segera menatap Faisal dengan penuh keheranan.
"Loh, yang tadi bernyanyi, siapa?" Faisal berpura-pura kebingungan.
Kali ini, Noviza tidak lagi menanggapi. Ia memalingkan wajahnya dari Faisal dan kembali menyantap hidangannya. Saat itu Noviza benar-benar tersipu malu. Bukan Noviza orang yang mudah perasa, melainkan saat itu memang hanya dirinya yang hadir bernyanyi untuk mengisi acara. Begitulah satu dari banyak cara yang biasa dilakukan Faisal dalam mengekspresikan kekagumannya pada Noviza, terlihat sederhana namun langsung mengena.
Kembali kepada Faisal yang sedang merenungi masa depannya. Ah, semakin dalam ia merenung, semakin sulit ia temukan jawaban. Ia masih terus dihantui pertanyaan tentang bagaimana mendapatkan biaya untuk melanjutkan pendidikannya sampai ke bangku kuliah. Padahal, kurang dari enam bulan lagi ia akan berwisuda. Namun apa mau dikata? Faisal terpaksa kembali membiarkan pertanyaan itu menggantung di dalam memorinya, berharap jawaban Tuhan mungkin akan turun langsung pada akhirnya.Â
Lagi pula, saat itu langit sudah semakin gelap. Dilihatnya jam dinding di dalam toko, kedua jarumnya sudah bertemu di angka enam. Dilihatnya kue-kue di dalam kotak, hanya tersisa delapan buah. Faisal segera membungkus empat kue untuk dibawa pulang, kemudian memberikan empat buah sisanya kepada dua orang penjaga toko sebagai rasa terima kasih atas lapak yang telah disediakan.
Sampai di rumah, Faisal tidak langsung makan atau berleha-leha. Ia membersihkan terlebih dahulu dirinya, sebab ia harus segera melaksanakan salat. Selepas salat, baru ia menuju dapur. Tidak, tidak untuk mengambil makan, melainkan mencuci peralatan makan terlebih dahulu.Â
Sebenarnya tidak ada yang menyuruhnya berbuat demikian, ia sadar diri saja. Ibunya, selain membuat kue untuk dijual, sibuk mengurus keperluan dua orang adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Begitu pun ayahnya, sibuk bekerja membantu warung makan tetangga dari pagi hingga malam. Nanti selepas makan, barulah Faisal bisa beristirahat.
Sebagaimana remaja pada umumnya, Faisal menggunakan waktu istirahatnya untuk berselancar di sosial media. Ya, secara ekonomi, Faisal memang cukup susah, namun kalau sekadar telepon pintar di bawah satu juta rupiah, ia masih sanggup membelinya. Dan kalau sudah bersama telepon pintar kesayangannya, mulai lagi ia kepada Noviza: menyapa, pura-pura bertanya, atau kembali memujinya. Biasanya setelah pesan ia kirimkan, ia tidak langsung menunggu jawaban.Â
Untuk mengulur waktu, ia tutup sementara sosial medianya, kemudian ia baca macam-macam artikel yang ada. Ia berbuat demikian bukan karena ia tidak ingin terburu-buru dalam membalas pesan Noviza, melainkan karena memang Noviza yang sangat lambat dalam merespon pesan-pesannya. Dalam satu sampai dua jam mungkin pesan Faisal belum juga direspon oleh Noviza, entah Noviza yang sangat sibuk atau memang Faisal bukan prioritasnya.
Terkadang pesan Faisal bahkan baru direspon satu hari setelahnya. Seperti malam ini saja, sudah lebih dari dua puluh artikel Faisal baca, dari fakta tentang ratu catur sampai ratu Britania Raya, dari cara aman membeli emas sampai cara aman untuk sampai ke Mars, telepon pintarnya tidak juga menampilkan notifikasi balasan pesan dari Noviza.
"Ah, mungkin ia sudah terlelap, hari ini kan ia pulang agak telat, lagi pula ia kehujanan."Â Pikir Faisal.
Pemuda itu pun mengurungkan niat untuk kembali membuka sosial media, dan segera mengisi daya baterai serta meletakan telepon pintarnya di atas VCD tua pemberian kakeknya.
Baru dua langkah Faisal berjalan, terdengar bunyi notifikasi dari telepon pintarnya. Betapa senang hati Faisal! Tanpa melangkah mundur, ia balikkan badan dan segera meraih telepon pintar tersebut. Dibukanya telepon pintar itu, dan wah! Ada pesan masuk! Ia baca dengan seksama nama pengirimnya, ternyata bukan Noviza, melainkan seorang teman yang dulu pernah tergabung dalam satu organisasi dengannya. Ia memang sempat kecewa, namun langsung sumringah begitu mengetahui isi pesannya.
Seorang teman tersebut mengirimkan sebuah broadcast message berisi beragam beasiswa kuliah yang tentu akan sangat meringankan beban hidup Faisal. Inilah yang Faisal cari. Ia baca pesan itu dengan seksama, tidak bisa ia sembunyikan senyumnya kala membaca banyaknya beasiswa yang tersedia. Ada beasiswa pemerintah, ada pula beasiswa swasta.Â
Berjam-jam lamanya ia baca segala informasi yang ada. Meskipun persyaratan antara satu beasiswa dengan beasiswa lainnya hampir sama, ia tetap antusias membacanya kata demi kata. Betapa tidak? Beasiswa pemerintah bukan hanya akan membebaskan dirinya dari kewajiban membayar uang kuliah, melainkan juga akan membekali uang saku pada tiap semesternya. Ia tentu tidak boleh melewatkannya.
Sejak malam itu dan seterusnya, kapan pun ia punya kesempatan untuk membuka telepon pintarnya, ia pasti kembali mempelajari berbagai persyaratan tentang beasiswa. Jika berkas yang disyaratkan sudah ada di tangannya, seperti fotokopi kartu keluarga, akte kelahiran, dan sejenisnya, ia langsung kumpulkan satu per satu dalam sebuah map plastik yang dulu ia dapat kala mengikuti seminar anti narkoba. Faisal sekarang menjelma menjadi seorang pejuang sejati beasiswa. Namun sayang, kesibukan inilah yang secara perlahan mengikis perhatiannya pada Noviza.
Faisal yang biasanya setiap hari mengirim paling tidak satu pesan kepada Noviza, sekarang jadi tidak jelas waktunya. Jangankan memuji, sekadar memberi kabar pun sudah jarang Faisal lakukan. Puncaknya, satu bulan sebelum wisuda, Faisal benar-benar tidak lagi mengirim pesan kepada Noviza. Mereka juga sudah jarang sekali bertemu untuk sekadar bertegur sapa.Â
Sebenarnya sejak kelas 1 SMA, mereka memang, entah kenapa, tidak pernah ditempatkan di kelas yang sama. Namun ketika Faisal belum disibukkan oleh beasiswa, ia sering, bahkan sangat sering berkunjung ke kelas Noviza. Saat ini tentu sudah tidak. Terlebih di saat yang bersamaan, Noviza lebih memilih jalan lain ketika pulang dari sekolah. Ia tidak mau lagi melewati jalan tempat Faisal berjualan, entah kenapa, enggan saja.
Noviza yang kira-kira 2,5 tahun lamanya merasa terganggu oleh perhatian Faisal, sekarang justru merasa kehilangan. Noviza menduga-duga apakah Faisal merajuk karena sikap tak acuhnya, atau memang sudah lelah selalu diabaikan, atau jangan-jangan ada gadis lain yang, entah secara sengaja atau tidak, sudah berhasil mengambil Faisal dari dirinya. Sial, perubahan sikap penjual kue itu ternyata sampai membuat gadis ini merana. Namun sebenarnya, Faisal sama sekali tidak berniat mengabaikan Noviza, semua terjadi secara alami begitu saja.
Lama Noviza menimbang. Sebagai seorang yang selalu mendapatkan perhatian, cukup berat baginya untuk datang kepada Faisal. Gengsi pasti ada. Namun rasa rindu akan pujian dan candaan Faisal yang sudah sebulan penuh tidak lagi diterimanya, juga tidak kalah besar.
"Sudahlah, saya yakin dia tulus pada saya. Tidak patut bagi saya untuk terus menerus bersikap tak acuh padanya. Masalah harga diri, apalah arti harga diri? Memangnya selama ini dia mempermalukan saya? Dia justru selalu memuji saya."Â Gumam Noviza dalam hati. "Saya harus bicara dengan dia!"Â tambah Noviza lebih mantap lagi.
Niat tersebut akhirnya diwujudkan Noviza pada hari wisuda. Ia mencari celah bagaimana caranya ia bisa berbicara empat mata dengan Faisal. Agak sulit sebenarnya, karena laki-laki biasa tergabung dengan kawanannya, begitu pun wanita. Dua-tiga jam belum juga Noviza menemukan momen yang tepat. Sampai akhirnya, momen itu didapat juga kala waktu makan siang tiba.Â
Noviza mendapati Faisal sedang makan sendirian di bangku belakang, kawanannya entah pergi ke mana, mungkin mereka ada di lantai bawah karena di sana ada tempat untuk berfoto ria. Sebenarnya agak berat langkah Noviza, khawatir Faisal benar-benar akan menolak berbicara dengannya.
"Dekat sekolah ada toko HP murah, pernah ke sana?" tanya Noviza saat sudah duduk tepat di samping Faisal.
"Eh, Noviza?!" Faisal yang sedang asyik makan terkejut akan kehadiran Noviza. "Apa? Maaf tadi saya tidak dengar."
"Ada toko HP murah dekat sekolah, kamu pernah ke sana, tidak?" Noviza mengulangi pertanyaan sembari tersenyum dengan manisnya.
"Oh, belum sih. Tapi... kenapa pula saya harus ke sana?" Faisal kembali mengorek-ngorek nasi dalam kotak dengan sendok plastik yang digenggamnya.
"Loh, saya pikir HP-mu rusak." Noviza pura-pura salah menduga.
"Tidak, ini HP saya." Faisal sedikit memiringkan badan lalu menunjuk kantong sebelah kanan celananya.
"Lalu... kalau HP-mu baik-baik saja, kenapa beberapa bulan ke belakang ini kamu jarang, dan bahkan tidak pernah lagi menghubungi saya? Kamu marah pada saya?" tanya gadis itu sembari menggeser duduknya semakin dekat ke arah Faisal.
"Oh itu, maaf, mungkin karena saya terlalu sibuk. Saat ini saya sedang fokus pada beasiswa. Waktu saya habis untuk mempelajari dan melengkapi berkas-berkas persyaratannya." Faisal berterus terang.
"Ah, syukurlah, saya kira kamu marah pada saya." Noviza menghela napas lega.
"Hahaha, kenapa pula saya marah? Memangnya kamu ada salah?"
"Mungkin saja, selama ini kan kamu perhatian betul pada saya, tapi saya-nya cuek saja." Faisal hanya menyimak. "Tapi kalau boleh tau, kenapa sih kamu begitu perhatian dengan saya?" Noviza melempar tanya.
"Sederhana saja. Bicaramu bagus, suaramu merdu, wajahmu cantik, kamu cerdas, bagaimana mungkin saya tidak terpesona?" jawab Faisal meyakinkan.
"Sebatas itu saja?" tanya Noviza lebih dalam lagi.
"Saya pikir, sudah saya sebutkan semua alasan saya." Timpal Faisal sembari menunjukkan ekspresi wajah berpikir, kalau-kalau memang masih ada alasan lainnya.
"Maksud saya..." agak ragu Noviza melanjutkan, "...bukan karena kamu menyukai saya?"
"Suka? suka yang seperti apa?"
"Entahlah. Yang saya tau, di mana ada suka, di situ ada cinta." Faisal terdiam. "Kamu mencintai saya?" Faisal semakin terdiam. Dalam hati ia bergumam, "Aduh, apa pula kamu membicarakan hal seperti itu di sini, di mana banyak orang bisa mendengar?"
"Jujur saja, kamu cinta dengan saya?" Faisal semakin tertekan.
"Aduh, bagaimana ya? Tapi kamu jangan semakin mejauhi saya setelah tau jawabannya, ya?!" Noviza mengangguk pelan dan semakin menatap tajam Faisal.
"Sejujurnya, saya rasa... tidak." Jawab Faisal lirih sembari sedikit menggelengkan kepala. "Tidak ada rasa cinta dalam diri saya padamu, Noviza. Semua yang saya lakukan hanya sebatas kekaguman".
Betapa terpukul Noviza mendengar jawaban itu. Ia tertunduk. Kedua tangannya secara perlahan mulai sibuk merapikan lipatan-lipatan kebaya yang dikenakannya. Sebenarnya tidak ada yang perlu dirapikan, ia berbuat demikian agar Faisal tidak menyadari bahwa dirinya sedang berusaha menahan air mata. Di sisi lain, Faisal juga tidak salah. Semuanya tulus ia katakan. Memang apa lagi?
Pertama, sedari awal ia sudah sadar bahwa ia tidak akan pernah memiliki Noviza. Ia, entah kenapa, merasa senang saja 'menggoda' Noviza. Kedua, saat ini ia sedang fokus pada masa depan pendidikannya. Ketiga, ia sudah berusaha mencari paling tidak seberkas cinta untuk Noviza dalam hatinya, namun tetap saja tidak ada!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H