Dengan materi pemain yang didominasi oleh pemain-pemain abroad Eropa, maka sekilas Guinea U 23 bukanlah lawan yang mudah untuk dihadapi.Â
Fisik tangguh pemain Afrika tentunya menjadi tantangan bagi Garuda Muda ketika harus berduel adu fisik.Â
Secara permainan, tim ini hampir memiliki pola yang sama seperti halnya tim-tim afrika umumnya yaitu mengandalkan kecepatan dan fisik yang tangguh, tetapi untuk permainan kombinasi dan determinasi bisa dinilai biasa saja.
Kiprah Piala Afrika U 23
Perjalanan tim yang diasuh pelatih Morlaye Cisse ini sekilas mirip dengan kiprah tim Indonesia U 23 pada gelaran piala Asia U 23. Dimana Guinea U 23 juga dianggap sebagai kuda hitam debutan yang bukan unggulan.Â
Mereka tergabung pada Grup A bersama tuan rumah Maroko, Ghana dan Kongo, di luar prediksi Guinea U 23 berhasil menjadi runner up grup, mengingat ketiga lawannya adalah negara yang memiliki tradisi sepakbola yang kuat di benua Afrika.
Di babak semifinal, sayang langkah brilian Guinea harus berhenti, setelah kalah dari Mesir dengan skor 1-0, dan di babak perebutan juara ketiga, harus mengakui keunggulan Mali U 23, setelah harus kalah adu penalti dengan skor 4-3.Â
Langkah luar biasa Guinea ini tentu menjadi catatan tersendiri, mengingat kita jarang mendengar kiprah Guinea dalam persepakbolaan Afrika dan dunia.
Sejarah Singkat Sepakbola Guinea
Timnasnya yang berjuluk Gajah Nasional ini memiliki peringkat FIFA ke 76, bahkan pada medio 2006 pernah menduduki peringkat 22. Hal tersebut menjadi indikator, bahwa walau jarang terdengar kiprahnya bagi pencinta sepakbola Indonesia, ternyata Guinea memiliki katrol peringkat FIFA yang sangat baik.
Negara ini memang belum pernah lolos ke piala dunia, namun pencapaian tertingginya adalah menjadi runner up piala Afrika pada tahun 1976. Negara yang terletak di afrika barat ini tergolong negara miskin, dan sering terjadi kudeta militer dalam sejarah politiknya.Â
Untuk stadion sepakbola yang representatif pun hanya satu saja, yaitu stadion 28 September di ibukota Conakry, itupun tanpa ada atap tribun. Oleh karenanya, sebagaimana negara afrika barat lainnya, para pemainnya memilih untuk bermain di Eropa, ketimbang bermain di liga lokal mereka yang fasilitasnya masih jauh dari kata layak.