Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan…. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah… Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia… Yang mengajar (manusia) dengan pena… Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya….
Itulah 5 ayat awal Al Quran Surah Al Alaq, yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira. Bisa dikatakan ayat ini sifatnya universal untuk semua umat manusia tidak terbatas hanya untuk muslim, dimana Tuhan memerintahkan perintah awal bagi umat manusia untuk ‘membaca’, bukan mencari makan, berburu atau berkembang biak, tetapi justru untuk mencari ilmu pengetahuan terlebih dahulu.
Kisah tersebut menyiratkan bahwa sudah jelas bahwa membaca adalah bentuk kewajiban awal bagi umat manusia. Maka ketika di dalam kelas, saya sering mengoreksi masalah kegemaran atau hobi masing-masing peserta didik, jika ada diantara mereka yang mengatakan bahwa hobinya adalah membaca.Â
Saya langsung mengoreksinya, bahwa membaca adalah bukanlah hobi yang sifatnya personal, tetapi justru merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Membaca bukanlah bentuk dari skill atau kemampuan unik, tetapi sama halnya dengan kemampuan dasar manusia lainnya seperti makan atau minum.
Untuk menyadarkan mereka tentang pembiasaan membaca, setiap hari saya selalu berikan waktu sekitar 30 menit untuk mereka untuk membaca buku yang mereka suka di perpustakaan kelas kami. Biasanya saya membawa 4-5 buku baru setiap minggunya, yang saya pinjamkan dari perpustakaan langganan saya, agar mereka semangat membaca buku-buku baru yang menarik.
Sulitnya membiasakan membaca buku pada masyarakat Indonesia bisa tergambarkan peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) bidang literasi membaca, dimana negara kita berada di posisi yang sangat rendah yaitu menempati peringkat 70 dari 80 negara dengan skor literasi membaca 359.Â
Hal yang memperhatinkan Indonesia masih di bawah dari negara Asia Tenggara lain yakni Thailand di posisi 63 dengan skor 379 dan Malaysia di posisi 60 dengan skor 388, serta Brunei Darussalam di posisi 44 dengan skor 429, apalagi dengan Singapura yang bertengger pada peringkat pertama dunia.
Entah apa yang membuat bangsa kita ini sulit sekali membiasakan ‘mengkonsumsi’ membaca buku dalam kesehariannya. Saya berpendapat bukan masalah sosial media yang merebak saat ini, tapi budaya maunya ‘instan’ adalah penyebab utamanya, kita seolah tak suka budaya berdialog dengan pikiran, lebih suka sesuatu yang tangible atau bisa langsung digunakan, ketimbang mencari tahu atau menelusuri sesuatu tersebut bisa kita gali secara mendalam melalui membaca buku yang halamannya tebal.
Bisa kita lihat 10 besar PISA literasi membaca adalah negara-negara maju, seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Kanada dan lainnya. Artinya jika kita bisa membudayakan membaca buku pada generasi muda kita, bukan tak mungkin secara tak langsung bisa saja mengantarkan bangsa kita menjadi lebih baik peradabannya, hingga mendapat label negara maju.