Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Antara SBKRI dan Euforia Pemain Timnas Diaspora

17 September 2024   14:47 Diperbarui: 17 September 2024   14:49 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan Susi Susanti pada olimpiade Barcelona 1992 (Sumber : Pena Katolik )

SKBRI benar-benar dihapuskan pada era reformasi, namun pada prakteknya masih ada diskriminasi, walau tak separah di jaman dulu.

Euforia Timnas Diaspora

Mungkin bocil jaman sekarang terbuai dengan kerennya penampilan Timnas sepakbola Indonesia yang dipenuhi para bule diaspora, namun jika dibandingkan perjuangan para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa yang terdiskriminasi aturan SKBRI di jaman dulu, rasa-rasanya hal ini patut bisa menjadi pembelajaran kita tentang rasa nasionalisme dalam olahraga.

Kritik yang dikemukakan oleh Peter F Gontha, tokoh musisi Jazz dan mantan Dubes Polandia serta filsuf kekinian, Rocky Gerung baru-baru ini tentang kesemuan euforia Timnas Indonesia yang dipenuhi para pemain naturalisasi, serasa mendobrak dialekta pikiran benak kita sebagai warganegara antara kerinduan prestasi dan rasa nasionalisme.

Jika di jaman era Presiden Soeharto, para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa, harus berjuang dengan diskriminasi dimana mereka memang berhasil mengharumkan nama bangsa, namun di sisi lain pada kehidupan sosial mereka kerap acapkali "dianggap" bukan sebagai warga negara "asli" Indonesia, padahal mereka mampu berbahasa Indonesia lancar, makan nasi seperti orang Indonesia, berbudaya Indonesia dan memang tinggal di Indonesia.

Bandingkan dengan para pemain timnas diaspora saat kini yang dengan sangat mudahnya memperoleh kewarganegaraan Indonesia, hanya karena neneknya pernah tinggal di Indonesia di jaman Hindia Belanda serta punya skill sepakbola mumpuni, para Londo ini bisa dengan mudahnya dapatkan kewarganegaraan, padahal mereka tak bisa berbahasa Indonesia, tak tahu budaya Indonesia, bahkan tak tahu cilok itu apa.

Ketika Peter F Gontha mempertanyakan masalah kewarganegaraan para Londo timnas ini, ketika sudah tak lagi memperkuat punggawa Garuda, memang seharusnya tidak diberi reaksi sebagai antitesis keberhasilan timnas sekarang, namun lebih kepada malunya bagi orang yang mengaku "Indonesia" namun tak mampu memberikan sumbangsih berarti bagi bangsanya.

Jerih payah para atlet bulutangkis keturunan Tionghoa di jaman dulu dalam pengakuan kewarganegaraan, padahal sudah memberikan prestasi bagi bangsanya adalah juga suatu pembelajaran betapa ada sebagian kelompok masyarakat yang sulit untuk memberikan sumbangsih kepada bangsanya.

Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat

Pada dekade 90an, ada slogan populer yang digaungkan oleh Menpora Hayono Isman yaitu, "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat". Slogan ini dipopulerkan tahun 1993, bisa jadi imbas dari keberhasilan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang berhasil medali emas Olimpiade tahun 1992 di Barcelona.

Seolah, waktu berputar kembali, peraih medali emas cabor panjat tebing di Olimpiade Paris 2024, Veddriq Leonardo, dalam suatu kesempatan memberikan pesan agar masyarakat untuk rajin berolahraga, karena dengan memasyarakatkan olahraga-lah adalah cara ampuh untuk tingkatkan prestasi Indonesia di bidang olahraga.

Sekarang kita hidup di jaman sudah tidak ada lagi SKBRI diskriminatif atau antipati pemain naturalisasi timnas, serta kita pun sekarang di era keterbukaan informasi, maka tak ada alasan untuk meraih prestasi olahraga lebih baik.

Peraih medali emas Olimpiade Paris 2024 untuk kontingen Indonesia yaitu Veddriq Leonardo dan Rizky Juniansyah adalah justru atlet yang berangkat dari tekad kuat, bukan dari fasilitas olahraga yang memadai dari pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun