Setelah ditunggu-tunggu oleh publik akan kemunculannya, akhirnya politikus muda, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep muncul pada acara podcast Podkaesang Depan Pintu yang tayang pada Minggu (8/9/2024), setelah isu pemakaian Jet Pribadi olehnya beserta istrinya ke Amerika Serikat menuai kegaduhan di masyarakat.
Bukannya permohonan maaf atau klarifikasi lebih lanjut tentang isu negatif yang menerpanya, pada acara podcast tersebut ia malah asyik bercanda satire cengengesan mengenai kasus yang menimpanya dengan host Kiky Saputri dan Verrel Bramasta.
Komunikasi politik ala satire bercanda memang sering dimainkan oleh Kaesang Pangarep dan kakaknya Gibran Rakabuming, dan pada awalnya memang sangat efektif dalam meredam isu politik yang menyerang mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, komunikasi politik ala cengengesan yang mereka tampilkan lama kelamaan pun kadang membuat publik sulit membedakan mana hal yang serius dan mana hal yang bercanda. Tapi itulah kenyataannya, gaya komunikasi politik mereka memang sangat khas dengan satire.
Komunikasi politik ala satire dengan bercanda memang kerap dilakukan politikus lainnya dengan bertujuan menyamarkan maksud serangan atau pernyataan terselubungnya.
Beberapa waktu lalu kita sempat ramai dengan statement "Raja Jawa" oleh Bahlil Lahdalia atau candaan Airlangga Hartanto yang menyindir Bahlil  dengan, "kursi Kapolri saja diambil", pada saat suatu acara pertemuan informal para menteri di IKN, dimana Bahlil menggeret kursi di dekat pak Kapolri, sontak sindiran satire Airlangga Hartanto menimbulkan gelak tawa oleh para rombongan menteri yang "sangat tahu" maksud sindiran candaan sang eks Ketua Partai Golkar tersebut.
Saya sebagai wong cilik, sebenarnya sudah "bodo amat" dengan komunikasi politik ala bercanda yang diperagakan oleh para elit politik, karena rakyat itu intinya cuma mau BBM murah, beras murah, sekolah bagus, pelayanan kesehatan bagus serta lapangan kerja yang luas.
Namun apabila para elit politik belum mampu mewujudkan kesejahteraan tersebut, sungguh tak elok mereka kerap menggunakan diksi komunikasi politik ala satire bercanda untuk menyamarkan kritikan kepada mereka, karena seolah tak punya empati terhadap penderitaan rakyat kecil.
Bagaimana mungkin mereka masih bisa bercanda tertawa dengan satire "politik riang gembira", sementara banyak diantara mereka menggunakan money politik agar dapat melenggang ke Senayan.
Bagaimana mungkin mereka menyamarkan kelangkaan gas melon 3 kg dengan dalih satire "ekonomi UMKM meningkat".
Artinya ketika mereka belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, maka mereka pun harus peka akan kesulitan yang dihadapi rakyatnya dengan komunikasi politik yang bijaksana dan apa adanya.
Secara ilmu politik, cara apapun dalam berkomunikasi politik itu sah-sah saja beragam metodenya, termasuk dengan satire bercanda. Namun ada beberapa hal catatan bagi para elit politik jika menggunakan tersebut dalam melakukan komunikasi politik, berikut kiranya yang harus menjadi perhatian mereka, agar mereka bisa bisa menjadi politikus yang bermartabat.
Harus Tetap Substantif
Seperti kata Warkop DKI, "Tertawalah Sebelum Dilarang", idiom tersebut sangat santer di era 80an, dalam mengkritik pemerintah dengan cara satire bercanda.
Terlepas hal tersebut, intinya sah-sah saja dalam membuat statement atau pernyataan dalam berkomunikasi menggunakan idiom-idiom humor atau bercanda, dengan niat mencairkan suasana.
Namun walaupun disampaikan dengan satire candaan, isi substansi yang hendak disampaikan haruslah secara umum bisa mengetahuinya, apalagi hal yang disampaikan adalah merupakan komunikasi politik sang politisi kepada khalayak publik.
Karena apabila pesan yang disampaikan lebih banyak isiannya gimik atau cenderung lebih ke unsur bercandanya, maka pesan yang diterima menjadi ambigu, atau bahkan sama sekali tak bisa dimengerti oleh sebagian orang.
Lain halnya jika ia adalah seorang komedian atau orang biasa, mungkin tak masalah menyampaikan sesuatu dengan bercandaan, namun beda halnya jika ia seorang elit politik atau bahkan seorang pejabat publik, sungguh tak elok menyampaikan sesuatu pada masyarakat dengan cengengesan atau bercanda berlebihan.
Hindari Isu Sensitif SARA
Pernyataan satire  Bahlil Lahdalia tentang "Raja Jawa" sudah jelas sangat mengandung unsur rasis kesukuan yang tentunya menimbulkan sensitifitas di masyarakat.
Para elit politik yang menjadi cerminan role model kepemimpinan sudah tak sepatutnya menggunakan isu SARA dalam membuat statement politik, sekalipun dengan nada satire bercanda, karena hal tersebut sudah tidak bisa dikatakan lucu lagi.
Jangan sampai selip lidah masalah SARA terucap dari tokoh elit politik, karena bisa saja menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Walau awalnya hanya untuk bahan bercanda, namun karena ada unsur SARA, namun bukan tidak mungkin bisa membuat tersinggung bagi sebagian kelompok masyarakat yang "diroasting" sang politisi.
Peka Kondisi Rakyat
Pada saat menyampaikan komunikasi politik, entah dalam konteks serius atau menggunakan satire, haruslah benar-benar memperhatikan kondisi riil yang sedang dihadapi rakyat.
Jika harga sembako sedang naik atau BBM langka di pasaran, janganlah sering mengumbar tawa  seolah damai antar elit politik di publik seakan tak ada masalah di negeri ini, karena sudah pasti menyakiti perasaan rakyat kecil yang kelaparan karena beras sulit terbeli.
Sungguh tak elok, jika sedang ada demonstrasi besar-besaran di jalanan, lalu kemudian para elit politik tampak saling bercanda sambil makan siang di restoran kelas atas, seolah negara ini sedang baik-baik saja. Para elit politik harus sangat peka dengan penderitaan rakyat, karena masalah perut rakyat bukanlah hal candaan.
Jadilah Politikus Bermartabat
Kata orang bijak, jika seseorang terlalu banyak bercanda maka tanpa disadari akan menurunkan harga dirinya atau derajat martabatnya menjadi tak berarti, apalagi jika dia adalah tokoh elit politik.
Sungguh aneh, jika tokoh elit politik kerap cengengesan atau sering bercanda saat tampil di publik, karena rakyat membutuhkan pemimpin yang bijaksana, komunikatif, berwibawa dan tentunya bermartabat, karena selalu menjaga tata bicaranya dengan santun dan berhati-hati ketika bercanda.
Menjadi hal yang tak elok, jika seorang pemimpin dikritik oleh rakyat, lalu menjawabnya hanya dengan perkataan candaan seperti "jogetin aja", sekilas meredam ketegangan, namun tanpa disadari mengaburkan hal yang substansial.
Negara kita memang sedang krisis kepemimpinan yang bermartabat, para elit mencari selamatnya sendiri-sendiri, ketika tersudut dengan kritik, mereka berlindung dengan nada candaan untuk meredam kritik. Maka dari itu kedepannya, para elit politik segeralah untuk sadar, untuk benar-benar serius mengurusi negara ini. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H