Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menghindari Sifat "Artifisial Religius"

9 Januari 2024   05:08 Diperbarui: 9 Januari 2024   05:21 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerukunan Umat Beragama (Sumber : Coastal Courier)

Di sekolah kami ada kelas pengembangan diri tentang Informasi Teknologi, dimana para peserta didik berkreasi membuat karya-karya konten video atau gambar baik dengan smartphone atau laptop. 

Beberapa peserta didik ada yang sudah cukup mahir menggunakan teknologi Artificial Intellegence, dimana mereka mampu mendesain video atau gambar dengan hasil yang sangat bagus hanya dengan beberapa klik saja.

Menanggapi beberapa murid yang menggunakan teknologi AI tersebut, saya memberikan saran agar tidak terlalu bergantung dengan aplikasi-aplikasi yang terlalu 'AI' tersebut, tetapi menyarankan menggunakan aplikasi-aplikasi yang masih dominan manual pengeditannya, agar mereka mengerti detail proses dan memahami tentang arti orisinilitas karya mereka sendiri, bukan kepalsuan yang kebanyakan filter.

Bicara bab Artificial Intellegence, maka yang menarik di sini adalah makna dari 'artificial' itu sendiri. Artificial jika diindonesiakan menjadi artifisial memiliki arti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 'tidak alami' atau 'buatan'. Jika kita memaknai lagi tentang kehidupan kita, sebelum maraknya pro kontra tentang penggunaan Artificial Intellegent, bukankah kita sudah terlalu banyak 'artifisial-artifisial' yang menyelimuti kehidupan kita, dalam artian banyaknya variabel dalam diri kita yang tidak alami atau kepalsuan.

Tujuan utama penggunaan 'artifisial' tentunya agar terlihat sempurna di mata orang lain, walau itu hanyalah kepalsuan karya. Kepalsuan-kepalsuan itu kadang apakah membuat kita menjadi tenang atau malah menjadi khawatir. Memang semua itu kembali ke niat empunya yang memakai 'artifisial' tersebut, berniat baik atau punya maksud menutupi keburukan.

Kita mengenal bunga artifisial, lapangan artifisal, lukisan artifisal hingga hidung artifisal, dimana yang disebutkan tersebut sifatnya masih tangible, lalu bagaimana jika hal-hal artifisial sifatnya untangible yang melekat pada manusia seperti pura-pura kaya, pura-pura hebat, pura-pura sukses, dimana kesemuanya identik dengan menutupi sesuatu yang sebenarnya kita tidak miliki. Dari kesekian banyak kepura-puraan atau artifisial yang untangiable tersebut, menurut hemat saya, yang paling berbahaya adalah 'artifisial religius', yaitu kepura-puraan atau kepalsuan dalam berkeyakinan agama.

Dalam konteks ini, saya tidak menyalahkan agama baik sebagai subjeknya maupun objeknya, tetapi kembali kepada beberapa oknumnya yang menggunakan kedok agama sebagai artifisial untuk mendapatkan tujuan duniawinya.

Dalam sejarah umat manusia, banyak peristiwa besar memilukan yang menggunakan agama sebagai dasar fondasinya, sebut saja perang salib, recounqista, gerakan ISIS dan masih banyak lainnya. Sudah jelas peristiwa-peristiwa besar memilukan tersebut memakai kedok agama sebagai pembenar untuk membantai sesama umat manusia.

Jika sudah demikian, bagaimana mungkin jika praktik menjalankan agama yang niat awalnya adalah agar manusia memiliki jiwa welas asih yang ber-Tuhan, malah menjadi manusia yang kejam menindas manusia lainnya seolah tak ber-Tuhan.

Bukankah ini titik puncak dari 'artifisial' kepalsuan manusia dalam memeluk agama, yang justru menciptakan kekejaman terburuk dalam sejarah umat manusia, sungguh semoga kedepannya tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya karena kedok membela agamanya, padahal sebenarnya mereka memuaskan hawa nafsu mereka untuk kekuasaan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun