Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tidak Punya Hobi, Bukan Berarti Tak Bergairah

19 Juli 2024   07:17 Diperbarui: 19 Juli 2024   07:30 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Manusia Tanpa Hobi (sumber: Georgina Boothby )

Setiap Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tiba, selalu dan selalu pertanyaan klasik untuk para pelajar ketika maju ke depan kelas satu per satu adalah, "Hobinya apa ?"

Untuk level Sekolah Dasar, jawabannya kebanyakan didominasi main game hape, menggambar dan membaca. Untuk level SMP, mereka mulai menjawab bersepeda, main bola atau koleksi sesuatu. Ketika beranjak SMA, mereka mulai mencari hobi seperti ngulik motor, senang menulis atau kongkow. Saat berkuliah hobinya sudah agak berkarakter, seperti naik gunung, memancing, atau main musik.

Tapi entah kenapa ketika berumah tangga, tidak sedikit orang sulit menemukan hobi atau kegemaran yang cocok baginya atau memang benar-benar ingin dilakukannya saat senggang.

Jika kita melihat gambaran di atas, setiap fase kehidupan manusia, terkadang tidak ada hobi yang sepenuhnya langgeng, atau dilakoni semenjak dari kecil hingga dewasa.

Mungkin sewaktu kecil suka ikutan hobi koleksi kelomang yang dijual depan gerbang sekolah, ketika remaja berubah lagi jadi main sepatu roda, karena sedang booming. Intinya serasa tak ada kegemaran yang abadi.

Tetapi tak sedikit pula, ada orang yang menekuni hobi yang sama semenjak kecil. Orang-orang yang demikian jelas memiliki karakter yang kuat dan menjadikan hobinya itu sebagai trademark dirinya.

Saya sendiri pun bingung jika ditanya hobinya apa, apalagi jika mengisi kolom "hobi" dalam biodata, karena saya memiliki ketertarikan yang banyak, tetapi merasa belum ada waktu yang betul-betul serius melakoni semua ketertarikan tersebut.

Saya suka berkebun, tapi tidak secara pribadi belum menganggapnya hobi betulan. Saya suka menulis, saya merasakan itu hanya sebagai kebutuhan, karena kalau tidak menulis, serasa ada yang kurang. Saya suka main musik, tapi tidak rutin latihan, dan masih banyak ketertarikan lainnya, tetapi merasa belum ada yang dikatakan sebenar-benarnya hobi.

Artikel ini akan mengupas beberapa alasan kenapa banyak orang belum mau menjadikan ketertarikannya pada suatu hal untuk dijadikan hobi secara rutin di waktu senggang.

Alasan-alasan ini saya paparkan berdasarkan pengalaman pribadi beberapa orang di sekitar saya, dimana mereka terlihat datar-datar saja menjalani hidup, namun ketika mengobrol dengan mereka, ternyata di balik itu ada alasan hebat kenapa mereka menjalani hidup tanpa hobi yang spesifik, berikut beberapa alasannya.

Pejuang Rupiah

Saya memiliki tetangga seorang tukang parkir, saya akui dia adalah pejuang Rupiah sejati bagi keluarganya, bagaimana tidak dia menjalani profesinya lebih dari 10 jam sehari. Jika pagi, dia bertugas menjaga parkir di dekat pasar, jika siang dia mengawasi parkir sebuah rumah makan, malam harinya dia menjaga parkir depan supermarket.

Maka dengan rutinitas demikian, tentunya amat sulit menekuni hobi pada waktu luangnya. Pada waktu senggangnya dia memilih tidur untuk istirahat, mengantar istri dan anaknya pergi berbelanja atau sekedar makan di luar.

Banyak di luar sana, yang harus berkerja banting tulang dari pagi hingga malam demi merangkai senyum bagi orang di rumah atau untuk biaya berobat orang tuanya. Mereka rela meniadakan kesukaannya, demi berjuang bagi orang-orang yang dicintainya.

Mementingkan Keluarga

Saya ada pula memiliki sahabat yang secara finansial sangat baik karena memiliki pekerjaan yang bergaji besar dan mentereng. Artinya, dengan latar belakang tersebut dia bisa saja melakukan hobinya dengan maksimal menggunakan kemampuan finansialnya.

Namun dia sendiri urung melakukan hobi kegemarannya. Dia memilih fokus merawat anaknya yang didiagnosa spektrum autis bersama istrinya. Anaknya yang super aktif, tentunya sangat memerlukan perhatian yang lebih dari orangtuanya. Jika memiliki waktu  luang, dia memilih untuk berinteraksi intens dengan anaknya untuk membantu terapinya.

Orang-orang yang demikian, memilih berkorban waktunya untuk dicurahkan kepada orang yang dikasihinya, dimana apabila dia egois menghabiskan waktunya untuk dirinya sendiri, dia akan merasa bersalah, dan saya salut dengan orang-orang yang memiliki prinsip seperti ini.

Tanggung Jawab Moral

Untuk alasan ini, coba kita lihat presiden kita Pak Jokowi. Sewaktu beliau masih menjabat sebagai walikota Solo atau Surakarta. Hampir setiap hari Minggu saya bisa menemuinya saat Car Free Day di jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Beliau memang hobi olahraga saat CFD sambil menyapa warga saat menjabat walikota Solo.

Namun seiring moncernya karir politik beliau hingga akhirnya menjadi Presiden, sudah pasti hobi-hobi beliau semakin tergerus waktunya. Seorang pejabat tinggi sudah pasti sangat super sibuk menjalani rutinitas. Semua itu dinamakan tanggung jawab moral seorang pejabat publik.

Waktu senggang mereka sudah pasti sangat sedikit sekali, bahkan mungkin tidak ada istilah hari libur, mereka memilih profesional menjalani tugas amanat rakyat, ketimbang jalani hobinya, walaupun sebenarnya bisa saja dengan wewenangnya. Makanya jika ada pejabat publik yang masih sempat affair selingkuh dengan bawahannya, dipertanyakan tanggung jawab moralnya.

Fokus di Hari Tua

Ini adalah alasan klasik bagi kebanyakan orang, dimana tak sedikit orang yang ingin menjalani hobi kegemarannya di saat hari tua.

Saya memiliki senior, dimana ia terlihat datar-datar saja dalam berkerja. Beliau pun tampak tak memiliki hobi yang spesifik, kalaupun ada, itu hanya ikutan saja. Intinya seolah tak ada gairah dalam menjalani hidupnya.

Namun semua itu berubah, ketika dia setelah pensiun, rumahnya yang dulu terkesan kosong melompong, kini dipenuhi tanaman hias dan tanaman pangan, karena jalani hobi berkebun. Beliau pun suka bersepedaan dengan sepeda kumbangnya bersama tetua-tetua lainnya di kampung, setiap Minggu. Sangat kontras dengan masa produktifnya yang terlihat datar tak bergairah.

Prinsip ini biasa kadang dijalani sebagian orang barat, dimana sewaktu muda berkerja keras, namun ketika di hari tua, mereka menghabiskan uangnya untuk berkeliling dunia. Prinsip ini memiliki idealisme dimana memilih saat yang tepat untuk jalani apa yang benar-benar disenanginya.

Hampir setiap orang pasti memiliki hobi kegemaran, tapi tak semua orang bisa menjalani hobi tersebut dengan sepenuhnya, beruntunglah bagi orang-orang yang bisa menekuni hobinya dengan alokasi waktu yang cukup, bersyukurlah dengan apa yang kita perjuangkan. Selamat Hari Jumat. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun