Bagi para pendidik senior utamanya yang mengajar di sekolah-sekolah yang memiliki kelas rombongan belajar (rombel) lebih dari satu, terkadang melihat kecenderungan karakteristik pola belajar berbeda antara satu kelas dengan kelas lainnya.
Hal yang paling kentara adalah apabila kelas-kelas tersebut sedang ditinggalkan sejenak oleh gurunya, maka kadang ada perbedaan mencolok di antara sekian kelas tersebut. Ada kelas yang tetap senyap belajar, namun adapula kelas menjadi hingar bingar seakan seperti pasar.
Pada kelas yang identik selalu berisik ketika sejenak ditinggalkan gurunya, kadang mendapat stereotip sebagai kumpulan anak-anak yang tak tahu aturan, padahal bisa saja anak-anak di dalam kelas tersebut memang didominasi anak-anak yang butuh diperhatikan. Dalam dunia psikologi, kondisi ini disebut dengan Efek Hawthorne.
Dilansir dari Wikipedia, Efek Hawthorne adalah jenis reaktivitas perilaku manusia di mana individu mengubah aspek perilaku mereka sebagai respons terhadap kesadaran mereka sedang diamati. Efek ini ditemukan dalam konteks penelitian yang dilakukan di pabrik Hawthorne Western Electric oleh John RP French pada dekade 1920an dan menjadi populer pada medio 1950an, ketika mulai banyak studi tentang perilaku kinerja.
Pada penelitian sederhana di pabrik Hawthorne tersebut, ditemukan pola kinerja yang berbeda dari pekerjanya apabila sedang diamati atau diperhatikan. Terdapat kecenderungan yang berbeda antara satu unit kerja dengan lainnya dalam hal kinerja jika sedang diamati.
Efek Hawthrone sendiri banyak digunakan beberapa perusahaan untuk menguji pola ruang kerja, pencahayaan dan fasilitas lainnya dalam menunjang kinerja karyawan. Namun yang menjadi perhatian utamanya adalah pola kerja yang dalam pengamatan.
Dalam dunia kerja kita juga sering melihat bagaimana suatu unit kerja yang bisa sangat efektif kinerjanya ketika sedang diamati, namun pada kondisi tertentu justru hal tersebut justru malah membuat pola kerja menjadi kurang baik, maka kondisi anomali inilah yang sering disebut Efek Hawthorne.
Hal tersebut pun bisa diterapkan pada suasana pembelajaran anak atau suatu kelas di sekolah. Di mana metode pendekatan pembelajaran antara satu anak atau kelas bisa sangat berbeda polanya. Pendidik atau orangtua harus dengan jeli memahami Efek Hawthorne ini dalam konteks pembelajaran yang efektif, agar hasilnya dapat optimal.
Berikut beberapa hal yang dapat menjadi perhatian bagi kita dalam pemahaman Efek Hawthrone dalam pembelajaran anak agar tercipta suasana belajar yang efektif dan efisien.
Pahami Kenyamanan Cara Belajarnya
Setiap anak memiliki konsep kenyamanan yang berbeda, ada anak menyukai situasi tenang, adapula senang dengan alunan musik, begitu pula pilihan meja belajar, bahkan jenis kertas buku tulis pun bisa saja sangat mempengaruhi kinerja belajarnya.
Intinya, sebagai orangtua harus memperhatikan secara detail hal-hal yang sangat membuat sang anak menjadi nyaman untuk belajar. Efek Hawthrone sangat memperhatikan hal-hal detail yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan, seperti pencahayaan, perlengkapan atau bahkan kehadiran supervisor.
Dalam konteks pembelajaran anak, orangtua atau guru adalah supervisor atau pengawas sang anak ketika mereka belajar. Metode mengawasi sang anak saat belajar pun tentunya berbeda-beda pada tiap anak, ada yang senang terus diajak mengobrol, dan ada pula yang cukup berada di dekatnya.
Untuk ruang lingkup kelas, sang guru harus selalu mengevaluasi dan berdiskusi dengan seluruh murid tentang kesepakatan kenyamanan dalam kelas. Hal-hal penting yang harus selalu dievaluasi pada suatu kelas adalah pencahayaan, kelembapan, suhu ruangan (pengadaan kipas angin), kebersihan papan whiteboard dan hal-hal detail lainnya.
Evaluasi Perimeter
Efek Hawthorne sangat berkaitan erat dengan monitoring atau pengawasan. Sebagai orangtua tentunya tidak bisa terus menerus mengawasi pola belajar sang anak. Maka dari itu, perlu mengukur perimeter dalam mengamati atau mengawasi sang anak saat belajar.
Caranya dengan mengetes rasa ingin tahu dari sang anak, apabila sang anak memang suka sangat bertanya, maka cara mengatur perimeternya cukup memberikan atensi tinggi pada saat awal pembelajaran. Jika sudah terjawab semua pertanyaannya, anda bisa meninggalkannya untuk sejenak, mengerjakan hal lain dan baru kembali mengevaluasi jika sesi belajar telah berakhir.
Namun apabila sebaliknya sang anak tidak terlalu banyak bertanya dalam pembelajaran, maka biarkan ia menyelesaikan sendiri pembelajarannya, dan kembali sesekali untuk melihat hasil kerjanya. Perimeter yang demikian memberikan kesan bahwa anak yang berkategori demikian lebih suka diperhatikan hanya sesekali.
Pada cakupan kelas, seorang guru harus selalu berkeliling kelas mengamati setiap gaya belajar setiap muridnya, serta diusahakan kelas tidak boleh sering ditinggalkan dalam kondisi lama, karena kita tidak tahu ada beberapa murid yang suka mengganggu murid lainnya ketika belajar saat ditinggalkan sejenak oleh gurunya.
Target Harian
Ada beberapa sekolah yang menerapkan buku catatan harian pembelajaran. Hal tersebut adalah positif bagi sang murid dalam mencatat target-target harian pembelajarannya secara mandiri. Mereka akan mencatat hal apa saja yang sudah atau belum dikerjakan dalam pembelajaran.
Upaya rutin mencatat target harian, harus selalu diperhatikan oleh sang guru, karena dengan demikian, sang murid akan merasa diperhatikan upaya seriusnya dalam mengikuti pelajaran dengan mengapresiasi dan mengevaluasi catatan hariannya.
Catatan target seperti apakah sudah berdoa/shalat, apa saja yang materi ajar di sekolah dan lainnya adalah bentuk kedispilinan yang diperoleh secara mandiri. Hal seperti ini adalah inti dari pembelajaran pendidikan yang ada di negara Jepang, di mana mencatat kegiatan adalah bagian tak terpisahkan dari budaya mereka.
Pada ruang lingkup di rumah, catatan demikian bisa saja diterapkan, agar apabila belajar mereka tidak harus selalu diperhatikan, namun menjadikan buku catatan harian sebagai acuan dalam kegiatan pembelajarannya.
Motivasi dan Apresiasi
Adalah hal yang paling klasik dalam pembelajaran adalah tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada anak jika semangat belajaranya mulai mengendur, dan memberikan apresiasi jika sang anak berhasil mengerjakan tugas belajarnya dengan baik.
Jangan pernah membanding-bandingkan antara satu anak dengan anak lainnya, mereka memiliki keunikannya tersendiri, mereka memiliki kelebihannya masing-masing. Adalah tugas sebagai orangtua atau pendidik adalah memantik versi terbaik dari anak dengan memberinya motivasi serta apreasiasi apapun yang sudah ia lakukan.
Jangan pernah memarahinya jika sang anak gagal meraih hasil yang baik atau terlalu menuntutnya tinggi-tinggi dalam meraih prestasi belajar. Pada intinya Efek Hawthorne dalam pembelajaran adalah membersamai anak setiap fase belajarnya, selalu ada untuk mereka entah dalam suka serta duka.
Ketika sang anak tahu bahwa ada orang dewasa yang siap membersamai mereka dalam pembelajaran baik secara teknis maupun motivasi, maka lama kelamaan menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam meningkatkan pembelajarannya secara mandiri.
Siapapun pasti senang jika diperhatikan, bahasa Jawa-nya “di-wong-ke”, begitu pula pelajar, mereka pun pada intinya akan termotivasi belajar, jika diperhatikan perkembangan pembelajarannya. Membersamai belajar bersama anak adalah tugas utama bagi orang tua, tidak hanya semata-mata hanya tugas guru di sekolah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H