Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Ancaman Pidana bagi Suami Nekat Perkosa Istri

14 Februari 2016   09:56 Diperbarui: 14 Februari 2016   11:28 3091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: internasional.kompas.com (shutterstock)"][/caption]Kasus suami memperkosa istri atau yang dikenal dengan Marital Rape terhitung sudah dua kali terjadi di Indonesia, pertama Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana pada Hari Ade Purwanto (29) selama 15 bulan penjara karena memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur, sedangkan kasus kedua terjadi di daerah Denpasar Bali, dimana Tohari (57) yang berprofesi sebagai nelayan dijatuhkan hukuman 5 bulan penjara karena memperkosa istrinya Siti Fatimah.

Kasus suami perkosa istri ini terbilang cukup menarik, karena dalam ikatan perkawinan suatu hubungan badan antara suami dan istri adalah hal yang wajar, masyarakat akan menganggap itu tabu ketika dikategorikan pemerkosaan, karena sudah kewajiban istri melayani suaminya.

Namun perbuatan itu tidak dibenarkan dalam hukum positif (yang sedang berlaku) di Indonesia, mengingat dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan UU PKDRT khususnya dalam pasal 5 disebutkan:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

  1. kekerasan fisik;
  2. kekerasan psikis;
  3. kekerasan seksual; atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Kemudian diperjelas lagi dalam pasal 8 yang menyatakan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c meliputi:

  1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
  2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Untuk mengetahui siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga dapat kita baca dalam pasal 2 ayat (1), yang mengatakan lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi:

  1. suami, istri dan anak;
  2. orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Semua itu menjelaskan bahwa suami yang memaksa istrinya bersetubuh diluar kehendak istri maka dikategorikan sebagai pemerkosaan, memang agak sedikit aneh dan hal ini sangat tabu di masyarakat kita, namun cobalah kita berpikir logis sekejap, ketika seorang istri menolak untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya tentu memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas), seperti contoh dua kasus di atas, dimana terjadi di Denpasar, si istri menolak berhubungan seksual dengan alasan sedang sakit, namun alih-alih untuk dimaklumi justru sang suami nekat untuk memaksa istrinya melayani nafsu birahinya, akibatnya warga menemukan si istri dengan posisi terlentang lemas di lantai. Jika istri berkewajiban melayani suaminya tanpa mengenal alasan apapun, justru akan menjadi petaka bagi perempuan, dimana dalam keadaan sakit dipaksa untuk melakukan persetubuhan. Ketika UU tidak mengatur tentang hal ini, maka sangat berbahaya bagi perempuan dan bahkan akan mengancam nyawanya.

Kasus kedua terjadi di Pasuruan Jawa Timur, dimana si suami memaksa istrinya berhubungan di salah satu hutan, tentu si istri menolak, karena hutan adalah tempat terbuka dan tidak jarang masyarakat akan melalui hutan tersebut, dengan alasan demi menjaga kehormatan ketika ada yang melihatnya sedang bersetubuh tentu si istri akan menolak, harusnya ini menjadi kesadaran bersama semua masyarakat untuk melindungi perempuan dari ancaman kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, mengingat KDRT juga bukan delik aduan yang hanya akan diproses ketika ada pengaduan korban, namun ini menjadi delik biasa, siapa saja dapat melaporkan ketika menemukan ada kekerasan terhadap perempuan.

Kemudian terkait sanksi pidana kekerasan seksual dapat kita lihat dalam pasal 46, dimana dikatakan setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 36 juta.

 

Kesulitan Menegakan UU PKDRT

Negara telah menjamin perlindungan terhadap semua warga negaranya, khususnya perempuan memiliki perlindungan yang cukup baik diberikan negara melalui UU PKDRT. Namun yang menjadi permasalahan adalah seberapa beranikah korban melaporkan pelaku ke aparat penegak hukum, itu menjadi poin pertama kesulitan menegakan UU tersebut, korban cendrung mengalami ketakutan, apalagi yang dilaporkan adalah orang terdekatnya sendiri, bagaimana nasip bangunan rumah tangganya, bagaimana nasip anak-anaknya, nasip hubungan dengan keluarga pelaku, tentu itu menjadi penyebab ketakutan korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

Kedua adalah masih tabunya pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga di mata masyarakat, karena masyarakat cendrung beranggapan melayani suami itu adalah kewajiban istri, sehingga membuat korban ketakutan akan dikucilkan masyarakat jika melaporkan perbuatan yang dilakukan pelaku.

Ketiga, korban cenderung beranggapan jika permasalahan itu dilaporkan, maka sama artinya dia akan membuka aib rumah tangganya sendiri, dan kemudian hal itu menjadi bahan gosip di masyarakat, sehingga membuat korban menahan penderitaan ini terus menerus yang mengakibatkan terancamnya nyawa korban sendiri.

RUU KUHP, Suami Diperkosa Istri Dapat Melapor

Dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diwacanakan akan merubah definisi pemerkosaan menjadi persetubuhan yang dilakukan di luar kehendak salah satu pihak. Hal ini memungkinkan bagi suami yang tidak berkehendak bersetubuh dengan istri dapat melaporkan istrinya ke aparat yang berwajib, lagi-lagi ini suatu problema yang dianggap sangat tabu, sangat aneh ketika laki-laki diperkosa oleh istri sendiri, apalagi melaporkan istri yang menyetubuhinya.

Sebenarnya secara tidak langsung dalam UU PKDRT juga sudah diatur, karena definisi kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Tidak disebutkan secara terperinci antara siapa-siapa saja yang melakukan kekerasan seksual, sehingga ketika istri memaksa suami bersetubuh di luar kehendak suami maka akan dikategorikan kekerasan seksual.

Sangat aneh bukan?, hukum memang terlihat kejam, tetapi itulah hukum, karena ketika tidak ditegakan maka imbasnya akan banyak korban, untuk itu maka sebagai masyarakat yang baik tentunya kita akan mematuhi hukum.

 

Refrensi :

Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Lagi, Suami Dipenjara karena Memperkosa Istrinya

Pemerintah Sedang Matangkan RUU Perkosaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun