Malam jahanam itu selalu bergentayangan di telinga Sundari. Terngiang betul suara keributan orang sekampung yang melempar rumahnya dan mencaci maki seisi rumah. Sundari yang baru berusia 7 tahun tidak paham apa sebenarnya yang terjadi.
“Keluar kau monyet!! Dasar PKI laknat!!”
Suara warga entah dari kampung mana datang menyerbu rumahnya, puluhan nyala obor dari luar rumah dengan jelas dapat terlihat dari rumah bambu itu. Raut wajah ibu dan ayahnya memberikan suatu kontak batin pada dirinya. Walau sebenarnya Sundari sangat bahagia melihat nyala obor dalam malam takbir. Namun hatinya mengatakan, ini bukan malam kebahagian, melainkan malam laknat yang akan membunuh seisi rumah. Ketakutan hatinya diekspresikan dengan tangis yang tertelan suara teriakan dari luar rumah.
Dalam kedipan mata mungilnya, pintu rumah berhasil didobrak warga. Ia semakin meremas kuat kain gendongan ibunya. Tepat di sampingnya, dua orang kakak laki-lakinya juga berpelukan ketakutan. Sementara Sang Ayah di ruang tamu berjarak 5 meter dari persembunyian mereka, bersiap mempertahankan hidup keluarga.
“Ini dia PKI laknat!! Bunuh dia!!”
“Allahuakbar!! Allahuakbar!!”
Suara warga menghabisi ayahnya. Ia tidak dapat melihat napas terakhir ayahnya, karena menangis ketakutan dalam gendongan ibu. Sementara ibunya meringis antara sedih dan takut melihat suami tercinta di bantai di depan matanya.
Sehabis menyelupkan pedang dalam tubuh pria yang dituduh PKI, mata warga kemudian melihat ke arah persembunyian keempat isi rumah lainnya.
“Itu dia setan Gerwani!! Bunuh!! Bunuh!!” Teriak warga dengan emosi.
Itu adalah ingatan terakhir Sundari, selebihnya telah lupa apa yang terjadi. Ia hanya mengingat seorang wanita berusia 60an tahun berlari memasuki rumah mengangkat dan menggendongnya dari tumpukan mayat ibu dan kakak-kakaknya.
Sundari dibesarkan oleh wanita tua yang menolongnya, belakangan dikenal dengan nama Rukyati. Rukyati begitu sangat menyayangnya layaknya anak kandung. Sundari baru mengerti peristiwa itu ketika umurnya beranjak 16 tahun, itupun dari mulut ke mulut tetangga. Peristiwa itu tidak ingin diceritakan Rukyati agar luka lama gadis manis ini tidak terbuka kembali.
Entah mengapa keluarganya menjadi korban pembantaian, padahal berniat sedikit pun untuk memberontak tidak sama sekali. Keluarga kecilnya hanya terdoktrin sistem ekonomi yang dinilai ideal diterapkan, bahkan mengetahui akan terjadi pemberontakan pun tidak. Hanya niat segelintir tokoh PKI untuk memberontak, membuat ribuan nyawa melayang percuma.
Nasip kaum genjer seperti Sundari memang mengenaskan, malam biadab itu selalu terngiang di kepalanya. Kini transisi Reformasi membuatnya tumbuh menjadi gadis ayu nan perkasa. Semenjak kepergian Rukyati ibu angkatnya, Ia meniti hidup seorang diri, melanjutkan usaha kecil mending ibu angkatnya, yaitu jamu gendong.
Jamu gendong Suntari memiliki racikan khusus, walau berbahan empedu yang pahitnya tiada tara, namun sentuhan tetesan madu menyempurnakan antara pahit dan manis. Persis dengan masa kelamnya yang coba Ia damaikan dalam hati.
Beras kencur menjadi idola warga desa, karena manisnya sama persis dengan manis Sundari yang menuangkan jamu dalam gelas dengan seikat senyuman. Meskipun terkadang senyuman khasnya berangsur-angsur memudar, karena kebenaran malam jahanan hingga kini terkubur pada selangkangan Orde Baru.
Namun usaha kerasnya melawan dendam masa lalu semakin menguatkan tekatnya. Ia tidak ingin seperti para cecunguk yang tidak mau berdamai dengan masalalu. Racikan jamu pahit dan manis bercampur dalam adukan indah tangan mungilnya. Hingga hasilkan ramuan yang berkhasiat. Buat apa sesali waktu yang sudah merupakan janji Tuhan. Kini Sundari mengajarkan banyak orang untuk berdiri dari gelap, untuk bangun dari mimpi. Meskipun terkadang Ia tahu, bahwa masih banyak pihak memanfaatkan masa kelam itu untuk kepentingan pribadinya.
Kecantikan Sundari, Sang Anak Malam Jahanam memang tiada tara. Eksotis dan menawan, seperti foto di atas. Konsekuensi dari kecantikannya tentu akan menarik hati banyak orang. Ada yang ingin mempersuntingnya, bahkan ada juga yang ingin memperkosanya. Seperti fenomena bangsa kita saat ini. Kembali mempropagandakan suatu kebangkitan ideologi haram yang tidak lain untuk produk dagangan. Tanpa sadar mereka sedang memperkosa bangkai. Berpenetrasi dalam lubang bangkai. Dan menjilat selaput lendir bangkai yang mereka bunuh sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H