Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Manchester United, Kau Bukan yang Dulu Lagi (Sindrom Munchausen)

10 Oktober 2024   09:17 Diperbarui: 10 Oktober 2024   09:27 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bek Johnny Evans tertunduk lesu saat ditahan imbang Aston Villa (sumber : CNN Indonesia )

Saye nak crite sikit...

Casemiro memang tangguh dan sama tangguhnya seperti Roy Keane yang berkarakter waktu dulu menghantam lawan tanpa rasa takut, tapi sayang Casemiro saat ini tinggal ampasnya saja, tak segarang waktu di Los Blancos.

Eriksen memang cerdas dan sama cerdasnya seperti Paul Scholes yang brilian waktu dulu menjelajah lapangan tanpa lelah, tapi sayang Eriksen sudah tak sehebat dulu semenjak ia terkena sakit henti jantung sewaktu EURO 2020.

Sayap Garnacho - Rashford di lini serang sebenarnya sangat menjanjikan, tetapi gagal menampilkan permainan menggelora seperti jamannya Ryan Giggs - Beckham, dimana para striker Setan Merah selalu dimanjakan umpan-umpan kelas dunia.

Bruno Fernandes pun setali tiga uang dimana ia gagal menyamai Cristiano Ronaldo dalam membuat variasi serangan Man Utd menjadi lebih garang dan menakutkan, kebanyakan gimik temperamental dan brewok.

Kalau bicara lini belakang, aduh jangan ditanya, duo linglung Maguire dan Evans kenapa hingga kini masih terus dipertahankan, sudah jelas sangat jauh dibandingkan dengan duet tangguh legendaris Nemanja Vidic -- Rio Ferdinand yang elegan dan berwibawa.

Nampaknya fans Man Utd harus merubah perspektif, bahwa Setan Merah yang sekarang, bukan lagi Class of 92. Man Utd jaman kekinian mirip-mirip Newcastle United pada era 90an, dimana selalu diisi pemain-pemain hebat, tapi prestasinya cuma naik turun di papan tengah klasemen, angin-anginan.

Fans Man Utd sudah harus membiasakan diri untuk kecewa seperti kata mbak Raisa, sudah harus menerima bahwa mbak City sudah bukan lagi Noisy Neighbour lagi, tetapi menjelma menjadi The Real Greater Neighbour.

Arsenal bukanlah rivalmu lagi, sudah tidak ada lagi perseteruan seru trash talk antara Roy Keane dan Patrick Viera di terowongan Highbury. Apalagi Liverpool, dimana waktu dulu The Reds kerap menjadi pecundang, kini menjadi tim yang berhak menyandang "paling merah" di tanah Britania.

Sindrom Munchausen

Fans MU kini mengidap sindrom MUnchausen, apa itu ?

Disadur dari Cleveland Clinic, Sindrom Munchausen adalah gangguan buatan yang dipaksakan pada diri sendiri, yang terjadi ketika seseorang mencoba mendapatkan perhatian dan simpati dengan memalsukan, menyebabkan, dan/atau membesar-besarkan suatu penyakit.

Sindrom ini sebenarnya lebih mengarah ke klinis psikologis, dimana perilaku ini biasanya lebih kepada kebiasaan seseorang untuk melebih-lebihkan sesuatu yang dideritanya agar mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Contohnya, ada seseorang karyawan yang berpura-pura sakit untuk mendapatkan ijin tidak masuk kerja, memang mungkin dia sakit, tetapi sebenarnya hanya sakit ringan dan masih memungkinkan untuk beraktifitas seperti biasa.

Bisa juga perilaku ini mengarah kepada melebih-lebihkan kondisi buruk yang dialaminya untuk mendapatkan simpati dari orang banyak, padahal sebenarnya dia baik-baik saja, seperti pengemis yang berpura-pura tidak makan seharian atau pura-pura cacat.

Lalu apa hubungannya dengan Fans MU dengan sindrom Munchausen, selain sama-sama memakai awalan "MU", kesamaannya lainnya adalah dimana rasa sakit para fans MU pada seretnya prestasi Manchester United dirasakan terlalu dilebih-lebihkan, hal tersebut disebabkan mereka belum bisa move on dengan Man Utd eranya Sir Alex Ferguson.

Jadilah fans menyesuaikan dengan jamannya, bukan terpesona dengan prestasi masa lalu. Tirulah para Juventini pada era Calciopoli  awal 2000an, dimana para tifosi Nyonya Tua tidak merasa sedih berlebihan dan efeknya kepada para pemain sekaliber Alessandro Del Piero dan bintang lainnya tetap semangat berlaga di Seri B, hingga akhirnya bisa naik lagi ke Seri A.

Jika perasaan para fans Man Utd masih merasa klub ini seperti halnya Man Utd di era Sir Alex Ferguson, maka yang terjadi adalah rasa sakit penuh kepura-puraan, karena kita harus menyadari kualitas pemain Man Utd memang masih sulit bersaing di papan atas Liga Inggris. Jaman sudah berubah, Liga Inggris sekarang benar-benar dikuasai uang para taipan Asia dan Sheikh Timur Tengah.

Biasakanlah diri, jika bisa berada di posisi 10 ke bawah klasemen untuk tidak merasa sakit berlebihan, itulah takdir Man Utd di jaman sekarang. Tak ada gunanya meratapi, takkan ada yang simpati.

Tetaplah bersemangat kobarkan bendera Setan Merah entah dalam kondisi menang atau kalah, jadilah fans yang tetap setia dalam kondisi apapun, karena hal tersebut akan berpengaruh secara psikologis kepada performa pemain.

Jangan pedulikan hinaan fans FOMO jaman sekarang, memang berbeda sekali aura fans klub sepakbola jaman dulu dan jaman sekarang. Saya masih ingat di jaman 90an, saya memiliki beberapa teman yang justru fans dari klub-klub medioker seperti Nottingham Forest, Sampdoria, Parma, Bologna atau Blackburn Rovers. Mereka rata-rata tak peduli kalah atau menang, pada jaman itu alasan ngefans suatu klub memang cukup simpel, senang dengan corak jerseynya atau memang punya greget sendiri jika klub medioker yang dipujanya bisa mengalahkan klub besar.

Manchester United memang adalah klub yang memiliki sejarah besar, tetapi untuk saat ini mereka sudah tidak bisa dikatakan masuk dalam jajaran klub besar. Artinya apabila klub ini tercecer di klasemen tengah, memang harus dibiasakan dan tetap harus menjadi fans sejati.

Mental ini memang harus dimiliki oleh para punggawa Man Utd, agar mereka tidak menyepelekan setiap lawan-lawannya. Ibaratnya mereka harus menyadari bahwa statusnya sekarang adalah "kuda hitam", bukan lagi sebagai unggulan utama di papan atas. Sehingga mental yang terbentuk adalah selalu bersemangat pada setiap jelang pertandingan, dimana ketika melawan klub papan tengah atau bawah, mereka tetap respek dan fokus, sementara ketika melawan klub papan atas, mereka pun juga tetap sama fokusnya.

Pembenahan besar-besaran memang harus dilakukan oleh Man Utd pada komposisi pemainnya serta para jajaran staf kepelatihannya agar mereka dapat bangkit lagi, karena buktinya sekian banyak pelatih pasca Sir Alex Ferguson belum dapat mengangkat performanya seperti dulu. Artinya gonta-ganti pelatih pun bukan solusi utama bagi Setan Merah saat ini, tetapi lebih kepada Revolusi Mental ke dalam internalnya.

Menang memang menyenangkan, kalah memang menyakitkan, tetapi itulah sepakbola, tak ada klub di dunia ini yang bisa terus berprestasi hebat lebih dari dua dekade. Tetaplah gaungkan Glory...Glory... Glory Man United... dalam merah menyala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun