Entah mengapa kasus-kasus demikian kerap terjadi akhir-akhir ini. Seolah di jaman sekarang, marwah guru sudah tidak ada lagi, sudah tidak lagi disegani oleh murid dan orang tua wali. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, mengapa sudah terjadi pergeseran nilai dalam penghormatan terhadap guru.
Guru bukanlah end user, karena jika demikian guru akan selalu dan selalu menjadi tempat sampah dan sumpah serapah jika ada yang salah dalam suatu sistem pembelajaran. Guru seolah seperti  wasit dalam pertandingan sepakbola, jika pertandingan tersebut berjalan lancar-lancar saja, tidak ada yang memuji kinerja wasit, namun jika sebaliknya jika dirasa ada keputusan yang salah, maka wasit akan dijadikan bulan-bulanan kambing hitam.
Adalah tugas Kemendiknas yang harus wajib hadir selalu melindungi para guru jika ada kasus ketidakadilan yang menimpanya. Jangan sampai menunggu barisan para guru yang berdemonstrasi berteriak rekannya yang terkena kasus ketidakadilan.
Beban Jam Mengajar dan Tugas Tambahan
Dengan aturan jam mengajar dari Kurikulum Merdeka yaitu paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu, membuat beban jam mengajar Guru menjadi cukup berat dan menguras tenaga dan pikiran. Memang dalam menjalani pekerjaan, kita tidak boleh mengeluh, tetapi jika dengan tuntutan beban yang bertambah berat, tentunya akan berpengaruh pada tugas pokok guru yaitu mengajar dengan perform terbaik.
Untuk memenuhi kinerja tatap muka 24 jam plus beban tugas tambahan lainnya, memang dirasakan cukup membuat guru benar-benar sangat sibuk. Beban kerja yang sifatnya klerikal menjadi cukup dominan dalam kurikulum Merdeka, seabrek laporan-laporan dan kegiatan-kegiatan di luar pengajaran yang juga cukup banyak.
Gaji Oemar Bakrie
Kita tidak lagi hidup di jamannya pak Oemar Bakrie, yang gajinya dikebiri. Para Guru sebenarnya ikhlas-ikhlas saja dengan gaji yang diterima, karena profesi guru memang berbeda dengan profesi lainnya.
Karena ketika seseorang berniat melamar menjadi guru, yang dilihat bukan gajinya, tetapi memang berniat ingin mengabdi untuk mengajar kepada murid-muridnya. Berbeda orang yang melamar menjadi manajer, sudah jelas yang diincar adalah kompensasi gaji yang menggiurkan.
Tetapi bukan berarti kita menyepelekan kompensasi yang harus diterima guru. Di Malaysia, seorang guru menerima rata-rata gaji 137 juta per tahun, di Brazil gaji gurunya 209 juta per tahun, sementara Indonesia membayar gaji rata-rata gurunya 40 juta per tahun. Dua negara tersebut saya jadikan pembanding karena sama-sama negara berkembang.
Dan yang di luar 'Nurul', masih banyak saudara-saudara guru honorer yang 'hanya' digaji Rp 300.000,- per bulan. Benar-benar di luar kemanusiaan, bagaimana bisa para guru-guru tersebut bisa bertahan hidup dengan pendapatan sangat-sangat kecil.
Secara umum gaji guru di Indonesia secara rata-rata, masing sangat tipis-tipis dengan UMR di daerahnya. Bahkan masih banyak yang di bawah UMR, sungguh suatu kondisi yang sama sekali tidak 'ramah' bagi kelangsungan hidup sang guru.
Kurangnya Privilage Layanan Umum
Derita guru tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga dalam keseharian mereka. Dimana kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan akses privilige dalam berbagai aspek kepada guru, notabene guru katanya 'pahlawan tanpa tanda jasa'.