Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Qatar, Bukan Negara Sepak Bola Kemarin Sore

17 April 2024   10:14 Diperbarui: 17 April 2024   11:53 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana laga timnas U23 Indonesia vs Qatar dalam matchday pertama babak penyisihan Grup A Piala Asia U23 2024 pada Senin (15/4/2024).(Dok. PSSI)

Mungkin banyak di antara kita masih kesal dengan hasil pertandingan timnas U-23 Indonesia melawan timnas U-23 Qatar dalam ajang Piala Asia U-23 pada Senin (15/4/24) kemarin, di mana Qatar juga bertindak selaku tuan rumahnya. Wasit dalam hal ini menjadi kambing hitam kekalahan timnas kita, dan cukup banyak artikel dari Kompasianer yang mengangkat pemberitaan ini.

Banyak yang menganggap Qatar bukanlah negara sepak bola selayaknya penguasa Asia lainnya seperti Jepang, Arab Saudi, Korea Selatan atau bahkan dibandingkan dengan negara kita yang terkenal suporter fanatiknya.

Hal tersebut bisa dimaklumi karena Qatar hanyalah sebuah negara jazirah kecil di teluk Persia yang luasnya mungkin hampir setara dengan Provinsi Sulawesi Utara, serta jumlah penduduk hanya 2 jutaan saja, didominasi para ekspatriat, apalah yang mau diharapkan dari persepak bolaan negara mungil ini.

Pesepak bola legendaris Perancis, Eric Cantona bahkan dengan terang-terangan menganggap Qatar tidak layak menjadi tuan rumah Piala Dunia tahun 2022, karena dia menganggap Qatar bukanlah negara sepak bola.

Namun, apabila kita mengorek sejarah sepak bola negara kaya minyak ini, sungguh agak kurang pantas menganggap bahwa Qatar adalah negara yang baru sukses beberapa tahun terakhir ini hanya dengan modal 'fulus' menggaet banyak pemain naturalisasi.

Sepak bola Qatar lahir sekitar medio tahun 50-an, di mana permainan ini masih dimainkan klub-klub lokal pekerja antar perusahaan minyak di sana, mungkin mirip-mirip fun football bapak-bapak selepas pulang kerja, bahkan lapangan yang digunakan belum menggunakan rumput, mengingat iklim gurun negara arab.

Qatar baru serius menggarap sepak bolanya mulai tahun 70an, ketika mereka mulai mendaftar sebagai anggota FIFA.

Awalnya timnas mereka belum bisa berbuat banyak, masih sering kalah bersaing dengan negara-negara Arab Lainnya dalam satu dekade awal persepakbolaan mereka, bahkan pernah dibantai Kuwait dengan skor 7-0.

Perlahan tapi pasti, di tahun 80an, tim yang berjuluk "The Maroon" ini menggebrak dunia persepakbolaan dalam ajang Piala Dunia Junior (sekarang Piala Dunia U-20) tahun 1981 yang diselenggarakan di Australia.

Secara mengejutkan mereka lolos babak grup, kemudian di babak perempat final mengalahkan Brazil dengan skor 3-2, lanjut dengan kejutannya pada babak semifinal mengandaskan perlawanan Inggris dengan kedudukan 2-1.

Sayang di final, mereka harus mengakui raksasa sepak bola jaman itu, yaitu Jerman Barat. Dalam laga pamungkas tersebut, Qatar harus mengakui keunggulan Tim Panser dengan skor 4-0. Bintang legendaris Qatar pada saat itu Bilal Badr, mengutarakan laga mengalahkan Brazil dan Inggris adalah sesuatu yang tak terlupakan dalam persepakbolaan negaranya serta karirnya.

Di tahun 1992, mereka pun kembali menoreh prestasi manis dalam ajang yang sama, dimana mereka mampu lolos hingga babak perempat final.

Dalam ajang Gulf Cup, suatu turnamen antar negara-negara Teluk Persia, mirip dengan turnamen AFF di Asia Tenggara, Qatar pun punya prestasi mentereng, di mana mereka sudah mengoleksi 3 gelar juara.

Dalam ajang piala Asia U-19 2014 di Myanmar, mereka pun secara mengejutkan menjadi juara, dengan mengandaskan Korea Utara 1-0 di babak final. Di mana dalam turnamen yang sama, Indonesia yang diperkuat Paulo Sitanggang dkk, tidak lolos babak grup, malah terbenam di posisi buncit grup, dikalahkan berturut-turut oleh Uzbekistan, Australia dan Uni Emirat Arab.

Prestasi paling mengejutkan adalah ketika mereka berhasil menjuarai Piala Asia 2019 di Uni Emirat Arab, padahal saat itu mereka sedang terkena sanksi politik, di mana dalam kejuaraan tersebut, mereka disanksi tidak boleh ada supporter Qatar yang bisa hadir menonton langsung.

Prestasi tersebut diulang kembali oleh Qatar, yang menjuarai Piala Asia 2023 di rumah mereka sendiri, seolah menegaskan bahwa mereka adalah raksasa sepak bola Asia baru.

Sederet prestasi hebat Qatar tersebut tentunya tidak mungkin hanya dibangun semalam atau mengandalkan pemain naturalisasi seperti yang sedang dilakukan timnas kita sekarang.

Ada beberapa faktor, mengapa negara mungil ini bisa berprestasi hebat jika dibandingkan dengan sepak bola negara kita yang sudah dibangun semenjak jaman colonial, berikut beberapa faktor yang membuat prestasi sepak bola negara Qatar mentereng.

Dibangun Pangeran Gila Bola

Selayaknya negara-negara Arab kaya minyak lainnya, Qatar dikuasai segelintir elite para Ke-Emiran atau Kepangeranan bangsawan Arab.

Adalah keluarga klan Al-Thani penguasa negara Qatar, yang benar-benar serius membangun investasi bidang olahraga, termasuk sepak bola.

Keluarga Al-Thani hampir seluruhnya bersekolah di Inggris, sehingga semua pangeran-pangerannya tak ayal juga menggandrungi olahraga sepak bola semasa di Inggris. Sebut saja Sheikh Jassim, salah satu pangeran klan Al-Thani yang berhasil membeli Manchester United, atau ayahnya Sheikh Tamim yang berinvestasi besar-besaran membangun stadion sepak bola taraf Internasional, hingga akhirnya sukses menyelenggarakan Piala Dunia 2022.

Jika kita kaji, sebenarnya bukan sekedar 'fulus' yang berbicara, tetapi juga melalui perencanaan yang matang di semua lini aspek sepak bola.

Sebagai contoh banyak negara teluk yang kaya akan minyak, namun tak ada prestasinya sementereng Qatar hingga kini adalah bukti perencanaan strategis matang bertahun-tahun yang didukung finansial mantap.

Menggunakan Jasa Pelatih Asing

Berkaca dengan kondisi negaranya, pelatih timnas Qatar hampir didominasi oleh pelatih asing di segala umur. Hampir bisa dihitung dengan jari pelatih-pelatih lokal yang melatih timnasnya, begitu pula pada level klubnya, kebanyakan hampir semuanya menggunakan jasa pelatih asing.

Hal tersebut bisa dimaklumi, karena bisa jadi dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit tersebut, sungguh cukup sulit mencari pelatih yang memiliki kompetensi mumpuni, maka dengan merekrut pelatih dari negara sepak bola lain, adalah jawaban terbaik dalam membangun persepakbolaan mereka.

Aspire Academy

Pada tahun 2004, Emir Qatar mendirikan Aspire Academy yang berfokus pada pengembangan para pemain muda mereka. Tak main-main, akademi sepak bola mereka diakui salah satu yang terbaik di dunia, mereka juga memiliki koneksi dengan beberapa klub di Spanyol dan Inggris, sehingga pemain akademi mereka mempunyai kesempatan bermain di Eropa. Aspire Academy juga memiliki cabang di Senegal, yang juga menjaring para pemain-pemain berbakat dari Afrika.

Usaha keras dari akademi taraf internasional ini membuahkan hasil pada piala Asia AFC U-19 tahun 2014 di Myanmar, dimana mereka menjadi juaranya.

Kemudian, dengan skuad yang hampir sama mereka berhasil menjuarai Piala Asia senior tahun 2019 di Uni Emirat Arab.

Bisa dibayangkan betapa hebatnya akademi sepak bola yang mereka bangun, bukan sekedar megah, tetapi terencana dengan matang.

Timnas Selaras Antara Pemain Naturalisasi dan Pemain Muda

Qatar tak menutup mata betapa minimnya penduduknya yang benar-benar tertarik untuk serius berkarir di bidang olahraga, bagaimana tidak dengan populasinya yang sangat sedikit ditambah komunitas arab aslinya status quo dengan pendapatan per kapita sangat tinggi, sungguh mereka pasti lebih memilih menonton sepak bola, ketimbang berkarir di bidang olahraga.

Maka dari itu, sejak lama Qatar menjalankan kebijakan pemain naturalisasi dari berbagai bangsa, kebanyakan berasal dari Afrika dan Amerika Latin.

Walaupun demikian, pihak federasi cukup baik dalam membuat sinergi antara pemain naturalisasi dan pemain muda hasil didikan akademi.

Sebagai contoh pahlawan Qatar dalam Piala Asia lalu, Akram Afif adalah contoh pemain hasil didikan asli Aspire Academy, yang melanglang buana di liga Spanyol. Prestasi Akram Afif adalah contoh ternyata pemain asli Qatar justru yang paling bersinar ketimbang pemain naturalisasi lainnya di dalam Timnas Qatar.

Terlepas isu kontroversi yang menerpa federasi sepak bola Qatar, pelajaran yang bisa diambil adalah terkadang majunya sepak bola suatu negara dibutuhkan seorang gila bola yang kaya raya ikhlas membangun persepakbolaan dalam negaranya, karena yang dilihat bukan lagi untung rugi, tetapi berorientasi pada prestasi yang membanggakan.

Semoga Bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun