Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Itu Harus Mahal dan Susah

28 Desember 2023   05:04 Diperbarui: 28 Desember 2023   05:07 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang biaya pendidikan itu murah, siapa bilang untuk mendapatkan ilmu itu mudah serta terjangkau biayanya.  Imam Syafii saja memberikan nasihat tentang tidak mudahnya dan tidak murahnya dalam menuntut ilmu, dimana beliau berujar bahwa terdapat 6 syarat untuk menuntut ilmu, yaitu niat untuk sebenar-benarnya menjadi intelektual, mempunyai ketekunan kemauan keras, semangat yang tinggi, berhubungan baik dengan guru, butuh waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.

Dari penjelasan ulama besar ini tersirat bahwa sejatinya dalam menuntut ilmu bukanlah perkara hanya upaya untuk sekedar tahu tentang ilmu yang dipelajari, tetapi memang dibutuhkan darah dan air mata dalam kesungguhan yang sesungguh-sungguhnya  meraih ilmu.

Selama ini kita mempersepsikan secara umum bahwa dalam pendidikan itu haruslah murah terjangkau, namun di sisi lain menuntut fasilitas yang memadai di sekolah. Sesungguhnya persepsi ini sudah kadung merasuk ke sebagian masyarakat yang terbuai oleh program pemerintah yaitu biaya sekolah negeri yang gratis.

Fakta di lapangan, biaya pendidikan tidaklah murah dan banyak elemen yang memang tidak bisa dihargai murah, salah satunya gaji guru honorer, sungguh sangat tidak manusiawi jika variabel gaji guru dikorbankan demi biaya pendidikan yang murah.

Memang benar, akses pendidikan harus bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, namun di sisi lain kita juga harus mencermati bagaimana kita bisa mewujudkan sistem pendidikan accesable sekaligus berkualitas, tentunya itu tidak mudah dan perlu kesadaran bersama bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk anak kita, bukan yang termurah untuk anak kita.

Jangan sampai kita karena terbuai dengan sudah terbebas dari bayaran SPP, para orangtua tidak mau membelikan buku-buku literasi berkualitas kepada anaknya, tidak mau memberikan tambahan ekstrakulikuler untuk mengasah bakat minat anaknya dan hal-hal kiranya bisa meningkatkan kualitas pendidikan yang diterima anaknya.

Menteri keuangan Sri Mulyani menjelaskan anggaran pendidikan tahun 2023 sebesar Rp 608,3 Triliun menggambarkan 20 persen dari porsi total APBN. Bisa dikatakan itu adalah jumlah yang sangat besar, pertanyaannya kenapa peringkat PISA kita masih rendah, kenapa juga indeks pembangunan manusia kita juga masih rendah.

Bisa jadi hal tersebut dikarenakan persepsi sebagian masyarakat yang menganggap biaya pendidikan bukanlah hal yang penting untuk dialokasikan dalam belanja keluarga. Jadi ketika biaya SPP sekolah negeri digratiskan oleh pemerintah setempat, sebagian orang tua beranggapan biaya pendidikan sudah tak perlu dianggarkan di dalam perencanaan anggaran keluarganya.

Masih banyak anggapan di masyarakat di masa sekarang, bahwa anggaran yang paling penting diprioritaskan utama dalam belanja bulanannya yaitu sekitaran untuk makan atau membayar cicilan. Sementara anggaran untuk pendidikan dinomor buncitkan, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Hal ini tentunya sangat memperhatinkan, karena kualitas pendidikan tidak semata-mata diperjuangkan hanya oleh para guru di sekolah, tetapi juga harus dimulai dari rumah.

Berbeda dengan sewaktu jaman dimana SPP sekolah negeri belum digratiskan, para orang tua selalu mengalokasikan biaya pendidikan sebagai hal yang diprioritaskan ketika menerima gajian tiap bulannya. Pada jaman itu, para orang tua mau berhutang kesana-sini demi mencarikan buku paket pegangan terbaik untuk anaknya. Hal tersebut menggambarkan betapa pentingnya anggaran pendidikan pada jaman dulu.

Tapi itu dulu, tidak mungkin kita ingin kembali ke masa-masa banyaknya yang menunggak membayar SPP sekolah. Tetapi harus menjadi refleksi kita bersama dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bersungguh-sungguh sebagaimana yang dinasihatkan ulama besar Imam Syafii.

Variabel-variabel dalam instrumen pendidikan sungguh banyak sekali, dan kebanyakan orang tidak menyadari betapa kompleks dan mahalnya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Beberapa variabel seperti kompensasi guru, buku penunjang berkualitas, alat peraga pendidikan, study tour dan kegiatan ekstrakulikuler adalah contoh variabel-variabel yang memang tidak bisa dihargai murah, jika kita menginginkan pendidikan yang berkualitas dan bersaing dengan negara lain.

Dan yang terjadi di lapangan adalah para guru tidak maksimal dalam mengajar, karena memikirkan biaya hidupnya, kemudian peserta didik hanya belajar buku LKS ala kadarnya yang penting murah, alat peraga pendidikan kebanyakan dibuat semurah mungkin, kalau perlu dari kardus. Lalu jarang sekali melakukan study tour untuk menambah wawasan peserta didik dan banyak peserta didik yang kurang antusias mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang kiranya bisa mengasah bakat minatnya, karena terbatasnya pilihan jenis ekstrakulikuler.

Ini tentunya menjadi PR bagi pemerintah, ternyata anggaran pendidikan yang digelontorkan belum bisa menyentuh sepenuhnya variabel-variabel lain di dalam instrumen pendidikan. Kita sebagai masyarakat juga harus sadar dan turut membantu kesulitan yang dihadapi pemerintah ini. Negara Indonesia adalah rumah yang sangat besar, tidak bisa pemerintah sendirian mengurusi jutaan peserta didik yang tersebar di segala penjuru nusantara.

Berikut kiranya beberapa kontribusi yang bisa masyarakat berikan untuk menutupi biaya pendidikan yang mahal, agar tercipta sistem pendidikan yang bisa dijangkau oleh seluruh elemen bangsa ini.

Gerakan Peduli Fasilitas Sekolah

Kepedulian sekolah tidak juga sepenuhnya menjadi tanggung warga sekolah atau para orang tua wali, tetapi juga bisa menjadi kesadaran mutual oleh masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. Sungguh ironi apabila di lingkungan tersebut, banyak perniagaan yang sangat maju, tetapi beberapa sekolahnya tampak rusak fasilitasnya dan kurang terawat.

Maka dari itu, perlu ada kesadaran masyarakat untuk peka terhadap fasilitas sekolah di lingkungannya, walaupun seandainya diantara mereka tidak memiliki putra-putri yang bersekolah disana. Sebagai contoh, banyak dari kita sangat peduli untuk meningkatkan kualitas fasilitas rumah ibadah, tetapi kenapa tidak kita peduli dengan sekolah-sekolah di sekitar lingkungan kita, yang dirasakan banyak fasilitasnya yang rusak.

Para masyarakat sekitar bisa menggerakkan gotong royong patungan membiayai perbaikan-perbaikan fasilitas sarana dan prasarana di sekolah sekitar lingkungan mereka. Dana bisa saja dihimpun dari dana zakat, kas desa, kas RW atau lainnya yang kiranya secara jumlah perorangan tidaklah terlalu memberatkan.

Tentunya apabila gerakan ini dilaksanakan, tentunya sangat bisa meningkatkan taraf kualitas fasilitas sekolah dan berimbas kepada kenyamanan peserta didik di dalam kegiatan belajar mengajar.

Gerakan Sedekah Beasiswa

Gerakan sedekah selalu identik membantu kaum papa atau gelandangan di jalanan atau renovasi rumah ibadah, tetapi jarang ada gerakan sedekah membantu pembiayaan pendidikan anak bangsa.

 Di jaman mbah Harto, kita pernah digencarkan gerakan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh atau yang cukup populer dengan singkatan GNOTA. Seingat saya di jaman itu, gerakannya cukup masif dan sangat dirasakan, kebetulan ada teman tetangga di kampung yang kurang ekonominya, sempat berhenti sekolah, namun ketika ada GNOTA, dia bisa bersekolah kembali.

Saya rasa gerakan ini bisa digencarkan lagi, tetapi berfokus kepada memberikan beasiswa pendidikan kepada keluarga yang kurang mampu. Memang ada bantuan dari pemerintah lewat beberapa program seperti PIP dan lainnya.

Tetapi tidak ada salahnya, jika di takmir masjid, kepengurusan gereja, ormas-ormas dan komunitas-komunitas masyarakat lainnya yang bergerak di bidang sosial, bisa menggencarkan kegiatan-kegiatan bakti sosialnya di bidang pendidikan dengan memberikan bantuan beasiswa kepada peserta didik yang keluarganya berkategori miskin kurang mampu.

Dengan gerakan ini, stigma bahwa pendidikan sulit untuk dijangkau kualitasnya bisa hilang sendirinya, dimana para peserta didik mempunyai dana yang lebih untuk menambah kualitas edukasi yang bisa didapatkannya.

Gerakan Menyumbang Buku

Buku adalah jendela dunia, sementara peringkat PISA negara Indonesia dalam hal literasi masih sangat rendah, maka dari itu harus ada serius dari kita semua untuk menggerakkan literasi para generasi masa depan.

Dalam hal ini, pemerintah bisa menggerakkan entah itu BUMN atau komunitas-komunitas masyarakat untuk melakukan gerakan sumbang buku ke sekolah-sekolah yang masih minim jumlah buku di perpustakaannya.

Dengan melimpahnya jumlah buku di perpustakaan sekolah, maka akan menambah minat para peserta didik untuk membaca, dikarenakan bertambahnya varian ragam jenis buku yang datang ke sekolah mereka.

Dengan bertambahnya frekuensi minat baca para peserta didik dikarenakan perpustakaan sekolahnya selalu update buku-buku berkualitas, maka tentunya akan menambah kualitas literasi para anak bangsa.

Program Kesejahteraan Guru

Guru adalah ujung tombak pendidikan, saking ‘ujungnya’, sering dikorbankan untuk menekan biaya pendidikan. Sungguh ironi, jika kita biarkan terus menerus keadaan ini, jangan sampai ada oemar bakrie lagi di jaman sekarang.

Sampai sekarang kita belum mengetahui pasti kenapa rerata gaji guru di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, padahal anggaran APBN negara kita termasuk tertinggi di Asia Tenggara. Sungguh ini tanda tanya besar, mengingat peran guru adalah sosok yang paling vital dalam pembangunan pendidikan suatu negara.

Sembari pemerintah mengurai masalah kesejahteraan guru, elemen masyarakat bisa juga membantu kondisi guru kita. Kita tidak bisa menutup mata akan kondisi guru kita, jika kita menganggap profesi guru adalah profesi yang mulia dan diibaratkan pahlawan tanpa jasa, maka muliakanlah mereka dengan tindakan nyata.

Pemerintah mungkin bisa menghimbau berbagai elemen masyarakat untuk memberikan beberapa privilage layanan kepada para guru dalam berbagai kebutuhan, sebagai contoh potongan harga khusus jika guru berbelanja di beberapa swalayan yang menerapkan program bantu guru atau potongan-potongan harga berbagai layanan seperti servis kendaraan, kesehatan, BBM dan lain-lain kepada para guru.

Jika para guru mendapatkan penghargaan dari masyarakat melalui beberapa privilage segala kebutuhan domestik sehari-hari mereka, maka yang diharapkan adalah bertambah fokusnya para guru dalam perform mengajar para peserta didik, karena dirasakan bisa mengurangi beban ekonomi yang dihadapi para guru, sekali lagi ini adalah bentuk penghargaan dan terima kasih kita kepada guru yang berdedikasi mencerdaskan anak bangsa.

Kesimpulannya, kita harus menyadari untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar berkualitas, memang membutuhkan biaya dan upaya yang tidak bisa setengah-setengah. Jika kita adalah masyarakat yang tersadarkan, maka jika ada kurang dari pemerintah di dalam pelayanan pendidikan, kita tidak serta merta menunjuk hidung segala kesalahan kepada pemerintah, tetapi kita juga harus bisa berkontribusi untuk membantu hal konkret yang bisa kita lakukan. Semoga Bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun