Disadur dari Cleveland Clinic, Sindrom Munchausen adalah gangguan buatan yang dipaksakan pada diri sendiri, yang terjadi ketika seseorang mencoba mendapatkan perhatian dan simpati dengan memalsukan, menyebabkan, dan/atau membesar-besarkan suatu penyakit.
Sindrom ini sebenarnya lebih mengarah ke klinis psikologis, dimana perilaku ini biasanya lebih kepada kebiasaan seseorang untuk melebih-lebihkan sesuatu yang dideritanya agar mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Contohnya, ada seseorang karyawan yang berpura-pura sakit untuk mendapatkan ijin tidak masuk kerja, memang mungkin dia sakit, tetapi sebenarnya hanya sakit ringan dan masih memungkinkan untuk beraktifitas seperti biasa.
Bisa juga perilaku ini mengarah kepada melebih-lebihkan kondisi buruk yang dialaminya untuk mendapatkan simpati dari orang banyak, padahal sebenarnya dia baik-baik saja, seperti pengemis yang berpura-pura tidak makan seharian atau pura-pura cacat.
Lalu apa hubungannya dengan Fans MU dengan sindrom Munchausen, selain sama-sama memakai awalan "MU", kesamaannya lainnya adalah dimana rasa sakit para fans MU pada seretnya prestasi Manchester United dirasakan terlalu dilebih-lebihkan, hal tersebut disebabkan mereka belum bisa move on dengan Man Utd eranya Sir Alex Ferguson.
Jadilah fans menyesuaikan dengan jamannya, bukan terpesona dengan prestasi masa lalu. Tirulah para Juventini pada era Calciopoli  awal 2000an, dimana para tifosi Nyonya Tua tidak merasa sedih berlebihan dan efeknya kepada para pemain sekaliber Alessandro Del Piero dan bintang lainnya tetap semangat berlaga di Seri B, hingga akhirnya bisa naik lagi ke Seri A.
Jika perasaan para fans Man Utd masih merasa klub ini seperti halnya Man Utd di era Sir Alex Ferguson, maka yang terjadi adalah rasa sakit penuh kepura-puraan, karena kita harus menyadari kualitas pemain Man Utd memang masih sulit bersaing di papan atas Liga Inggris. Jaman sudah berubah, Liga Inggris sekarang benar-benar dikuasai uang para taipan Asia dan Sheikh Timur Tengah.
Biasakanlah diri, jika bisa berada di posisi 10 ke bawah klasemen untuk tidak merasa sakit berlebihan, itulah takdir Man Utd di jaman sekarang. Tak ada gunanya meratapi, takkan ada yang simpati.
Tetaplah bersemangat kobarkan bendera Setan Merah entah dalam kondisi menang atau kalah, jadilah fans yang tetap setia dalam kondisi apapun, karena hal tersebut akan berpengaruh secara psikologis kepada performa pemain.
Jangan pedulikan hinaan fans FOMO jaman sekarang, memang berbeda sekali aura fans klub sepakbola jaman dulu dan jaman sekarang. Saya masih ingat di jaman 90an, saya memiliki beberapa teman yang justru fans dari klub-klub medioker seperti Nottingham Forest, Sampdoria, Parma, Bologna atau Blackburn Rovers. Mereka rata-rata tak peduli kalah atau menang, pada jaman itu alasan ngefans suatu klub memang cukup simpel, senang dengan corak jerseynya atau memang punya greget sendiri jika klub medioker yang dipujanya bisa mengalahkan klub besar.
Manchester United memang adalah klub yang memiliki sejarah besar, tetapi untuk saat ini mereka sudah tidak bisa dikatakan masuk dalam jajaran klub besar. Artinya apabila klub ini tercecer di klasemen tengah, memang harus dibiasakan dan tetap harus menjadi fans sejati.
Mental ini memang harus dimiliki oleh para punggawa Man Utd, agar mereka tidak menyepelekan setiap lawan-lawannya. Ibaratnya mereka harus menyadari bahwa statusnya sekarang adalah "kuda hitam", bukan lagi sebagai unggulan utama di papan atas. Sehingga mental yang terbentuk adalah selalu bersemangat pada setiap jelang pertandingan, dimana ketika melawan klub papan tengah atau bawah, mereka tetap respek dan fokus, sementara ketika melawan klub papan atas, mereka pun juga tetap sama fokusnya.