Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Ramah Anak, Tapi Tidak Ramah Guru

22 November 2023   05:03 Diperbarui: 22 November 2023   05:46 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Praktek KBM di Musholla:Dokpri

Pada hari yang panas itu, saya dan para murid menyempatkan berteduh di bawah papan nama "Sekolah Ramah Anak" yang ada di sekolah kami setelah lelah berolahraga. Salah satu murid pun bertanya, apa arti dari Sekolah Ramah Anak.

Mereka bukan sekedar menanyakan arti label 'Sekolah Ramah Anak', tetapi mereka mencurahkan hati kepada saya, bahwa di sekolah mereka masih baik-baik saja dan merasa aman di sekolah, jadi merasa bingung 'keramahan' seperti apa yang dimaksud pada label tersebut.

Di sekolah kami, memang sangat menerapkan prinsip sekolah inklusif sangat ketat, jadi komponen sekolah ramah seperti proses belajar yang friendly, memperhatikan hak-hak peserta didik, sarana dan prasarana ramah anak dan partisipasi penuh baik dari peserta didik dan orang tua wali, sudah berhasil kami terapkan dari sejak awal sekolah berdiri.

Hingga suatu hari dalam suasana 'keramahan anak' yang renyah antara guru dan muridnya, beberapa murid nyletuk mengejutkan  saya, "Pak Guru traktir makan kita semua ya pak.. hari ini kan Pak Guru lagi gajian"

"Waduh, kalau gaji bapak lebih besar dari orang tua kalian, pasti bapak traktir kalian di restoran, tapi berhubung tidak terlalu besar, cilok saja ya..", jawab saya merendah.

Kebanyakan para murid masih beranggapan gaji guru itu besar dan cukup sejahtera. Hal ini ironi  dengan suasana sekolah yang 'Ramah Anak' tetapi 'Tidak Ramah Guru'. Situasi 'Ketidakramahan' terhadap guru tidak hanya mengacu hanya semata-mata pada gaji saja, tetapi masih banyak lagi yang akan penulis terangkan dalam artikel ini.

Artikel ini tidak bermaksud menyerang sekolah dimana penulis bernaung, secara umum saya bahagia mengajar di sekolah saya tercinta. Tetapi saya berbicara permasalahan 'ketidakramahan' yang menghinggapi guru secara nasional di dalam berupaya 'ramah anak'.

Tulisan ini merupakan ironi para guru Indonesia yang berusaha mewujudkan 'Sekolah Ramah Anak', namun kontras dengan 'ketidakramahan' yang dialami para guru di dalam menjalankan misi-misi ramah anak tersebut.

Berikut beberapa hal yang membuat situasi sekolah yang 'Tidak Ramah Guru' secara umum sehingga menghambat para guru untuk mewujudkan 'Sekolah Ramah Anak'.

Guru Tidak Dihormati Oleh Murid dan Orangtua Wali

Banyak kasus penganiayaan terhadap guru akhir-akhir ini cukup meresahkan banyak pihak. Kasus di Sampang dimana guru dianiaya muridnya hingga tewas, hanya karena diingatkan agar tertib dalam pembelajaran. Lalu kasus di Lombok dimana orangtua wali yang melaporkan guru anaknya ke berwajib dan dituntut puluhan juta, hanya karena sang anak diingatkan shalat oleh gurunya.

Entah mengapa kasus-kasus demikian kerap terjadi akhir-akhir ini. Seolah di jaman sekarang, marwah guru sudah tidak ada lagi, sudah tidak lagi disegani oleh murid dan orang tua wali. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, mengapa sudah terjadi pergeseran nilai dalam penghormatan terhadap guru.

Guru bukanlah end user, karena jika demikian guru akan selalu dan selalu menjadi tempat sampah dan sumpah serapah jika ada yang salah dalam suatu sistem pembelajaran. Guru seolah seperti  wasit dalam pertandingan sepakbola, jika pertandingan tersebut berjalan lancar-lancar saja, tidak ada yang memuji kinerja wasit, namun jika sebaliknya jika dirasa ada keputusan yang salah, maka wasit akan dijadikan bulan-bulanan kambing hitam.

Adalah tugas Kemendiknas yang harus wajib hadir selalu melindungi para guru jika ada kasus ketidakadilan yang menimpanya. Jangan sampai menunggu barisan para guru yang berdemonstrasi berteriak rekannya yang terkena kasus ketidakadilan.

Beban Jam Mengajar dan Tugas Tambahan

Dengan aturan jam mengajar dari Kurikulum Merdeka yaitu paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu, membuat beban jam mengajar Guru menjadi cukup berat dan menguras tenaga dan pikiran. Memang dalam menjalani pekerjaan, kita tidak boleh mengeluh, tetapi jika dengan tuntutan beban yang bertambah berat, tentunya akan berpengaruh pada tugas pokok guru yaitu mengajar dengan perform terbaik.

Untuk memenuhi kinerja tatap muka 24 jam plus beban tugas tambahan lainnya, memang dirasakan cukup membuat guru benar-benar sangat sibuk. Beban kerja yang sifatnya klerikal menjadi cukup dominan dalam kurikulum Merdeka, seabrek laporan-laporan dan kegiatan-kegiatan di luar pengajaran yang juga cukup banyak.

Gaji Oemar Bakrie

Kita tidak lagi hidup di jamannya pak Oemar Bakrie, yang gajinya dikebiri. Para Guru sebenarnya ikhlas-ikhlas saja dengan gaji yang diterima, karena profesi guru memang berbeda dengan profesi lainnya.

Karena ketika seseorang berniat melamar menjadi guru, yang dilihat bukan gajinya, tetapi memang berniat ingin mengabdi untuk mengajar kepada murid-muridnya. Berbeda orang yang melamar menjadi manajer, sudah jelas yang diincar adalah kompensasi gaji yang menggiurkan.

Tetapi bukan berarti kita menyepelekan kompensasi yang harus diterima guru. Di Malaysia, seorang guru menerima rata-rata gaji 137 juta per tahun, di Brazil gaji gurunya 209 juta per tahun, sementara Indonesia membayar gaji rata-rata gurunya 40 juta per tahun. Dua negara tersebut saya jadikan pembanding karena sama-sama negara berkembang.

Dan yang di luar 'Nurul', masih banyak saudara-saudara guru honorer yang 'hanya' digaji Rp 300.000,- per bulan. Benar-benar di luar kemanusiaan, bagaimana bisa para guru-guru tersebut bisa bertahan hidup dengan pendapatan sangat-sangat kecil.

Secara umum gaji guru di Indonesia secara rata-rata, masing sangat tipis-tipis dengan UMR di daerahnya. Bahkan masih banyak yang di bawah UMR, sungguh suatu kondisi yang sama sekali tidak 'ramah' bagi kelangsungan hidup sang guru.

Kurangnya Privilage Layanan Umum

Derita guru tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga dalam keseharian mereka. Dimana kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan akses privilige dalam berbagai aspek kepada guru, notabene guru katanya 'pahlawan tanpa tanda jasa'.

Sebagai contoh ketika Pemerintah memberikan subsidi Rp 600.000 per bulan untuk pekerja yang bergaji di bawah Rp 5 juta, ternyata banyak belum menyasar guru honorer.

Bagaimana tidak, untuk mendapatkan syarat tersebut, harus terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK). Sementara, mayoritas para guru honorer cuma punya BPJS Kesehatan.

Hal ini disebabkan, banyak sekolah yang tak mendaftarkan para gurunya sebagai peserta BPJSTK. Gaji guru Honorer saja sudah habis untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. Sungguh situasi yang membuat para guru kurang nyaman di dalam menjalankan profesinya.

Dan masih banyak layanan publiknya yang kiranya belum memberikan akses khusus yang me-raja-kan para guru.

Di Hari Guru tahun ini, semoga ada perbaikan yang benar-benar serius dalam memperhatikan kesejahteraan Guru. Para Guru tak menuntut banyak, bagi mereka jika disapa 'ramah' para mantan muridnya yang telah dewasa, sudah merupakan bayaran terbesar tak ternilai harganya. Karena Mengajar itu datangnya dari Hati, bukan Gaji. Selamat Hari Guru. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun