Sudah hampir seminggu ini saya tidak memposting tulisan artikel di Kompasiana, dikarenakan ada kesibukan menyusun rapot para peserta didik serta dibarengi berbagai kegiatan sekolah lainnya seperti pelepasan siswa kelas 6, classmeeting, outing class, acara penyembelihan Idul Kurban dan agenda-agenda kependidikan lainnya, pokoknya full fisik dan administratif, sehingga sejenak kegiatan tulis menulis di 'stel kendo' alias dikurangi dulu, karena harus konsentrasi kegiatan seabrek tersebut.
Saya memang belum bisa membagi waktu antara kesibukan sehari-hari dengan menulis di Kompasiana, harapannya kelak bisa ketemu ritme yang istiqomah bisa terus menulis di blog tercinta kita ini. Hingga artikel terakhir pada minggu lalu yang saya posting adalah mengambil tulisan anak saya, karena belum ketemu mood waktu untuk menulis.
Baiklah, kembali ke topik dari artikel ini yaitu tentang penerimaan rapor kenaikan kelas, yang dimana merupakan momen mendebarkan baik bagi para guru, peserta didik dan orangtua wali murid pada setiap tahun ajaran.Â
Jika di zaman dulu, di mana masih diberlakukan aturan tinggal kelas atau tidak naik kelas bagi peserta didik yang nilainya di bawah standar, maka bisa dikatakan jauh lebih mendebarkan ketimbang kondisi saat ini, dimana sudah tidak diberlakukan aturan tinggal kelas.
Jika sudah demikian, seorang guru kelas di zaman sekarang tetap harus menciptakan kondisi "mendebarkan dan menegangkan" setiap penerimaan rapor kenaikan kelas, agar peserta didik tidak santai-santai dalam pembelajaran sehari-hari. Sehingga paling tidak tetap bisa memacu semangat belajar mereka untuk meraih nilai yang lebih baik.Â
Caranya bagaimana, setiap guru tentunya memiliki metodenya masing-masing dengan melihat kondisi kelasnya, sebagai contoh saya mendapati salah satu murid saya ada yang belum lancar membaca teks Pancasila, maka saya pun men-challenge dia agar dia bisa menghafalnya sebelum tahun ajaran berakhir, jika dia gagal, maka saya akan mencantumkan perihal tersebut pada keterangan kolom penilaian mapel PPKN pada rapornya.Â
Dia pun tergerak untuk menghafalnya dengan serius, di mana sebelumnya dia tampak agak malas menghapalnya, sebelum saya memberi tantangan tersebut.
Maka dengan hal tersebut, rapor dapat menjadi instrumen pemantik bagi peserta didik bukanlah sekadar nilai-nilai belaka yang tercantum pada secarik kertas, tetapi menjadi gambaran bagaimana dirinya harus berkembang untuk kedepannya. Intinya hasil nilai rapor bukanlah penghakiman, tetapi representasi pada dirinya untuk menjadi lebih baik.
Dikutip dari laman Kemendikbud, Rapor Pendidikan bukan merupakan laporan prestasi dari satuan pendidikan, tetapi gambaran representatif dari satuan pendidikan. Sehingga apabila satuan pendidikan Anda sudah mendapatkan hasil yang baik, Anda dapat melakukan peningkatan hasil penilaian indikator dengan membuat inovasi-inovasi baru untuk meningkatkan hasil penilaian di tahun berikutnya.
Maka dari itu jelas bahwa rapor pendidikan adalah sesuatu bentuk assesmen yang krusial dalam suatu perjalanan pembelajaran bagi peserta didik. Di zaman sekarang, terkadang "greget" menegangkan ketika penerimaan rapor sudah agak hilang, dikarenakan sudah tidak diberlakukan lagi sistem ranking di kelas, serta tidak diberlakukan lagi sistem tinggal kelas.Â
Hal tersebut sebenarnya ada benarnya juga, sebagai bentuk egaliter dalam pendidikan, namun faktanya terkadang hal tersebut membuat para orangtua wali murid dan peserta didik tampak santai-santai saja menjelang penerimaan rapor, banyak yang tidak serius tingkatkan belajar jelang ujian atau tak menganggap penting nilai-nilai pada rapor.
Maka dari itu perlu ada usaha keras dari tenaga pendidik untuk meyakinkan kepada para orangtua wali murid dan peserta didik bahwa penerimaan rapor bukanlah hasil akhir pendidikan, tetapi suatu catatan apa yang harus dilakukan kedepannya.Â
Lalu, hal-hal apa saja yang menjadi perhatian kita agar rapor dapat menjadi jembatan bagi peserta didik berkembang di masa depan, berikut ulasannya.
Proses mencari Potensi Akademik
Saya termasuk guru yang cukup lama menyusun rapor ketimbang guru-guru lain di sekolah kami, kalau guru yang lainnya memakai aplikasi dari dinas, di mana tinggal memasukkan angka dan variabel penilaian.Â
Maka saya inisiatif membuat sendiri secara manual, tetapi tetap mengacu standar kolom rapor dari dinas, namun untuk kolom deskripsi saya isi dengan manual tidak manut "rumus" dari aplikasi, karena jujur kalimat deskripsi yang disediakan dari aplikasi, cenderung membosankan untuk dibaca, sehingga wajar pembuatan rapornya lumayan menguras waktu.
Hal tersebut saya lakukan karena saya mencoba memposisikan diri sebagai orangtua wali murid jika sedang membaca rapor pendidikan anaknya. Jika kalimatnya hanya "ananda baik dalam memahami tentang energi terbarukan", apa makna yang tersirat? Sangat membosankan.Â
Maka dari itu, saya ubah beberapa kalimat deskriptif menjadi lebih menarik untuk dibaca, yang bertujuan untuk fokus dalam pencarian potensi akademik dari peserta didik.
Ketika penerimaan rapor, seorang guru harus mampu menjelaskan kepada orangtua wali murid tentang potensi-potensi mata pelajaran yang benar-benar dikuasai peserta didik, dan hal tersebut harus tampak pada kolom deskripsi rapor, jika perlu diberi warna highlight agar sang orangtua benar-benar aware tentang mapel mana saja yang memang menjadi potensi bagi anaknya.
Pencarian Keunikan Jatidiri
Terinspirasi dari buku Sekolahnya Manusia dari pakar pendidikan almarhum Munif Chatib, setiap penerimaan rapor saya selalu mencantumkan gelar unik serta penyematan tentang jenis kemampuan khusus dari setiap peserta didik. Hampir semua orangtua wali murid sangat senang dan terinspirasi dengan hal ini, karena menjadi tahu tentang potensi unik pada anaknya.
Ada murid yang saya beri sematan gelar pada rapornya yaitu "Sang Penyair", dikarenakan dia memiliki kemampuan linguistik yang sangat baik. Ada pula yang bergelar "Sang Penjelajah", karena si anak memiliki kemampuan kinestetik alias tidak bisa diam serta suka mencari serangga di sekitaran sekolah, dan itu saya tuangkan semua dalam laporan perkembangan pembelajaran.
Sebagaimana wejangan dari Ki Hajar Dewantara, dimana seorang guru bukan hanya sekadar mengajarkan pelajaran kepada para muridnya, tetapi justru harus mampu menggali potensi peserta didik yang kiranya dapat dikembangkan pada masa depannya.Â
Pendidikan bukanlah sekedar pengajaran ilmu, tetapi bagaimana mencetak pribadi-pribadi unik serta percaya diri dengan kemampuannya masing-masing.
Kontempolasi Orangtua
Bahasa rapor yang saya gunakan cenderung lebih kepada bagaimana dan apa yang harus dilakukan sang orangtua wali murid kepada anaknya untuk menjadi lebih baik.Â
Hal tersebut dikarenakan maju mundurnya perkembangan pembelajaran seorang peserta didik bukanlah semata-mata hanya pada gurunya saja, tetapi justru ada pada orangtuanya yang memiliki andil paling besar.
Masih banyak orangtuanya menjadikan sekolah seperti "tempat penitipan anak" selagi dia sedang berkerja, apalagi jika sekolahnya adalah berstatus swasta fullday serta tidak ada PR, saya yakin kebanyakan orangtua sangat jarang mendampingi anak untuk belajar di rumah.Â
Belum lagi juga banyak orangtua yang tak mau ambil pusing dengan memberikan tambahan les atau kursus kepada anaknya, sah-sah saja, namun bagaimanapun orangtua yang bijak tetap harus memberikan waktu kepada anaknya untuk pendampingan belajar, entah itu sekadar menanyakan perkembangan pelajaran yang ia sukai atau mengecek buku-buku harian sekolahnya, saya yakin jika itu dilakukan dampaknya sangat besar bagi prestasi pembelajarannya, sekalipun peserta didik sudah menginjak SMA.
Maka dari itu, rapor bukan sekadar semata-mata hasil "kerja" dari seorang guru, tetapi juga harus mencantumkan apa-apa saja yang harus menjadi perhatian bagi orangtua wali murid dalam meningkatkan pembelajaran anaknya.
Produk Utama Pendidikan
Pernah suatu kali, saya melihat hasil rapor pendidikan dari anak tetangga saya di SD negeri yang di mana hanya secarik kertas berisi tabel angka-angka saja, memang itu hasil penerimaan rapor mid semester, tetapi sungguh miris jika orangtua wali murid hanya menerima rapor anaknya hanya berisi tabel nilai-nilai saja tanpa makna apa-apa.Â
Walau hanya rapor mid semester, seharusnya Dinas Pendidikan memberikan acuan kepada satuan kependidikan Sekolah Dasar, untuk tetap memberikan rapor yang ada kolom deskripsi pada penerimaan hasil pembelajaran tengah semester, bukan hanya nilai saja.
Intinya rapor pendidikan adalah produk utama dari layanan kependidikan, maka penyusunannya haruslah sebaik mungkin dan benar-benar dapat digunakan bagi orangtua wali murid dalam mengembangkan peserta didik untuk lebih baik, maka dari itu instrumen rapor pendidikan haruslah sangat komplet menjelaskan apa adanya kondisi peserta didik secara komprehensif.
Diusahakan tabel rapor diberi warna dan kolom yang berdesain menarik, bukan seperti kolom-kolom kaku hingga orangtua wali murid malas untuk membacanya, jika perlu diberikan desain grafis statistik perkembangan pembelajaran peserta didik.Â
Pilihlah font atau karakter huruf yang bold dan enak untuk dibaca, agar orangtua wali murid nyaman untuk membaca hasil rapor anaknya. Intinya sebagai produk utama pendidikan, rapor harus disusun semenarik mungkin, agar dapat tersampaikan pesan dalam laporan tersebut melalui tampilan yang eyecacthing.
Rapor pendidikan bukanlah hasil akhir, tetapi suatu bentuk assesmen potensi diri dari peserta didik, hal ini harus menjadi kesadaran kita semua, tentang pentingnya membaca dan menganalisa rapor pendidikan anak-anak kita, agar tak hanya sekedar kumpulan nilai-nilai tiada arti.Â
Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H