Beberapa waktu lalu, saya baru saja menonton film biografi "Susi Susanti", menariknya pada film tersebut hal yang paling menjadi perhatian utama saya bukanlah kehebatan teknis sang Ratu Bulutangkis Dunia, namun momen-momen yang sifatnya politis dan terkesan rasis yaitu masalah dwi-kewarganegaraan.
Sebagaimana kita ketahui pebulutangkis Susi Susanti adalah beretnis Tionghoa, dan ia lahir pada masa-masa genting bagi kaumnya, dimana mereka harus merubah segala sesuatu yang berkaitan kewarganegaraannya pada masa itu.
Selepas pergantian kekuasaan dari Soekarno ke rezim Soeharto pada medio tahun 1960an, dimana imbasnya bagi warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia harus menentukan pilihan kewarganegaraan.
Dilansir dari Wikipedia, pada masa pemerintahan presiden Soekarno terdapat perjanjian Dwi-kewarganegaraan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Indonesia, yang mendasarinya adalah ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRT menganut asas ius sanguinis, siapa yang lahir membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok. (Hal ini merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa perantauan seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis).
Pada saat masa Presiden Soeharto perjanjian ini dibatalkan di tahun 1969. Hingga akhirnya yang memegang surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan "nasionalisme" bagi kaum keturunan Tionghoa
Hingga pada tahun 1978, Pemerintah mengeluarkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga keturunan Tionghoa. Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga Tionghoa.
Tak sekedar menyatakan kewarganegaraannya, para warga keturunan Tionghoa pun merubah namanya menjadi lebih "Indonesia" dan menghilangkan marga Tionghoanya.
Pada tahun 1983, Keputusan Menteri Kehakiman, menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI.
Lalu pada tahun 1992, Keputusan Menteri Kehakiman, menegaskan bahwa anak-anak keturunan dari orang Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI.
Bahkan pada tahun 1996, Susi Susanti sendiri mengalami kesulitan administrasi ketika hendak menikah dengan sesama pebulutangkis keturunan Tionghoa, Alan Budikusuma, dimana terkait masalah SKBRI, namun ketika ia mencuatkan permasalahannya di media massa, masalah tersebut akhirnya terselesaikan.
SKBRI benar-benar dihapuskan pada era reformasi, namun pada prakteknya masih ada diskriminasi, walau tak separah di jaman dulu.
Euforia Timnas Diaspora
Mungkin bocil jaman sekarang terbuai dengan kerennya penampilan Timnas sepakbola Indonesia yang dipenuhi para bule diaspora, namun jika dibandingkan perjuangan para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa yang terdiskriminasi aturan SKBRI di jaman dulu, rasa-rasanya hal ini patut bisa menjadi pembelajaran kita tentang rasa nasionalisme dalam olahraga.
Kritik yang dikemukakan oleh Peter F Gontha, tokoh musisi Jazz dan mantan Dubes Polandia serta filsuf kekinian, Rocky Gerung baru-baru ini tentang kesemuan euforia Timnas Indonesia yang dipenuhi para pemain naturalisasi, serasa mendobrak dialekta pikiran benak kita sebagai warganegara antara kerinduan prestasi dan rasa nasionalisme.
Jika di jaman era Presiden Soeharto, para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa, harus berjuang dengan diskriminasi dimana mereka memang berhasil mengharumkan nama bangsa, namun di sisi lain pada kehidupan sosial mereka kerap acapkali "dianggap" bukan sebagai warga negara "asli" Indonesia, padahal mereka mampu berbahasa Indonesia lancar, makan nasi seperti orang Indonesia, berbudaya Indonesia dan memang tinggal di Indonesia.
Bandingkan dengan para pemain timnas diaspora saat kini yang dengan sangat mudahnya memperoleh kewarganegaraan Indonesia, hanya karena neneknya pernah tinggal di Indonesia di jaman Hindia Belanda serta punya skill sepakbola mumpuni, para Londo ini bisa dengan mudahnya dapatkan kewarganegaraan, padahal mereka tak bisa berbahasa Indonesia, tak tahu budaya Indonesia, bahkan tak tahu cilok itu apa.
Ketika Peter F Gontha mempertanyakan masalah kewarganegaraan para Londo timnas ini, ketika sudah tak lagi memperkuat punggawa Garuda, memang seharusnya tidak diberi reaksi sebagai antitesis keberhasilan timnas sekarang, namun lebih kepada malunya bagi orang yang mengaku "Indonesia" namun tak mampu memberikan sumbangsih berarti bagi bangsanya.
Jerih payah para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa di jaman dulu dalam pengakuan kewarganegaraan, padahal sudah memberikan prestasi bagi bangsanya adalah juga suatu pembelajaran betapa ada sebagian kelompok masyarakat yang sulit untuk memberikan sumbangsih kepada bangsanya.
Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat
Pada dekade 90an, ada slogan populer yang digaungkan oleh Menpora Hayono Isman yaitu, "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat". Slogan ini dipopulerkan tahun 1993, bisa jadi imbas dari keberhasilan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang berhasil medali emas Olimpiade tahun 1992 di Barcelona.
Seolah, waktu berputar kembali, peraih medali emas cabor panjat tebing di Olimpiade Paris 2024, Veddriq Leonardo, dalam suatu kesempatan memberikan pesan agar masyarakat untuk rajin berolahraga, karena dengan memasyarakatkan olahraga-lah adalah cara ampuh untuk tingkatkan prestasi Indonesia di bidang olahraga.
Sekarang kita hidup di jaman sudah tidak ada lagi SKBRI diskriminatif atau antipati pemain naturalisasi timnas, serta kita pun sekarang di era keterbukaan informasi, maka tak ada alasan untuk meraih prestasi olahraga lebih baik.
Peraih medali emas Olimpiade Paris 2024 untuk kontingen Indonesia yaitu Veddriq Leonardo dan Rizky Juniansyah adalah justru atlet yang berangkat dari tekad kuat, bukan dari fasilitas olahraga yang memadai dari pemerintah.
Mari semua, orang Jawa, orang Melayu, orang Tionghoa, orang Dayak, orang Arab, orang Blijvers, orang Hakka, orang Flanders, orang Maluku dan siapapun yang merasa merah putih dalam jiwanya, berikanlah yang terbaik bagi bangsamu. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H