Setiap kali 'wayahe' pemilu datang menghampiri etalase warung kopi atau angkringan para bapak-bapak yang berdebat panas tentang kepatutan siapa yang pantas dipilih, terkadang terselip nama-nama calon legislatif di sekitaran kampung alias para tetangga sendiri.
Ada si caleg A, si caleg B, si caleg C dengan membawa bendera partainya masing-masing, ada yang satu RT, ada yang satu jemaah masjid dan ada pula teman sepermainan tenis meja akhir pekan. Pola segmentasi ini sudah pasti jelas siapa yang memilih mereka.Â
Para caleg cukup menjaga hubungan baik dengan para voternya sudah sangat dikenalnya, tak perlu serangan fajar atau janji muluk-muluk.
Lalu bagaimana para caleg ini harus berkompetisi di luar habitat mereka, apakah mereka mampu bersaing atau menjadi pecundang kehabisan modal? Sebagaimana kita ketahui, para caleg biasanya kedapatan daerah pemilihan (dapil) 3 hingga 4 wilayah. Sebagai contoh untuk caleg DPRD tingkat II, maka dapilnya bisa hingga 3-4 Kecamatan, lalu caleg DPRD tingkat I untuk dapilnya bisa hingga 3-4 Kabupaten atau Kota.
Dengan demikian, para caleg ini juga harus bersaing juga di luar wilayah 'endemik-nya', dan itu tak mudah karena harus melawan dengan caleg wilayah lain di dapil yang sama. Permasalahan yang muncul adalah tiap wilayah di dalam dapil tersebut, yaitu memiliki tingkat kepadatan penduduk yang berbeda dan berimbas pada jumlah pemilihnya yang bisa saja juga berbeda jauh.
Walhasil, strategi yang dilakukan oleh para caleg pun menjadi serampangan dan berbiaya cukup besar. Karena terdesak waktu yang mepet, mereka pun 'jor-joran' membuat spanduk, baliho, banner hingga kaos sebanyak-banyaknya dan disebar ke seluruh wilayah Dapil.
Itu pun belum cukup, mereka kadang pun mengadakan konser-konser 'merakyat' seperti konser dangdut dengan artis-artis lokal dan luar kota yang berbiaya tidak sedikit, dengan maksud untuk meraih hati para voter yang sedang ter-koplo-koplo oleh konser tersebut.
Tapi para caleg itu lupa, walau saya sendiri penikmat dangdut, bukan berarti hati ini tergerak untuk memilih mereka. Coba tanya saja pemuda-pemuda kampung tanggung yang nonton konser dangdut tersebut, untuk menyebutkan nama-nama caleg yang berorasi pada saat konser berlangsung, saya yakin mereka tidak mampu menyebutkannya, wong mereka nonton sambil nenteng botol miras di tangannya.
Maka dari itu, sebelum para caleg bertarung dalam kampanye, mereka harus memahami dulu sistem penghitungan Sainte Lague dalam kontestasi pemilu. Apa itu Sainte Lague ?.
Mengutip dari Wikipedia, metode Sainte Lague atau juga disebut metode Webster adalah metode nilai rata-rata tertinggi yang digunakan untuk menentukan jumlah kursi yang telah dimenangkan dalam suatu pemilihan umum di suatu negara
Pada pemilihan umum di negara Indonesia, sistem perhitungan Sainte Lague pertama kali diterapkan pada Pemilu 2019 dengan tetap menerapkan sistem proporsional terbuka
Di negara-negara Eropa, istilah metode ini dinamai dari matematikawan terkenal Prancis, Andr Sainte-Lagu, sementara di negara Amerika Serikat istilah metode ini berasal dari nama negarawan dan senator kondang, Daniel Webster.
Metode penghitungan Sainte Lague bisa diartikan secara harfiah yaitu metode konversi perolehan suara partai politik ke kursi parlemen, atau metode untuk menentukan perolehan kursi partai politik di DPR atau DPRD. Metode ini berdasarkan perolehan suara terbanyak partai politik dari hasil pembagian diurutkan sesuai dengan jumlah ketersediaan kursi di setiap dapil.
Sementara dasar hukumnya adalah UU nomor 7 tahun 2017 pasal 415 ayat 2. "Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya".
Dengan metode penghitungan Sainte Lague tersebut, maka seorang Caleg harus memahami betul kantung-kantung suara di wilayah dapilnya yang bisa dimaksimalkan suaranya. Dalam artian, mereka tidak bisa lagi 'ngasal' berkampanye secara massif di wilayah dapilnya.
Dikarenakan mereka pun harus bersaing dengan caleg lainnya yang masih dalam satu partai yang sama. Metode ini intinya menghitung dulu suara partainya kemudian dibagi dengan pembagi angka ganjil untuk tentukan berapa kursi yang tersedia untuk masing-masing partai, kemudian baru ditentukan siapa suara terbanyak caleg pada partai masing-masing untuk mengisi kuota kursi yang didapatkan.
Berikut beberapa hal yang harus menjadi pedoman bagi para Caleg setelah memahami metode penghitungan Sainte Lague untuk memenangkan kontestasi Pemilu kali ini.
Fokus Branding Image
Pada intinya, masyarakat harus tahu seluas-luasnya siapakah jati diri si caleg ini, rumahnya mana, pendidikannya dimana, sudah pernah berkiprah dimana saja. Jangan asal pasang banner, baliho dimana-mana hanya bermodal foto dengan filter palsu lengkap juga dengan janji-janji palsu.
Layaknya suatu proses lamaran kerja, masyarakat juga harus mengetahui Curriculum Vitae (CV) si caleg bukan sekedar 'pas foto' saja yang terpampang di sepanjang jalan.
Membangun citra diri adalah fokus utama seorang caleg, dan dalam proses ini, sebenarnya sudah harus dibangun jauh sebelum mencalonkan diri menjadi legislator. Dalam artian, memang sudah sedari awal berjuang secara idealis dengan inisiatif sendiri berkontribusi kepada masyarakat sekitar.
Sebagai contoh, jika dia sedari muda dia aktif dalam kegiatan karang taruna ataupun aktivis lingkungan hidup, maka akan sangat mudah kiranya mendapat simpati dari masyarakat sekitar. Atau mungkin seorang pengusaha yang memang punya kebiasaan filantropi membantu perbaikan jalan atau fasilitas umum, maka hal kebaikan tersebut pasti akan terekam dengan baik di mata masyarakat.
Namun apabila, si caleg tiba-tiba 'dadakan' mau 'nyaleg', tetapi track record sebelum tidak pernah melakukan kontribusi nyata bagi masyarakat. Maka akan teramat sulit untuk membangun image, karena banyak pemilih yang tak begitu mengenal si caleg ini. Branding Image tidak bisa dibangun semalam, maka dari itu janganlah pernah mencoba nyaleg, jika sebelumnya tak pernah berkontribusi idealis dan nyata kepada masyarakat.
Jika sudah demikian, kebanyakan para caleg 'dadakan' bermain kotor dengan money politik. Strategi serangan fajar, black campaign biasanya menjadi solusi kotor bagi para caleg instan ini, kita berharap ini tidak terjadi pemilu kali ini.
Mengetahui Siapa Voter-nya
Layaknya kita sedang berpidato, we have to know the audience. Kita harus tahu segmentasi pemilih kita, dengan terlebih dahulu mengetahui arah branding si caleg tersebut.Â
Si caleg harus mengetahui siapakah dirinya dan bisa memperikirakan siapa voter yang berpeluang besar bisa memilihnya.
Maka dari itu, si caleg akan bisa memilih fokus kampanye pada wilayah-wilayah di Dapil-nya yang kiranya memiliki peluang kantung-kantung suara baginya.Â
Sebagai contoh, jika branding image-nya adalah seorang aktivis muda bidang lingkungan hidup, maka dia akan mapping wilayah-wilayah mana yang cukup banyak kaum mudanya, sehingga ketika berkampanye, maka yang dihadapinya kebanyakan adalah audience yang 'sejiwa' dengannya.
Para voter  'sejiwa' yang sudah sepaham dengan visi misi calegnya, biasanya akan militan secara mandiri untuk mem-promosikan 'jago' calegnya ke khalayak yang lebih luas.Â
Jika seorang caleg dalam berkampanye tidak memperhatikan hal ini alias hanya random campaign, maka yang terjadi adalah pengeluaran biaya kampanye yang tidak sedikit dan tidak efektif.
Berikan Solusi, Bukan Janji
Kita tidak menampik, menebar janji-janji yang muluk bisa membuai para voter, namun seiring berjalannya waktu para pemilih lama kelamaan menjadi lebih cerdas dan selektif. Para caleg harus mampu mempresentasikan masalah-masalah yang timbul di sekitarnya, dan juga mampu memberi solusi cerdas untuk menyelesaikannya.
Lalu apakah perbedaan 'janji kampanye' dengan 'memberikan solusi'. Perbedaannya adalah dalam janji terkadang tidak memuat penyelesaian masalah yang konstruktif, hanya sekedar jargon-jargon pemanis dalam orasi. Sementara memberikan solusi adalah memuat hal-hal konkret dan konstruktif di dalam menjawab masalah-masalah yang muncul di masyarakat.
Sebagai contoh jika masalah yang muncul ada jalan kampung yang kerap rusak di musim hujan, maka yang harus diberikan pemahaman oleh calegnya adalah memberikan solusi bagaimana jalan kampung tersebut harus diperbaiki terlebih dahulu saluran drainasenya, sebelum memulai proyek perbaikan jalan. Sementara 'janji', yang diberikan hanyalah janji bahwa di jalan kampung akan mulus, tanpa memaparkan bagaimana solusi jalan yang kerap rusak di musim hujan.
Kampanye tidak Harus Mahal, Tapi Efektif
Sebagaimana yang diterangkan di atas, jika para caleg memahami betul konsep metode penghitungan Sainte Lague, maka para caleg memang harus fokus di kantung-kantung suara yang bisa dia masuki.
Sebagai contoh, bisa saja partai yang menaunginya memenangkan suara mayoritas pada dapilnya, namun bukan berarti si caleg serta merta bisa mendapatkan kursi. Karena dalam metode penghitungan Sainte Lague, suara yang diperoleh oleh partai lain juga bisa dihitung untuk mendapat kursi, dengan urutan pembagi angka ganjil.
Dalam artian, partainya boleh kondang dan mayoritas, bukan partai kecil gurem, tapi bukan menjadi jaminan si caleg yang bernaung di bawahnya bisa otomatis mendapatkan kursi. Maka dari itu, tingkat persaingan antar caleg dalam satu partai juga bisa berlangsung sengit.
Dalam hal ini, agar bisa menghemat tenaga dan biaya dalam berkampanye, para caleg harus bisa memetakan wilayah-wilayah mana saja yang bisa dia 'intervensi' suaranya, sehingga para pemilih benar-benar fokus memilih kepadanya, bukan ke suara partai atau caleg lainnya.
Wilayah dapil yang cukup luas, tentunya tidak bisa sepenuhnya dijangkau oleh caleg mengkampanyekan dirinya. Butuh biaya yang cukup besar untuk menyebar banner atau baliho ke seluruh wilayah dapil, sehingga yang muncul adalah sampah pemandangan di sepanjang jalan, karena hampir semua caleg melakukan hal yang sama.
Para caleg harus aktif mendatangi ke wilayah-wilayah kecil di dalam dapilnya dan membangun silaturahmi dengan komunitas di wilayah itu.Â
Acara-acara seperti sarasehan sederhana atau urun rembug antar warga, dirasakan jauh lebih efektif ketimbang menggelar konser-konser dangdut massal yang dihiasi orasi-orasi janji muluk-muluk.
Sudah saatnya kita menuju pemilu yang bermartabat dan elegan, bukan lagi pemilu yang kampungan dan serampangan. Sudah saatnya para caleg mendidik para pemilih untuk memilih berdasarkan kemampuan para caleg dalam memberikan solusi permasalahan yang timbul. Mari kita menjadi pemilih yang cerdas. Semoga Bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H