Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Antara Pogba, Doping, dan Era Sepak Bola Tolak Pemain Tua

27 Juni 2024   05:07 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:24 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paul Pogba di Juventus ( sumber : bola.net )

Pada era 90an atau 2000an awal, kita masih bisa melihat Francesco Totti yang sudah menua tapi tetap tampil dominan di AS Roma, atau Dario Hubner di usia 35 tahun menjadi capocanieri bersama Brescia. Contoh lain mungkin Luca Toni yang masih bersinar di usia senja bersama Inter Milan, atau idola saya Alessandro Del Piero yang mendapatkan gelar piala dunia di penghujung karirnya.

Pada era itu, masih cukup banyak list daftar para pemain yang selepas usia 30 tahun tapi masih mendapat tempat di tim utama, bahkan beberapa dari mereka malah tambah moncer ketika usia senjanya. Tapi itu dulu, beda dengan atmosfer sepakbola jaman sekarang yang cenderung sudah tak memberi ruang kepada pemain di atas usia 30 tahun.

Kalaupun ada itu pun bisa dihitung dengan jari, dimana mereka pun harus fitness habis-habisan untuk saingi fisik para pemain muda. Sebut saja paling kita mengenal Ronaldo, Messi atau Zlatan yang masih bisa eksis di usia atas 30 tahun, selebihnya sudah 'expired'.

Hal tersebut disebabkan oleh faktor gaya sepakbola 2 dekade terakhir yang benar-benar mengandalkan kecepatan dan transisi super cepat. Sudah tidak diperlukan lagi playmaker seperti Totti, atau Libero seperti Lothar Matthaeus dan Regista berskill tinggi seperti Andrea Pirlo.

Skill dominan pemain jaman sekarang itu cuma 2  yaitu kecepatan dan ketepatan passing, selebihnya ‘manut’ instruksi pelatih untuk maju atau mundur dan pressing. Maka dengan gaya permainan tersebut, praktis hanya dominan pemain muda yang bisa menempati posisi utama dalam skuad, bahkan ada pelatih klub ternama yang inginkan timnya dominan diisi pemain di bawah 24 tahun.

Kita tidak bisa melihat lagi Zidane dengan elegan mengatur lini tengah Prancis atau Rivelino bermain keeping ball santai menari-nari ala jogo bonito, praktisnya sepakbola saat ini sudah kehabisan stok fantasista.

Gaya sepakbola sekarang yang cenderung cepat dan andalkan transisi secepat kilat, itu lebih karena tuntutan industri sepakbola yang inginkan prestasi instan.

Sekarang kita lihat saja, apa sih bedanya Arsenal, City, United, Juventus, Milan, Madrid, Barcelona dan klub-klub besar lainnya, semuanya hampir sama gaya mainnya, kalaupun ada bedanya itu hanya detail-detail kecil. Semuanya dituntut bermain seefesien mungkin, pressing seketatnya.

Sebaliknya sebagai antitesis untuk tim medioker atau gurem, mereka memilih low defense, lalu counter attack secepatnya.

Sebagai penikmat sepakbola, saya mengamati perubahan drastis gaya sepakbola jaman sekarang itu dipengaruhi ketika mulai maraknya investasi besar-besaran para pangeran Arab dan bos-bos Asia yang menanamkan sahamnya di klub-klub besar Eropa.

Sebagai suatu industri tentunya para taipan-taipan tersebut menginginkan investasinya cepat kembali, walhasil pelatihnya dalam tekanan hebat, sehingga akhirnya klub-klub besar memainkan gaya sepakbola yang menekankan pada efisiensi orientasi kemenangan, sekilas enak ditonton, karena kita disuguhi sepakbola cepat yang dimainkan para pemain muda, tetapi jika semua klub besar bermain dengan gaya yang sama, maka vibes-nya terasa monoton dan membosankan.

Di era 90an dan awal 2000an awal, mengapa sepakbola pada titik puncak menariknya, itu dikarenakan masing-masing klub besar punya ciri khas tersendiri dalam strategi bermainnya.

Siapa sih yang tidak kangen gaya box to box Manchester United yang sangat khas, Juventus dan Inter Milan yang sangat catenaccio banget, Milan yang elegan santai di lini tengah, Liverpool yang kick and Rush banget, Real Madrid yang passingnya ‘nyeni’ banget, Barcelona yang selalu suguhkan pemain-pemain yang suka menari, Bayern Muenchen yang garang menyerang, dan masih banyak lagi dimana kesemuanya memainkan gaya khas tersebut selama bertahun-tahun, hingga akhirnya semua berubah di era ekspansi para taipan-taipan yang berinvestasi besar-besaran di klub-klub besar tersebut.

Gaya khas sepakbola klub-klub besar tersebut biasanya dimotori pemain-pemain senior berskill tinggi di semua lini, di jaman dulu pemain muda agak sulit tembus tim utama, itu bukan karena mereka tidak bagus, tetapi sepakbola jaman dulu lebih menekankan karakter ketimbang sekedar menang.

Itu terlihat bagaimana fans jaman dulu pun banyak yang mengidolakan tim-tim medioker, macam Sampdoria, Blackburn Rovers, Fiorentina dan lainnya, karena fans jaman dulu memang konsumsinya adalah sepakbola yang berkarakter.

Beda dengan fans jaman sekarang yang cenderung karbitan, ngefans dengan klub-klub yang sering juara saja.

Kasus yang menimpa Paul Pogba adalah bukti bahwa kejamnya sepakbola jaman sekarang, dimana jika kecepatan pemain sudah berkurang sekian detik saja, maka anda akan sulit untuk masuk line up skuad utama.

Paul Pogba menyatakan karirnya telah berakhir setelah dia divonis bersalah karena terbukti menggunakan doping penguat testosteron yang dilarang Federasi sepakbola Italia. Klubnya Juventus pun menyalahkan Paul Pogba yang telah sengaja mengkonsumsi suplemen yang dilarang tersebut.

Paul Pogba pun berkoar, bahwa sepakbola jaman sekarang memang sangat kejam, dimana hari ini anda bisa dipuja-puja akan keberhasilan, maka besoknya bisa saja karir sepakbolanya bisa hilang seketika.

Bisa dimengerti kenapa Paul Pogba harus menggunakan doping testosteron, lihat saja statistik Paul Pogba semenjak kepindahannya dari Manchester United ke Juventus pada tahun 2022. Dimana dia hanya bermain 6 kali saja dalam partai reguler hingga Desember 2023 ketika kasus doping menjeratnya.

Itu artinya dia mengalami kesulitan bersaing dengan para pemain muda Juventus, padahal usia Pogba belum tua-tua amat saat itu yaitu tentang usia 29-30 tahun, usia dimana justru di jaman dulu merupakan usia emas seorang pesepakbola. Mungkin terbersit dalam benaknya untuk menggunakan suplemen doping agar dapat bersaing dengan para pemain muda.

Saya melihat usia emas pesepakbola jaman sekarang makin lama makin muda rentang usianya, sekitaran rentang usia 23-27 tahun, lihat saja timnas kita, demi mewujudkan timnas yang gaya mainnya transisi cepat, Shin Tae Young memangkas para pemain senior yang berusia diatas 28 tahun, bahkan dalam Piala Asia lalu, kita ditahbiskan tim yang paling muda rata-rata usia pemainnya.

Sepeninggal Neymar kini yang sudah habis, tinggalah Kylian Mbappe yang kiranya bisa dinilai pesepakbola kategori bintang beneran, dan saya nilai masih bisa berbuat banyak di atas usia 30 tahun, hal tersebut memperlihatkan betapa kejamnya sepakbola jaman sekarang yang para pemainnya saat dituntut bagaikan mesin yang harus berpacu.

Beda sekali waktu dulu, dimana kita dimanjakan pemain-pemain yang diberikan kebebasan dengan gaya main khasnya, seperti David Beckham, Ronaldo botak, Luis Figo, Zidane, Kaka, Makalele dan lainnya. Intinya bintang bola beneran memang melimpah di jaman itu, dikarenakan filosofi sepakbola yang dimainkan memang lebih kepada karakter.

Saya tidak tahu Frederico Chiesa yang saat ini berusia 26 tahun bisa terus eksis hingga usia 30 tahunan nanti, walau dia sudah berprestasi luar biasa di Juventus dan Italia, tapi kok gaungnya tidak seperti Del Piero atau Maldini di era dulu.

Sebenarnya pemain muda jaman sekarang banyak yang bagus sebenarnya dan bisa jadi bintang beneran, namun pola gaya main sepakbola jaman sekarang menuntut mereka untuk bermain secara skematik banget, akhirnya jarang sekali ada pemain yang bisa menonjol, apalagi kalau sudah menurun sedikit kecepatannya, maka siap-siap digantikan pemain muda lainnya.

Entah disadari atau tidak, fans jaman sekarang pun jarang saya lihat memakai Jersey pemain-pemain top jaman sekarang seperti Chiesa, Bellingham atau Vinicius Jr. Saya lihat anak-anak kampung masih dominan pakai Jersey Ronaldo di An Nasr atau Messi yang masih di Barcelona dan Neymar, sementara yang pakai Jersey Mbappe saja sangat jarang.

Kalau era 90an jangan ditanya, mulai dari Mancini yang di Lazio sampai Aimar di Valencia pun banyak pakai. Itu sebagai bukti para fans jaman dulu pun mengikuti perkembangan klub-klub medioker, karena mereka pun memainkan gaya sepakbola yang berkarakter.

Sebagai penutup artikel yang tidak jelas arahnya ini, saya cuma berpesan, kita ini bisa apa sich? kita kan cuma bisanya nonton saja sama jago komentar, doakan saja semoga mas-mas bule timnas kita bisa bawa prestasi setinggi-tingginya, kita wong jowo tidak usah main, nonton saja kan enak. Salam Komentator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun