Agresi Militer Belanda untuk menguasai kembali wilayah Nusantara sudah mencapai titik jenuh di tahun 1949. Pihak Kerajaan Belanda, tak menyangka agresi kependudukan tersebut berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Hal tersebut tak lepas dari kecerdikan para perwira TNI yang sebelumnya berasal dari KNIL yang hapal strategi Belanda dan perwira TNI yang lulusan PETA, tentunya sangat piawai strategi gerilya di hutan.
Strategi bumi hangus obyek vital dan gerilya di hutan serta dukungan rakyat semesta, membuat agresi tersebut berlangsung lebih lama, sehingga tentunya membuat pihak Belanda kehabisan kesabaran serta biaya perang yang semakin membengkak. Puncaknya, TNI bersama rakyat membuat satu pukulan besar lewat serangan umum 1 Maret di Kota Yogyakarta, yang membuat mau tak mau Pihak Belanda harus mengadakan gencatan senjata dan perundingan lebih lanjut. Hasilnya disepakatilah untuk mengadakan Konferensi tingkat tinggi di Den Haag, namun untuk memulainya diadakan perundingan awalan gencatan senjata di Jakarta, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Roijen.
Kembalinya Panglima Soedirman
Salah satu hasil dari Perjanjian Roem-Roijen adalah pihak TNI harus menghentikan operasi militer gerilyanya yang saat itu dipimpin oleh Panglima Soedirman dan harus kembali lagi ke pangkalan militer Yogyakarta. Awalnya beliau tak mau 'turun gunung', karena beliau tak percaya sepenuhnya pihak Belanda yang benar-benar mau melakukan gencatan senjata, dan memang benar adanya, di beberapa kota, Belanda masih tetap bercokol posisi siap serang, dan di kota Yogyakarta pun, pihak militer Belanda hanya mundur 10 KM saja.
Namun, mengingat pentingnya kembalinya Panglima Soedirman, agar mentaati hasil perjanjian Roem-Royen, sebagai syarat untuk diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, maka beberapa perwira di Yogyakarta berupaya membujuk sang Panglima untuk turun gunung, dari sekian perwira, hanya wakil staf TNI Gatot Soebroto yang berhasil membujuk Panglima Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta. Keduanya memang sahabat karib yang sangat dekat pada operasi militer pemberontakan PKI di Madiun, beberapa tahun sebelumnya.
Akhirnya terjadilah pertemuan legendaris antara Presiden Soekarno dan Panglima Soedirman, yang melambangkan bersatunya kembali para anak bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pertemuan tersebut berlangsung pada 10 Juli 1949 di depan istana Kepresidenan Yogyakarta, dimana Panglima Soedirman dengan mantel lusuhnya berpelukan dengan Presiden Soekarno.
Pembuktian Sinergi Militer dan Diplomasi
Perjanjian Roem-Roijen merupakan buah hasil dari gigihnya perlawanan fisik TNI dan milisi rakyat serta tangguhnya para diplomat Indonesia dalam melakukan diplomasi. Pihak Belanda tak menyangka betapa perlawanan TNI bersama rakyat di berbagai tempat membuat jalannya agresi berlangsung lama dan membuat biaya agresi membengkak, ditambah cerdiknya para diplomat ulung seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Moehammad Roem dan lainnya dalam merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang menyulitkan pihak Belanda.
Secara garis besar perjanjian ini adalah gencatan senjata secara besar-besaran dari kedua belah pihak, dan sebenarnya Panglima Soedirman sebagai pimpinan tertinggi TNI menolak mentah-mentah hasil perjanjian yang memuat gencatan senjata. Beliau berseberangan pendapat dengan para pemimpin yang berdiam di Yogyakarta, dan ingin memaksakan perlawanan fisik melawan Belanda serta menolak gencatan senjata.
Namun, dengan semangat persatuan dan kesatuan, akhirnya pemerintah Indonesia dan TNI bersatu bersama menyusun kekuatan untuk memukul mundur kekuatan Belanda baik lewat fisik dan diplomasi.
Jalan Menuju KMB
Di sepanjang tahun 1948-1949, pemerintah Hindia Belanda kerap kali mendapat kecaman dari dunia Internasional dari agresi militernya, karena menganggap pemerintah Republik Indonesia dan Negara Indonesia Serikat benar-benar berdaulat di atas negerinya sendiri, yang dibuktikan dengan perlawanan sengit TNI beserta milisi rakyat melawan kekuatan militer Belanda dalam agresi.
Hal tersebut dikarenakan pasca berakhirnya perang dunia II pada 1945, PBB dan dunia Internasional mengharapkan pengalihan kekuasaan diharapkan berlangsung sesingkat-singkatnya di berbagai belahan dunia, agar pemulihan ekonomi  dunia pasca perang bisa segera dilaksanakan.
Namun, faktanya hingga tahun 1949, pemerintah Republik Indonesa dan Kerajaan Belanda masih bersengketa secara militer dan dalam posisi ini, pihak Belanda yang paling dikecam, sehingga kondisi tersebut harus segera diselesaikan melalui konferensi antar Negara tingkat tinggi. Untuk melancarkan konferensi tersebut, maka diadakanlah pertemuan tingkat tinggi di Jakarta pada 17 April 1949, hingga akhirnya menghasilkan perjanjian Roem-Roijen yang disepakati pada tanggal 7 Mei 1949.