[caption caption="Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo ketika menghadiri rapat koordinasi regional II perumahan dan kawasan permukiman tahun 2013 di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2013)."][/caption]Setelah menggelar rapat konsultasi dengan Pimpinan DPR (22/2), Presiden Jokowi menyatakan bahwa revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditunda. Terhitung sudah dua kali draf revisi UU KPK inisiatif DPR RI era Jokowi ditunda, sebenarnya masyarakat tidak bisa bernapas lega tentang revisi ini, karena suatu waktu akan menjadi bom waktu bagi lembaga antirasuah tersebut.
Permasalahan akan muncul lagi ketika suatu waktu revisi ini dihidupkan kembali, ketika terjadi isu baru di Indonesia dan momen tersebut dimanfaatkan secara kilat membahas revisi UU KPK. Namun saharusnya Jokowi berpikir bahwa dengan terlalu lama membiarkan penundaan revisi UU KPK maka elektabilitasnya di mata masyarakat menurun, karena KPK merupakan lembaga yang saat ini begitu sangat mendapat tempat di hati masyarakat, berpikir bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus dilawan, maka ketika ada pihak yang mengusik KPK, sekalipun itu adalah Presiden (inisiatif pemerintah) akan tetap ada penolakan keras.
Apalagi melihat Nawacita Jokowi yang keempat yang berbunyi ‘menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya’ hal itu diperjelas lagi dalam penjelasan nawacita tersebut, yang substansinya adalah memperkuat KPK, ditambah lagi dengan wawancara ekslusif Jokowi yang menegaskan memperkuat KPK dengan menambah anggaran maupun menambah jumlah personil penyidiknya, tonton disini ‘Video: Jokowi Komitmen Perkuat KPK.’
Ditambah lagi pada tahun 2012 sejak mencuatnya rencana revisi UU KPK era SBY, hanya fraksi PDI Perjuangan satu-satunya yang menolak revisi UU KPK (PDIP tolak revisi UU KPK), ini semua akan menjadi senjata bagi lawan politik Jokowi dalam merusak elektabilitas Jokowi di mata publik, sehingga jika betul-betul komitmen dengan janji, seharusnya Jokowi menolak revisi UU KPK, bukan penundaan yang nantinya akan menjadi bom waktu tidak hanya bagi KPK tetapi juga bagi Jokowi.
Mengapa Harus Revisi UU KPK?
Di tengah elektabilitas KPK yang sangat baik di mata masyarakat, muncul rencana revisi, banyak politisi mempertanyakan kapan KPK akan berakhir (baca: dibubarkan), bukankah KPK adalah lembaga adhock?. Namun harus diketahui bahwa KPK lahir dari rahim reformasi sebagai pemicu atau trigger mechanism atas lembaga Kepolisian maupun Kejaksaan yang dinilai mandul dalam pemberantasan korupsi, sehingga hadirlah KPK yang sangat luar biasa kredibilitasnya dalam pemberantasan korupsi, bagaimana cara mengukurnya? cukup saja kita membandingkan berapa jumlah uang negara yang diselamatkan KPK sejak berdirinya KPK tahun 2003 hingga sekarang, dan bandingkan berapa jumlah uang negara yang diselamatkan Kejaksaan sejak berdirinya pada 19 agustus 1945 hingga sekarang.
Dikutip dari Kompas.com, menurut pengamatan Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corupption Watch (ICW), Emerson Yuntho bahwa pada 2004-2009 Kejagung mengembalikan uang negara sebanyak Rp. 4,7 triliun, sedangkan KPK sebanyak Rp. 4 triliun, namun justru jumlah kasus korupsi yang ditangani Kejagung lebih banyak dari KPK.
Pada 2010-2013 Kejagung mengembalikan uang negara hingga Rp. 1,2 triliun, sedangkan KPK hanya pada tahun 2013 saja dapat mengembalikan uang negara sebesar Rp. 1,1 triliun. Pada 2014 Kejagung dengan menangani 472 kasus korupsi mengembalikan uang negara sebesar Rp. 1,7 triliun, sementara KPK hanya 34 kasus korupsi namun mampu mengembalikan uang negara sebesar Rp. 2,9 triliun. Silahkan baca disini: Mencari “Roh” Pemberantasan Korupsi, ini yang menjadi alasan mengapa KPK begitu sangat dicintai masyarakat Indonesia.
Banyak politisi mengatakan, kenapa tidak Kejaksaan yang diperkuat, namun lagi-lagi mereka lupa, bukankah justru banyak orang-orang kejaksaan yang ditangkap KPK gara-gara kasus korupsi, jika Kejaksaan diperkuat dengan mental yang belum siap maka kehancuran yang akan didapatkan masyarakat, ditambah lagi Kejaksaan memiliki kewenangan seperti KPK maka fatal jadinya. Bagaimana dapat diperkuat ketika mental masih saja lemah menghadapi koruptor, itu sama saja menitipkan ikan goreng pada kucing.
KPK Harus Prioritaskan Pencegahan?
Lagi-lagi konsep aneh dikeluarkan orang-orang yang ingin mempreteli kewenangan KPK, menurut mereka KPK harusnya prioritaskan pencegahan daripada penindakan, hal itu sungguh aneh, dari namanya saja Komisi Pemberantasan Korupsi, kok orientasinya pada pencegahan, hal itu sama saja KPK merebuti posisi ibu rumah tangga, karena justru keluarga-lah yang harusnya memiliki prioritas mengajarkan anak-anaknya untuk tidak korupsi, budaya tidak koruptif harus diberikan dari lingkungan keluarga, kalau KPK dipaksa prioritaskan pencegahan, sama saja ada ketidakpercayaan dengan ibu rumah tangga terkait pendidikan moral yang diberikan pada anaknya.
Satu hal lagi yang harus diketahui bersama, bahwa KPK sebenarnya juga orientasi kerjanya pada pencegahan, namun tidak menjadi prioritas utama, saya pribadi pernah mengikuti Sekolah Anti Korupsi yang diselenggarakan oleh pegiat anti korupsi, dan itu dihadiri langsung oleh divisi pencegahan dari KPK, yang membuktikan bahwa KPK bersungguh-sungguh juga dalam melakukan pencegahan korupsi.
Pada kampus juga KPK sering sekali turun untuk memberikan kuliah umum terkait pencegahan korupsi, dan juga yang sangat penting, KPK telah bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dalam mencegah korupsi, di beberapa PTN di Indonesia telah terbentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang fungsinya mencegah tindakan koruptif di lingkungan perguruan tinggi, itu merupakan kerjasama Dikti dan KPK dalam pencegahan korupsi, jadi salah besar ketika dikatakan KPK mengabaikan pencegahan.
Indonesia Mengalami Degradasi Moral, KPK harus Selamatkan itu
Tahukan anda bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi moral? coba kita lihat bersama, beberapa bulan yang lalu salah seorang sekjen partai ditetapkan tersangka oleh KPK, begitu menyadari dirinya berstatus tersangka, sekjen partai tersebut langsung mundur dari posisinya sebagai sekjen partai, di saat itulah media gencar-gencarnya memberitakan apresiasi untuknya karena bersedia mundur ketika berstatus tersangka. Ironis sekali apresiasi diberikan kepada koruptor, saya geleng-geleng kepala mendengar berita tersebut, justru hal yang sudah wajar untuk mundur dari jabatan ketika tersandung kasus korupsi namun dijadikan apresiasi, tidakkah berpikir berapa rakyat Indonesia yang telah dirugikan dari korupsi yang dilakukan olehnya, pantaskah memberikan apresiasi bagaikan pahlawan? sungguh sangat miris, hal yang sudah seharusnya dijadikan seolah-oleh mengagumkan.
Itu merupakan degradasi moral bangsa ini, memberikan apresiasi pada penjahat, sedangkan pegiat anti korupsi jarang sekali muncul di pemberitaan. Era kontemporer ini mendengar berita koruptor yang ditangkap seperti mendengar berita artis cerai, biasa-biasa saja terdengar, hal itu disebakan begitu banyak koruptor yang ditangkap, sehingga menyaksikan koruptor yang ditangkap sudah seperti menyaksikan pelanggaran lalulintas, patutnya kita mencurigai pihak-pihak yang menyetujui revisi UU KPK, ada apa sebenarnya dengan mereka, sedangkan anggota DPR yang mendukung revisi UU KPK di tengah penolakan yang masif dari rakyat Indonesia, perlu dipertanyakan mereka mewakili rakyat atau mewakili partainya.
Efek Jera Koruptor yang Terjerat
Penangkapan koruptor tidak seperti teori produksi, dimana semakin banyaknya produksi maka membuktikan perusahaan tersebut semakin maju, lain halnya ketika penangkapan koruptor, di satu sisi peningkatan koruptor yang ditangkap membuktikan penegak hukum responsif dalam memberantas korupsi, namun di lain sisi juga membuktikan bahwa penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan) masih lemah dalam hal pemberian efek jera sehingga banyak koruptor yang masih berkembang.
Kejaksaan misalnya, cendrung dalam menuntut koruptor relatifnya berkisar dengan hukuman ringan, 0,1 hingga 4 tahun penjara, hal inilah yang membuat koruptor semakin menjamur dan lebih senang jika dituntut oleh jaksa dibanding oleh KPK, dengan hanya dituntut ringan maka tidak menghabiskan hasil korupsi, alias sekeluarnya dari jeruji maka dapat menikmati hasil korupsinya.
Pasal-pasal ringan sering digunakan jaksa dalam menuntut koruptor, seperti misalnya pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, minimal khusus yang digunakan hanya mencapai minimal 1 tahun penjara, sehingga koruptor dapat bernapas lega dengan tuntutan tersebut, belum lagi masalah sering bebasnya koruptor keluar masuk lapas, maka sama sekali tidak ada efek jera.
Penguatan KPK Maka ini yang Harus Dilakukan
Banyak pihak mengatakan revisi UU KPK adalah upaya memperkuat KPK, tentu ini merupakan pembohongan publik terbodoh sepanjang sejarah, karena jelas-jelas pasal yang direvisi merupakan jantung dari KPK, dan sebagai bukti bahwa revisi tersebut memperlemah KPK, dengan sikap siap mundurnya ketua KPK, Agus Rahardjo jika UU KPK direvisikan, juga penolakan yang masif dari masyarakat, ini menandakan bahwa UU KPK saat ini begitu penting untuk memberantas korupsi.
Jika benar-benar ingin memperkuat KPK, untuk saat ini ada 2 hal yang harus ditambahkan, namun lagi-lagi jika DPR maupun Presiden berkomitmen dalam memperkuat KPK. Yang pertama sesuai yang diusulkan oleh Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, bahwa agar KPK tidak diganggu terus menerus dengan ancaman revisi UU KPK maka sebaiknya KPK dimasukan dalam konstitusi (UUD 1945), karena jika telah dimasukan dalam konstitusi maka potensi untuk diganggu akan sulit sekali, jika KPK yang saat ini tidak terdapat dalam konstitusi maka akan terus menerus diteror jika berani mengusik pihak-pihak tertentu. Dengan dimasukannya KPK dalam konstitusi maka komitmen Jokowi dalam memperkuat KPK tidak akan diragukan, namun ketika masih terus menerus menunda revisi UU KPK tanpa ada penolakan yang nyata maka publik semakin mempertanyakan komitmen memperkuat KPK oleh Jokowi.
Kedua, dengan cara membentuk Lembaga Pemasyarakatan (lapas) khusus koruptor, karena seperti kita ketahui bersama bahwa terdakwa koruptor bebas semau-maunya keluar masuk lapas, Gayus Tambunan misalnya lebih dari sekali keluar lapas, terus terbaru adalah pengakuan Yulianis bahwa Nazaruddin tidak berada di lapasnya, ini mengindikasikan bahwa lemahnya pengawasan terhadap lapas, sehingga sudah sepatutnya dibentuk lapas khusus korupsi dimana KPK yang mengelola dan mengawasinya, tentunya bisa saja jika memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi, lapas khusus narkotika saja sudah terbentuk, masak korupsi yang sama-sama kejahatan luar biasa tidak memiliki lapas khusus.
Ini semua untuk menyelamatkan KPK sekaligus elektabilitas Jokowi di mata publik, karena saat ini KPK merupakan lembaga antirasuah yang mendapatkan ruang di hati publik maka seharusnya Jokowi bermanufer politik dengan berada di garda terdepan menyelamatkan KPK, hingga elektabilitasnya baik di mata publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H