Matahari menepi.Ketika udara memadat tiba-tiba.
"Siapa mengajarmu menatapku begitu?" (SDD)
#
Sapardi,
Engkau lelaki tua, aku juga.
Aku sedikit lebih muda, tentu saja. Beberapa tahun atau beberapa puluh tahun. Tapi apalah arti usia jika setiap saat kita dihadapkan pada hal yang sama: bau kembang di atas pemakaman.
“Hey...tunda dulu ocehan tentang kembang dan makam, anak muda yang beranjak tua. Bukankah sekarang Juni?” Tanyamu. Retoris.
Yah, ini bulanmu. Juni barangkali bulanmu. Setidaknya bagi segelintir orang yang gemar membuka lembar-lembar kata yang kau tarik…ulur…lalu tarik lagi bak benang layang-layang di atas padang. Setidaknya bagi mereka yang senang mengulang–ulang tiga baris ketabahan: atas rindu yang dirahasiakan, yang sebenarnya adalah kerinduan mereka sendiri.
##
Di bangku sebuah trotoar, engkau kenang seorang gadis kecil yang diseberangkan gerimis. Gadis yang sekarang telah tumbuh dan berdandan manis.
Masihkah ‘kau ingat?
Engkau (dan aku) yang beranjak tua, sedangkan dia masih di sana,jauh di sana, menunggu gugurnya sakura. Atau jangan-jangan engkau abadi dalam sajak ringkih itu?
Yang fana adalah waktu.
Tiba-tiba engkau berdiri. “Permisi, bolehkan kuhapus jejakmu dijalan itu?” pintamu.
Jejakku? Jejak yang ragu-ragu itu?
Oh ya. Baiklah. Terima kasih.
Engkau pun berlalu. Meninggalkan contekan tentang debar dalamdiam. Tentang sebulir bening yang membasahi tulisan di halaman muka undangan perkawinan:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana….tapi tak bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H