" Guru kok kerjaannya megang hape saja di kelas"
"Murid kok dijadikan konten terus, guru apa itu..?"
"Baru diceramahi sebentar sama Kepala Sekolah, malah nangis mewek buat status, guru kok gitu sih"
Itu adalah hanyalah contoh celetukan-celetukan para guru senior sepuh kepada para guru-guru muda yang kelahiran sekitar akhir 90-an ke atas. Disparitas mental antara guru senior dan guru yang baru saja mengajar memang cukup kentara dalam beberapa tahun terakhir. Tak hanya dalam dunia kependidikan, di dunia kerja pada umumnya memang sedang terjadi fenomena perbedaan tajam mental antar generasi kerja yang kadang menimbulkan gesekan.
Saya sendiri yang kelahiran tahun 80an, sewaktu kali pertama berkerja, hampir tidak ada kendala dalam penyesuian irama kerja dengan para senior. Namun saat ini saya yang sudah kepala 3, jujur agar keteteran dalam menyesuaikan irama dengan adik-adik junior di bawah saya. Entah itu cara arah bicara mereka atau kepekaan dalam hadapi masalah benar-benar sangat berbeda dengan generasi saya dan generasi di atas saya.
Dalam dunia kerja, mereka ini disebut generasi strawberry, dimana pakar pendidikan Rhenald Khasali mengesankan generasi strawberry adalah sekelompok generasi yang sebenarnya sangat indah dipandang namun sangat mudah rapuh hancur. Sebagaimana filosofi buah Strawberry, yang tampak indah dari luar, namun sangat mudah tergesek dan hancur, maka seperti itulah gambaran generasi kelahiran akhir 90an ke atas, yang sewaktu kecilnya kerap dimanjakan oleh berbagai kemudahan.
Ciri-ciri negatif pada generasi strawberry ialah pertama yaitu rentan terhadap stress, dimana mereka sulit menerima tekanan-tekanan dalam pekerjaan. Kemudian, kedua memiliki ketahanan mental yang cenderung kurang, sehingga memiliki kerapuhan dalam menghadapi masalah. Kemudian, ketiga yaitu cenderung memiliki ketergantungan pada teknologi, hal ini diakibatkan generasi ini semenjak lahir sudah sangat akrab sekali dengan teknologi gawai yang mempermudah hidup mereka.
Walau demikian, tidak sepenuhnya generasi Strawberry buruk, mereka juga indah apabila dipoles dengan baik. Ciri positif pertama dari generasi ini adalah memiliki daya kreatif yang tinggi, mereka mampu memaksimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Ciri kedua adalah memiliki jiwa inovatif yang selalu berkembang, dimana mereka suka hal-hal yang baru untuk dikembangkan. Lalu, ciri positif ketiga adalah punya pola pikir 'out of the box' yang luar biasa, mereka tidak suka cara-cara konvensional dalam berkerja.
Melihat semua ciri positif dan negatif di atas, apakah anda pernah melihat rekan kerja muda atau guru-guru muda yang bermental tersebut, atau mungkin salah satu pembaca artikel ini yang masih berstatus guru honorer muda yang kerap disuruh guru senior untuk buat acara-acara sekolah seabrek.
Hampir di setiap sekolah pasti ada ditemukan guru muda yang merasa ingin berkontribusi besar, namun terkadang terjadi friksi dengan para senior-seniornya. Sungguh ini memang hal yang baru dalam dunia kerja di Indonesia. Jika di jaman dulu para pegawai muda, biasanya harus menunggu 5-7 tahun lamanya, baru bisa berani mengekspresikan hal-hal baru dalam lingkungan kerjanya, dimana dalam masa itu, para guru muda atau karyawan yang baru masuk kerja biasanya 'manut-manut' saja ikut alur kerja yang sudah ada alias cari aman saja dulu.
Namun saat ini fenomenanya berbeda, pegawai muda atau guru muda yang baru masuk beberapa bulan, langsung tampak ingin menunjukkan kebisaannya dalam berkerja, dan berusaha mendobrak cara kerja yang sudah ada. Sekilas memang itu hal yang positif, namun cara mereka mengekspresikannya kadang menimbulkan friksi antar generasi angkatan kerja, sehingga tak jarang membuat para generasi strawberry ini patah arang galau berkepanjangan sehingga mengganggu kinerjanya.
Lalu bagaimana caranya agar para junior-junior ini bisa menjadi generasi yang super memajukan lingkungan kerjanya. Menurut Rhenald Khasali dalam bukunya "Strawberry Generation" (2017), memberikan 4 hal dalam mengoptimalkan para generasi strawberry ini agar menjadi pribadi tangguh. Tentunya tidak terkecuali diperuntukkan bagi para guru-guru muda yang masih rapuh kepercayaan dirinya agar dapat berkembang.
Bangun Mental
Mental generasi strawberry cenderung rapuh lebih disebabkan pola asuh orang tua zaman milenial yang cenderung permisif dan protektif terhadap perkembangan anak, sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang selalu 'diselamatkan' orang tuanya, ketika mengalami kesulitan. Mereka tak pernah digembleng kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.
Maka dari itu, para generasi ini ketika mulai bergabung ke dalam unit kerja, perlu diberikan pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada pembangunan mental. Hal ini penting, karena di dunia nyata dalam pekerjaan, bukan tak mungkin dipenuhi tekanan-tekanan yang bisa membuat mereka stress hingga akhirnya berkinerja buruk. Banyak kasus para guru generasi ini, utamanya pada sekolah swasta yang sering resign, padahal baru masuk beberapa minggu atau bulan, karena merasa hanya kurang cocok vibesnya.
Sungguh sangat berbeda dengan jaman generasi saya, dimana apabila sudah diterima kerja, asal gajinya sudah cukup untuk sehari-hari, itu sudah hal yang patut disyukuri, perkara cocok di hati atau tidak, itu tak masalah, yang penting bisa menabung agar bisa menikah segera. Itu dulu, sekarang sungguh jauh berbeda, maka dari itu saat proses rekrutmen, sangat penting para guru-guru muda harus mau menerima nilai-nilai pada sekolah yang dilamarnya, agar terjadi integritas yang sinergis antara guru muda dan sekolahnya, agar tak menyesal di kemudian hari.
Berikan Kepercayaan
Pada prinsipnya, generasi strawberry sangat menyukai tantangan, sangat menyukai kebebasan, jadi sebenarnya ketika mereka berkerja dalam institusi seperti sekolah, maka sebenarnya agak membatasi ruang gerak mereka yang notabene masih 'rookie'. Maka dari itu, apabila kegiatan di sekolah, libatkanlah para guru muda ini, tetapi bukan sebagai sekedar 'suruhan' hilir mudik kesana kemari. Tetapi memang diberikan tanggung jawab kepanitiaan.
Pengalaman pribadi, kebanyakan para guru muda ini ketika  diberikan tanggung jawab kepanitiaan kegiatan sekolah, justru kadang memberi warna baru yang 'wow', alias out of the box.Â
Sebagai awalan, berikan tanggung jawab sesuai kapasitasnya saja, jangan seolah karena mereka masih junior, mereka disuruh segala macam pekerjaan. Karena patut diingat, mereka tak bisa diberikan tekanan pekerjaan yang teramat tinggi, karena bisa saja, besoknya mereka minta resign atau mewek di status sosial medianya.
Berbeda dengan generasi saya jaman dulu, yang biasa-biasa saja kalau disuruh-suruh segala macam oleh senior, bukan dianggap tekanan pekerjaan. Lain jaman, lain pula tantangannya, untuk generasi strawberry yang kritis, alangkah baiknya kita berikan tanggung jawab yang sesuai aturan saja, mereka tak bisa disuruh-suruh untuk membelikan makanan atau tugas di luar tanggung jawab job desk.
Dampingi Pengambilan Keputusan
Jika mereka sudah bisa diberikan tanggung jawab, maka penting bagi senior untuk mendampingi mereka dalam mengambil keputusan. Kita tidak berusaha membatasi mereka, tetapi lebih memberikan mereka tentang pengalaman-pengalaman para senior sebelumnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Kita akui mereka punya kelebihan mutlak dalam bidang teknologi dan sosial media, tak jarang banyak guru muda yang popular karena sering buat konten bersama para muridnya, maka disinilah peran guru senior untuk memberikan wejangan. Kita harus mengapreasiasi usaha kreatif dan inovatif mereka, namun tetap memberikan batasan yang berdasarkan pengalaman para senior, bagaimanapun pengalaman adalah yang utama.
Ketika para senior mau merangkul mereka dalam setiap kegiatan, maka secara tidak langsung mereka merasa bahwa para senior adalah orang tua mereka dalam tanda kutip atau tutor yang harus mereka hormati. Guru senior tidak boleh membuat jarak dengan para guru muda, karena para generasi strawberry justru lebih menghormati para pendahulu yang easy going dengan mereka, ketimbang senior yang gila hormat.
Biarkan Berkembang
Layaknya tanaman strawberry yang merambat cepat, maka biarkan saja mereka berkembang dengan daya kreasi dan inovasinya. Sebagai guru senior, jadilah pendengar yang baik tentang ide-ide liar mereka untuk perkembangan sekolah, seimbangkan tersebut dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya sehingga terciptalah sinergi yang luar biasa dalam mengembangkan sekolah untuk lebih maju.
Ada yang menarik, bahwa hierarki sekolah tidaklah sekompleks dengan manajemen perusahaan besar, yang membedakan hanya status kepegawaian saja.Â
Dikarenakan hierarki manajemen sekolah yang tak terlalu rumit, maka kolaborasi antara guru senior dan guru muda sangatlah dimungkinkan, karena jika bukan dari kolaborasi dari keduanya, tidak mungkin sekolah tersebut bisa berkembang. Berbeda dengan manajamen perusahaan besar yang terdiri banyak unit yang sangat kompleks, sehingga sistem kerjanya agak parsial.
Maka dari itu, daya kreasi inovasi para guru generasi strawberry ini justru sangat diperlukan mulai dari awal mereka mulai masuk, karena satuan unit sekolah itu sifatnya sangat kolaboratif, artinya peran satu guru saja sangat berharga sekali kontribusinya demi perkembangan sekolah.
Pada prakteknya, tidak semua guru muda itu bermental generasi strawberry, kata Rhenald Khasali itu baru kecenderungan, namun memang perlu ada kesadaran bagi kita semua untuk saling menguatkan satu sama lain dengan mengesampingkan ego antar generasi angkatan kerja. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H