Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mari Kita Kenali Attachment Disorder Pada Anak

5 Agustus 2024   09:27 Diperbarui: 10 Agustus 2024   13:13 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu perilaku attachment disorder pada anak (sumber : Mas & Pas )

Setiap sekolah, pasti ada saja murid yang diberi "anak nakal", hingga akhirnya banyak orang tua wali murid yang mewanti-wanti anaknya untuk tidak mendekat atau berteman dengan si "anak nakal" itu. Label "anak nakal" sebenarnya cukup ambigu untuk level anak sekolah dasar, karena secara prinsip mereka baru belajar mana yang benar dan mana yang salah.

Anak nakal pada prinsipnya tidak ada yang benar-benar "nakal", dan sudah barang tentu yang patut dipertanyakan adalah pola asuh orangtuanya, walaupun si anak mempunyai spektrum autis yang kadang tantrum.

Perilaku menyerang, mengintimidasi, tidak mudah dekat dengan siapapun  atau mau menang sendiri pada anak kecil sebenarnya bukanlah suatu kenakalan, tetapi sebenarnya perilaku mempertahankan diri, hanya saja caranya saja mereka tidak tahu apakah itu benar.

Begitu pula adapula anak yang berperilaku hiperaktif, selalu usil dengan temannya juga kadang dilabeli "nakal", padahal perilaku tersebut bisa jadi dia haus akan perhatian kasih sayang.

Tipe-tipe anak tersebut biasanya setelah ditelusuri merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga "broken home", seperti orangtuanya yang bercerai, mungkin ada kekerasan di dalam rumahnya atau pola asuh penelantaran kurang kasih sayang.

Tidak mudah bagi sebagian besar mendidik anak-anak yang memiliki latar belakang demikian, karena semenjak kecil mereka sudah mengalami 'disorder' akibat pola asuh yang salah.

Akibatnya pada saat di sekolah, sulit sekali interaksi kedekatan yang ingin dilakukan oleh pendidik kepada murid yang mengalami kondisi demikian, keadaan inilah disebut Attachment Disorder.

Dikutip dari Medical News Today, Attachment disorder adalah gangguan kelekatan  atau keterikatan yang mempengaruhi perilaku kemampuan seseorang untuk membentuk dan mempertahankan hubungan,.

Gangguan hubungan sosial ini biasanya sudah mulai berkembang semasa kanak-kanak. Attachment disorder bisa terjadi ketika seorang anak tidak bisa memiliki hubungan emosional yang konsisten dengan orang tua atau wali pengasuh utamanya.

 Tidak ada diagnosis gangguan kelekatan yang diperuntukkan bagi orang dewasa, walaupun tetap saja bisa mengalami itu tetapi tentu  berbeda dibandingkan anak-anak.

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi kelima, terdapat dua jenis attachment disorder yang harus kita kenali, yaitu Reactive Attachment Disorder (RAD) dan Disinhibited social engagement disorder (DSED).

Berikut penjelasan gejalanya beserta perkembangannya dan bagaimana cara mengatasinya.

Reactive attachment disorder (RAD)

Reactive attachment disorder biasanya diakibatkan dari penganiayaan atau penelantaran semasa kanak-kanak, besar kemungkinan mereka tumbuh dalam keluarga yang penuh kekerasan dan penuh intimidasi

Anak yang didiagnosa RAD biasanya memiliki tingkat interaksi yang rendah dengan orang lain, sulit untuk dekat teman atau gurunya. Bahkan teramat sedikit atau tidak ada emosi selama interaksi sosial kepada orang sekitarnya.

Tak jarang mereka gampang menangis sendiri bahkan berteriak menganggu teman-temanya, karena mengalami kesulitan menenangkan diri ketika stres, utamanya ketika menghadapi pelajaran yang sulit atau keadaan yang tak menyenangkan baginya, seperti udara kurang sejuk dalam kelas atau makanan dari sekolah yang tak disukainya.

Sekilas secara gestur anak RAD tampak tidak bahagia, murung, sedih, bahkan tiba-tiba suka menyerang temannya dengan membabi-buta bahkan berkata kasar hanya masalah sepele, karena memang hatinya mudah sekali tersinggung.

Biasanya ketika gurunya menasehatinya ada dua reaksi yang timbul yaitu hanya diam saja murung, tetapi ada pula yang selalu berargumen tak henti-hentinya, hingga akhirnya tak mau mengikuti pembelajaran di sekolah.

Jika anak tidak menerima penangan yang efektif, gejala-gejala RAD bisa berlanjut hingga dewasa. Gejala yang mungkin muncul ketika ia beranjak dewasa yaitu kesulitan dalam membaca emosi orang sekitarnya, kemudian sulitnya memahami arti kasih sayang, sulit mempercayai siapa saja dan tak mampu menjaga hubungan baik dengan siapapun.

Lalu bagaimana penanganan untuk anak yang mengalami gejala RAD. Pertama tentunya menuntut kejujuran dari orang tuanya tentang kondisi sebenarnya di rumahnya, pihak sekolah atau terapis memang tidak bisa mengintervensi kondisi rumah tangga orang tuanya, namun setidaknya keterbukaan adalah kunci awal bagi "orang tua kedua" seperti guru atau terapis untuk mengetahui duduk perkaranya si anak RAD.

Kedua adalah menuntut komitmen bersama antara pihak sekolah atau terapis kepada orang tua bersangkutan untuk serius bersama-sama melakukan treatment kepada sang anak sesuai kesepakatan atau saran-saran dari psikolog yang ditunjuk. Dalam membangun komitmen tersebut, harus dibatasi yang terlibat, utamanya dalam menjaga aib pada rumah tangga keluarganya.

Ketiga melakukan assesmen yang periodiknya jauh lebih intens dan detail, jika ditemukan sesuatu yang sulit untuk diselesaikan, segerakan konsultasikan dengan psikolog anak, agar tepat penanganannya.

Disinhibited social engagement disorder (DSED)

Jika di-Bahasa Indonesia kan menjadi Gangguan keterlibatan sosial yang tidak terkendali (DSED), dalam prakteknya, anak-anak yang terindikasi DSED adalah anak-anak yang tidak diasuh langsung oleh orangtuanya atau anak yatim piatu.

Berkebalikan dengan anak RAD, anak-anak yang terindikasi DSED justru mudah sekali dekat dengan siapapun, tetapi kedekatannya tidak normal seperti pada umumnya, seperti posesif, suka bertanya apa saja namun mengabaikan norma-norma kesopanan dan bahkan cenderung sangat hiperaktif.

Sekilas seperti anak normal, namun jika diperhatikan pola pertemanannya tak wajar, bahkan dapat dengan mudah dekatnya dengan orang baru saja dikenal, tentunya sangat membahayakan bagi keamanan dirinya.

Intinya anak DSED sebenarnya sangat haus kasih sayang, karena di rumahnya ia kerap ditelantarkan dan tak pernah diperhatikan, entah di rumahnya ia menghabiskan banyak waktu sendiri dan dilarang keluar rumah, maka lama kelamaan kemampuan sosialnya menjadi terganggu.

Apabila seorang anak dengan DSED tidak mendapatkan penanganan yang efektif, masalah itu rentan berlanjut hingga dewasa. Remaja atau orang dewasa dengan DSED, gejalanya antara lain menjadi pribadi hiperaktif, kemudian kepercayaan yang ekstrem terhadap orang-orang yang tidak dikenal sehingga rawan sekali ditipu oleh orang tak bertanggung jawab, lalu kurang mengerti kesadaran batas sosial sehingga rawan sekali terkena pengaruh hal negatif, serta memiliki kecenderungan mengajukan pertanyaan yang mengganggu kepada orang yang baru saja ditemui.

Lalu bagaimanakah dalam menangani anak-anak yang memiliki gejala DSED agar tumbuh kembangnya menjadi normal. Secara umum ketimbang anak RAD, penanganan anak DSED agak jauh lebih mudah, karena intinya hanya memantik kesadaran dari wali dari anak tersebut.

Berbeda dengan anak RAD yang biasanya berasal dari keluarga yang penuh kekerasan atau aib, anak DSED intinya tumbuh dari lingkungan yang memang kurang memperhatikan tumbuh kembang anak.

Maka apabila walinya adalah kakek neneknya, maka disarankan perlu ada tambahan pendamping lagi yang lebih energik dan lebih perhatian, seperti paman atau bibinya, supaya perkembangan anak bisa terpantau.

Tidak sedikit kasus muncul dari keluarga kaya, karena sang anak seharian hanya dengan asisten rumah tangga, parahnya lagi ARTnya pun cuek dengan perkembangan anak, sementara orangtuanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Maka jika demikian, kembali kepada kejelian para pendidik jika melihat sesuatu yang tak normal dan tak lazim pada kemampuan sosial pada peserta didiknya, dan mensegerakan berkomunikasi kepada wali sang anak, untuk dicari solusi untuk penanganannya, jika perlu libatkan psikolog anak untuk penanganan yang lebih komprehensif.

Sejatinya tidak ada yang namanya label "anak nakal", karena mereka baru belajar tentang kehidupan, adalah kitalah yang telah dewasa dengan penuh kesabaran dan keikhlasan menuntun dan menunjukkannya tentang makna berkehidupan sesungguhnya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun