Setiap kali pentas tos-tosan pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali, ajang pemilihan presiden yang selalu menjadi sorotan bagi para pemilih. Entah di warung angkringan atau warung kopi, perdebatan sengit antar bapak-bapak jauh lebih sengit dengan acara debat capres.
Padahal jika kita mau berpikir, pemilihan calon presiden boleh dibilang tidak terlalu berpengaruh secara langsung dalam kehidupan kita masing-masing, seumpama jago kita kalah pun, kita masih bisa mencari kerja, masih bisa mencari penghidupan. Dan seumpama jago presiden kita menang pun, apakah lantas kita bisa mengutarakan aspirasi kita kepada pak Presiden terpilih secara langsung.
Yang sering terlupakan adalah, menentukan siapa yang akan kita pilih di jalur legislatif pada saat pemilu dilaksanakan. Penulis pun hingga kini masih belum bisa memastikan siapa sosok yang akan dipilih untuk legislator baik di tingkat DPRD tingkat II, DPRD tingkat I, DPR RI dan DPD. Padahal sosok-sosok legislator yang kita pilih, sangat memungkinkan untuk menjalin hubungan mutualis dengan mereka.
Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, baik lewat sosial media seperti Instagram, Facebook, YouTube dan lain-lain, kita sebagai pemilih atau konstituen bisa secara langsung berkomunikasi dengan para calon legislator yang mempunyai laman sosial media.
Kita jangan sampai memilih para calon legislator seperti kucing dalam karung, dan sebisa mungkin kita mencoblos profil sang calon ketimbang lambang partainya. Sudah saatnya kita memilih bukan sekedar menggugurkan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Mengingat sistem yang digunakan dalam pemilu kita adalah sudah menggunakan sistem proporsional terbuka, yaitu sistem yang bisa memilih langsung para calegnya.
Permasalahan yang muncul pada pemilu-pemilu sebelumnya adalah, kebanyakan masyarakat kurang mengetahui rekam jejak atau apa sebenarnya yang diperjuangkan para caleg, karena mungkin terbatasnya media-media yang dimanfaatkan. Sehingga media konvensional seperti baliho, banner atau spanduk kerap menjadi senjata utama bagi para caleg, yang dirasakan kurang efektif menyampaikan pesan elektoral yang ingin disampaikan.
Maka dengan perkembangan teknologi informasi terkini dengan memanfaatkan laman sosial media yang dikelola aktif si Caleg, kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjalin hubungan mutualis dalam hal kepentingan elektoral.
Kita sebagai konstituen harus lebih aktif mencari tahu mana saja para caleg yang memang sangat aktif dalam mengelola laman sosial medianya. Jika kita sudah menemukan beberapa caleg sekitar wilayah dapil kita yang memiliki catatan sangat aktif di sosial media, barulah kita menyeleksi manakah yang kira-kira yang sesuai idealisme kita.
Penulis meyakini untuk caleg untuk tingkat DPRD tingkat II, bisa dikatakan bisa sangat pro aktif menjalin hubungan dengan konstituennya di sosial media, mengingat ruang lingkupnya yang paling kecil dan paling mengenal masalah-masalah yang muncul di wilayah dapilnya. Bahkan konstituen bisa bertemu secara langsung, karena terkadang caleg DPRD tingkat II bisa saja tetangga, teman atau kerabat kita.
Maka dari itu, sudah saatnya kita sebagai pemilih harus bisa pro aktif untuk menjalin hubungan dengan para caleg yang dirasakan sesuai idealisme kita. Berikut hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai pemilih atau konstituen yang mutualis.
Mengikuti Secara Aktual Perkembangan Sang Legislator
Jika kita sudah memfilter sekian banyak caleg aktif pada sosial media yang sesuai dengan preferensi dasar kita, maka langkah selanjutnya adalah mengikuti segala perkembangannya kiprahnya dalam membangun aspirasi konstituennya.
Secara tidak langsung, sebenarnya para caleg tersebut adalah cerminan diri kita yang terwakilkan oleh hak legislatif si caleg. Dan apabila seandainya si caleg itu benar-benar sudah terpilih, kita sebagai konstituen pun harus juga mengikuti perkembangannya.
Hal ini menjadi penting, karena sebisa mungkin suara kita bukan hanya sekedar hitungan angka semata di mata para legislator, tetapi bisa menyuarakan langsung aspirasi kita kepada mereka baik secara langsung (jika bisa) atau melalui laman sosial media.
Bukan bentuk pengkultusan
Berbeda dengan pilihan calon presiden, teramat jarang kita menemukan para pemilih yang membantu mengkampanyekan para caleg favoritnya. Padahal hal ini teramatlah penting, agar kita berupaya untuk memilih terbaik dari yang terbaik.
Untuk sebagai catatan, sebagai pemilih, kita pun berupaya agar tidak terjebak menjadi konstituen 'fanatik' atau mengkultuskan si caleg.Â
Kita harus berupaya tetap dengan akal yang logis serta sehat dalam mendukung caleg favorit kita. Justru dengan menjalin secara aktif dengan caleg di laman sosial media adalah bentuk dukungan aktif yang bisa mencerminkan si caleg benar-benar serius dalam menggali aspirasi konstituennya lewat dialog di sosial media.
Media Kritik
Jika seandainya caleg pilihan kita, benar-benar terpilih, kita pun terus-menerus mengkritik apa-apa saja yang belum diperjuangkan olehnya dalam periode waktu tertentu. Kritik kita adalah bentuk kontrol secara langsung terhadap kiprah sang caleg dalam memperjuangkan aspirasi yang sudah disepakati dari awal.
Lewat mereka pun, kita bisa mengkiritik kebijakan-kebijakan eksekutif yang dirasakan kurang manfaatnya atau malah menyesengsarakan rakyat. Dikarenakan jalinan emosional yang sudah erat lewat sosial media, kita bisa bebas menyuarakan kritik-kritik terhadap kebijakan kepala daerah di dapil kita yang dirasakan kurang berpihak pada rakyat melalui laman sosial media legislator yang sudah kita pilih.
Lebih baik menyuarakan uneg-uneg permasalahan sosial masyarakat langsung ke laman sosial media para legislator, ketimbang cuap-cuap di status pribadi kita. Paling tidak, kita juga memberi 'kerjaan' untuk para legislator agar bisa menindaklanjuti apa-apa saja yang kita keluhkan di akar rumput.
Memberi Saran dan Solusi
Jika memang hubungan para pemilih dan legislatornya sudah terjalin cukup baik, bukan tidak mungkin, bisa dilanjutkan dengan kopi darat bertemu secara langsung, entah di warung kopi atau sarasehan di masa reses anggota DPR / DPRD.
Dalam hal ini pula, para legislator mulai menyadari bahwa mereka bukan sekedar menjadi petugas partai, tetapi benar-benar berkerjasama dengan para konstituen setia mereka secara berkelanjutan, bukan hanya bertemu di saat kampanye.
Para konstituen bisa secara gamblang memberikan saran-saran atau solusi secara langsung kepada para legislator dalam menyelesaikan masalah-masalah di lingkungannya. Sehingga sang legislator bisa menindaklanjutinya dengan melaporakannya ke tingkat eksekutif seperti ke perangkat pemerintah setempat atau kepala daerah.
Menjadi konstituen atau pemilih yang mutualis sudah seharusnya membudaya di antara kita, agar kita tidak sekedar menunaikan hak dan kewajiban pada saat pemilu saja, tetapi menggunakan hak politik kita secara berkelanjutan dengan membangun hubungan mutualis dengan para legislator yang telah kita percayakan di kursi parlemen. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H