Mohon tunggu...
dewi larasati
dewi larasati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pembedahan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel Kotak Pelangi

20 Februari 2018   14:04 Diperbarui: 22 Februari 2018   11:18 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel berjudul "Kotak Pelangi" adalah novel tetralogi seri Kosan Soda terakhir dari penulis novel "Dealova", Dyan Nuranindya. Novel ini menceritakan kehidupan Aiko yang menetap di Kosan Soda untuk melanjutkan pendidikannya di daerah Jogjakarta. Selain itu, novel ini juga menceritakan bagaimana masa lalu tokoh dan kehidupan asmaranya.

Unsur Instrinsik

Sama halnya seperti novel-novel sebelumnya, novel ini mengusung tema percintaan yang dibumbui dengan nilai kekeluargaan di sebuah rumah bernama Soda. Akan tetapi, lebih dominan menceritakan unsur percintaannya daripada nilai kekeluargaanya. Seperti yang ada pada halaman 273, halaman terakhir dari novel ini yaitu,

"Cinta yang memberikan kehangatan di sebuah rumah bernama Soda. Membuat seorang lelaki tua di rumah itu merasa selalu hidup, dan menebarkan kasih sayang pada setiap anak manusia."

Ada pula pada halaman 272 yang menunjukan seberapa besar cinta si tokoh utama pria kepada Aiko.

"Janji ya, kalo setiap kali aku bilang I love you, bukan cuma untuk nunjukin kalo aku cinta sama kamu. Tapi untuk ngingetin kalo kamu adalah hal terbaik yang udah dikasih Tuhan buatku..."

Setelah membaca keseluruhan cerita, novel ini memiliki alur yang maju. Cerita novel ini mengalir kedepan, bukan berjalan mundur atau kilas balik. Seperti dibuktikan pada halaman 107,

 "Setelah kejadian di kantin kampus tadi siang, Ipank kembali lagi ke sekertariat MAPALA. Seno yang sengaja membawanya ke sana. Menurut cowok itu, ruang sekertariat MAPALA adalah wilayah paling aman untuk meluapkan emosi..."

Selain contoh di atas, ada juga bukti lainnya yang terdapat di halaman 159 yaitu,

"Dua hari setelah kejadian menangisnya Kenzo, Ipank tak terlihat sama sekali. Baik di kosan maupun kampus. Kata Dara, Ipank tidak tidur di kosan..."

Tokoh dan penokohan adalah salah satu hal penting pada cerita yang mempermudah pembaca untuk memvisualisasikan tokoh. Dalam novel ini, ada tiga tokoh penting yang membuat cerita ini berjalan dengan semestinya. Pertama, Tokoh utama dalam novel ini bernama Aiko Yamasaki. Aiko memiliki sifat yang pendiam, tertutup, lemah lembut, dan pintar. Hal tersebut dengan jelas disebutkan oleh penulis di sampul belakang buku, namun adapun buktinya disebutkan dengan perilaku tokoh dan disebutkan dengan jelas oleh tokoh lain dalam percakapan.

"Meskipun aku tahu tentang dia, ibarat gunung nih, aku ngerasa nggak pernah bener-bener sampai puncaknya. Kayak masih ada aja misteri yang aku nggak tahu. Dan kadang bikin aku frustasi. Dia terlalu pendiam, tertutup. Jadi susah ditebak." (hal. 17)

 Selain itu, Aiko memiliki imajinasi yang tinggi. Aiko dapat melukis dengan tepat hanya berbekal pada mendengar cerita orang lain. Itulah mengapa ia bisa dikatakan pintar.

"Ini betul-betul Rinjani. Kamu memang penulis hebat, Aiko. Terima kasih. Kamu telah menghadirkan keindahan Gunung Rinjani di kamar ini, kamar Eyang..." (hal. 12)

Aiko memiliki hati yang lemah lembut. Seperti yang disebutkan pada novel ini melalu pancaran matanya.

"Mata gadis itu bulat dan teduh, seakan kebaikan hatinya terpancar dari sana. Sesaat, ia memejamkan mata, mencoba menghayati panorama Gunung Rinjani dalam hati..."

Sebagaimana kisah percintaan lainnya, Tokoh penting yang kedua adalah Ivano Panky Ariestio Norman Kano, seseorang lelaki yang mencintai Aiko. Tokoh yang sering dipanggil Ipank ini adalah tokoh yang menyukai keindahan alam Indonesia dan merupakan wakil ketua senat mahasiswa. Ipank memiliki sifat yang pemberani, bertanggung jawab dan mudah tersulut emosi.

"Nyali Ipank memang besar. Gunung, lembah, hutan, dan laut pernah ia jelajahi..." (hal. 33)

"Ipank yang biasa mengontrol keamanan dengan berkeliling kampus, kali ini lebih sering mengontrol di bagian lapangan tempat Cama-Cami biasa dijemur." (hal. 56)

"Ipank kembali menghentikan langkahnya. Emosinya seakan terbakar oleh kalimat yang meluncur dari mulut Dara barusan. Ia membalikkan badanya. Menatap gadis berambut highlight pink itu dengan penuh kebencian." (hal.178)

Tokoh terakhir yang akan diulas adalah Santoso Adiwijaya. Tokoh yang biasa disebut Eyang Santoso oleh anak-anak Kosan Soda memiliki peranan yang penting yaitu menghubungkan masa lalu serta masa kini Aiko dan Ipank. Bisa dikatakan, Eyang Santoso adalah saksi kunci kehidupan dua tokoh utama dalam cerita ini. Eyang Santoso memiliki sifat yang dermawan dan penuh kasih sayang.

"Pak Santoso itu orang baik. Dulu beliau yang memberikan modal saya untuk berdagang nasi goreng..." (hal.246)

"Bapak memang tidak pernah membeda-bedakan. Setiap kali ke Semarang, Bapak selalu naik becak saya dan kadang main ke rumah..." (hal.246)

Secara keselruhan, novel ini berlatar tempat di Jogjakarta. Penulis banyak menghadirkan latar tempat yang tidak nyata, akan tetapi dari awal penulis sudah menjelaskan bahwa novel ini berlatar tempat di Jogja. Kosan Soda yang menjadi tempat Aiko tinggal secara langsung dijelaskan oleh penulis berada di Jogjakarta.

"Tapi seperti apa pun hawa Jogja saat ini, suasana di dalam Kosan Soda tak pernah berubah. Kalau lagi nggak ada kegiatan, anak-anak penghuni kosan lebih senang berada di rumah dibandingkan keluyuran di mal atau nongkrong-nongkrong di pinging jalan seperti anak-anak muda kebanyakan..." (hal. 20-21)

Walapun kebanyakan latar tempat di novel ini bersifat imajinasi penulis, tetapi ada satu tempat yang benar-benar ada di Jogjakarta. Hal ini semakin memperkuat pembaca untuk mengimajinasikan latar Jogjakarta yang kental dengan munculnya Museum Affandi di dalam cerita.

"Puas melihat-lihat koleksi lukisan museum Affandi, Ipank mengajak Aiko ke salah satu bangunan di sudut kompleks museum. Bangunan itu berupa menara tinggi yang menghadap ke seluruh penjuru. Dari dulu Ipank penasaraningin berdiri di atas menara itu. Kata orang-orang, Jogja terlihat lebih indah dari atas sana." (Hal.78)

Dikarenakan Aiko adalah seorang mahasiswa yang baru saja memulai perkuliahan, maka novel ini memiliki latar waktu yang dominan di pagi hari. Selain itu, pagi hari identik dengan mengawali sebuah cerita. Penulis menunjukkan latar waktu dengan jelas tanpa mengundang banyak perspektif dari pembaca.

"Aiko memulas lipgloss beraroma cherry di bibir mungilnya. Hari ini ada kuliah pagi. Makanya pukul 07.00 dia sudah bersiap dengan cardigan ungu mudanya." (Hal. 90)

Dikarenakan berlatar tempat di Jogja, latar sosial dalam novel ini juga sesuai dengan kebudayaan Jogja. Saat Eyang Santoso meninggal dunia, penulis menyebutkan sedikit mengenai bagaimana adat dan istiadat orang Jogja.

"Setiap daerah memiliki simbol tersendiri untuk menunjukkan perayaan tertentu. Kalau di Jakarta, bendera kuning dijadikan simbol adanya kematian. Sementara di Jogja, bendera merah diartikan sebagai simbol duka cita yang mandalam. Seperti yang saat ini terpasang di sepanjang jalan menuju Soda." (Hal. 245)

Sudut pandang cerita adalah bagaimana penulis mengungkapkan gagasan dan ceritanya. Dalam novel ini, Dyan Nuranindya memilih untuk menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu. Hal ini bisa dibuktikan bahwa penulis mengerti apa yang sedang terjadi di hati dan pemikiran tokoh walaupun tokoh tidak mengungkapkannya.

"Kejadian itu membuat Ipank sakit hati. Dalam hati kecilnya, ia tidak mudah memaafkan perilaku Andari yang menurutnya keterlaluan. Jangankan bicara, melihat Andari saja Ipank malas..." (Hal. 29-30)

Unsur Ekstrinsik

Aiko digambarkan memiliki kemampuan melukis yang baik. Setelah membaca profil penulis dan menilik laman media sosialnya, tokoh Aiko memiliki kemiripan dengan Dyan Nuranindya, si penulis. Ternyata, Penulis juga memiliki kemampuan yang hebat dalam melukis. Oleh sebab itu, inilah alasan mengapa proses melukis di dalam novel ini dijabarkan dengan rinci.

"Tangan mungil gadis itu menari-nari lincah di atas kertas. Membentukkan lekukan-lekukan pegununang dengan warna abu-abu. Sesekali ia mengganti warna pensil di tangannya. Hijau, biru, cokelat, apapun sesuka hatinya. Punggung kelingkingnya tampak kehitaman akibat gesekan serbuk warna yang menempel di kertas..." (Hal-11)

Psikologi atau pemikiran penulis juga dapat mempengaruhi jalannya cerita di dalam novel. Bagaimana cara penulis berpikir bisa saja disampaikan melalui tokoh-tokohnya. Penulis novel "Kotak Pelangi" ini, ternyata juga memiliki kegemaran yang sama dengan tokoh Ipank yaitu, menikmati alam. Hal inilah yang membuat penulis menyampaikan pola pikirnya melalui tokoh Ipank, seperti yang dicantumkan di halaman 260.

"Bagaimana ia dapat mengatasi emosinya yang meledak-ledak ketika berhadapan dengan alam bebas. Karena ketika manusia berjalan menjelajahi alam, ketika melihat segala keindahannya yang luar biasa, manusia akan menyadari betapa kecilnya dia. Betapa tidak berdayanya dia.

Penulis lahir di Jakarta, 14 Desember 1985. Secara keselurahan, novel ini menggunakan subyek aku-kamu tetapi penulis memasukkan sedikit budaya Jakarta yaitu gue-lo. Ipank sendiri juga diceritakan berasal dari Jakarta. Walaupun ia sudah menetap di Jogja, ia tetap tidak melupakan kebiasaannya di Jakarta. Ia tetap bersubyek gue-lo tapi hanya saat ia berbicara pada dirinya sendiri.

"Hari ini... Sakura gue tertawa lagi. Matanya jernih bersinar seperti mutiara di dalam lautan..." (hal. 84)

Profil Penulis

 Dyan Nuranindya lahir di Jakarta, 14 Desember 1985, anak terakhir dari dua bersaudara. Dyan yang lebih akrab disapa "Dichiel (Dyan Kecil) oleh teman-teman sekolahnya ini tidak pernah terpikir untuk menjadi penulis. Baginya, menulis merupakan bakat yang terpendam, tapi ternyata sekarang berhasil dia temukan. Sebenarnya hobinya adalah menggambar. Tidak heran Dyan pernah menyabet Juara I Lomba Poster sewaktu SMP dan memperoleh beberapa penghargaan. Berbagai kegiatan pernah digelutinya.Mulai dari dunia tarik suara sampai pecinta alam yang membuatnya menyukai dunia panjat tebing.

Dyan Nuranindya merupakan penulis yang lebih senang mengagumi karya orang lain dibandingkan dengan karyanya sendiri. Mencintai gunung, tebing, lautan, dan tempat-tempat bersejarah hingga nyaris tak pernah menolak jika diajak ke tempat tersebut. Ia juga menyukai segala hal berbau senin bahkan dalam bentuk paling absurb.

 Dyan Nuranindya pernah menempuh pendidikan Sarjana Ekonomi jurusan Marketing Management di Asian Banking Finance and Informatics pada tahun 2004-2008. Ia juga melanjutkan pendidikannya di Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia pada tahun 2010-2012. Selain itu, pada tahun 2005, Dyan terpilih sebagai salah satu inspiring teenager pada program "Permata Bangsaku" Metro TV.

Saat ini, Dyan aktif sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta, penulis buku, scenario film, iklan, artikel, biografi, dan menjadi pembicara di berbagai workshop penulisan. Penyuka black-coffee ini juga mendalami usaha berbasis Social Enterprise yang bertujuan memberdayakan masyarakat pedesaan agar mampu mengembangkan kreativitas dan mandiri secara ekonomi.

Chasan.2012. Dyan Nuranindya Penulis Novel Dealova.

diambil dari https://bindspentra.wordpress.com/2012/11/16/dyan-nuranindya-penulis-novel-dealova/

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun