"Bapak memang tidak pernah membeda-bedakan. Setiap kali ke Semarang, Bapak selalu naik becak saya dan kadang main ke rumah..." (hal.246)
Secara keselruhan, novel ini berlatar tempat di Jogjakarta. Penulis banyak menghadirkan latar tempat yang tidak nyata, akan tetapi dari awal penulis sudah menjelaskan bahwa novel ini berlatar tempat di Jogja. Kosan Soda yang menjadi tempat Aiko tinggal secara langsung dijelaskan oleh penulis berada di Jogjakarta.
"Tapi seperti apa pun hawa Jogja saat ini, suasana di dalam Kosan Soda tak pernah berubah. Kalau lagi nggak ada kegiatan, anak-anak penghuni kosan lebih senang berada di rumah dibandingkan keluyuran di mal atau nongkrong-nongkrong di pinging jalan seperti anak-anak muda kebanyakan..." (hal. 20-21)
Walapun kebanyakan latar tempat di novel ini bersifat imajinasi penulis, tetapi ada satu tempat yang benar-benar ada di Jogjakarta. Hal ini semakin memperkuat pembaca untuk mengimajinasikan latar Jogjakarta yang kental dengan munculnya Museum Affandi di dalam cerita.
"Puas melihat-lihat koleksi lukisan museum Affandi, Ipank mengajak Aiko ke salah satu bangunan di sudut kompleks museum. Bangunan itu berupa menara tinggi yang menghadap ke seluruh penjuru. Dari dulu Ipank penasaraningin berdiri di atas menara itu. Kata orang-orang, Jogja terlihat lebih indah dari atas sana." (Hal.78)
Dikarenakan Aiko adalah seorang mahasiswa yang baru saja memulai perkuliahan, maka novel ini memiliki latar waktu yang dominan di pagi hari. Selain itu, pagi hari identik dengan mengawali sebuah cerita. Penulis menunjukkan latar waktu dengan jelas tanpa mengundang banyak perspektif dari pembaca.
"Aiko memulas lipgloss beraroma cherry di bibir mungilnya. Hari ini ada kuliah pagi. Makanya pukul 07.00 dia sudah bersiap dengan cardigan ungu mudanya." (Hal. 90)
Dikarenakan berlatar tempat di Jogja, latar sosial dalam novel ini juga sesuai dengan kebudayaan Jogja. Saat Eyang Santoso meninggal dunia, penulis menyebutkan sedikit mengenai bagaimana adat dan istiadat orang Jogja.
"Setiap daerah memiliki simbol tersendiri untuk menunjukkan perayaan tertentu. Kalau di Jakarta, bendera kuning dijadikan simbol adanya kematian. Sementara di Jogja, bendera merah diartikan sebagai simbol duka cita yang mandalam. Seperti yang saat ini terpasang di sepanjang jalan menuju Soda." (Hal. 245)
Sudut pandang cerita adalah bagaimana penulis mengungkapkan gagasan dan ceritanya. Dalam novel ini, Dyan Nuranindya memilih untuk menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu. Hal ini bisa dibuktikan bahwa penulis mengerti apa yang sedang terjadi di hati dan pemikiran tokoh walaupun tokoh tidak mengungkapkannya.
"Kejadian itu membuat Ipank sakit hati. Dalam hati kecilnya, ia tidak mudah memaafkan perilaku Andari yang menurutnya keterlaluan. Jangankan bicara, melihat Andari saja Ipank malas..." (Hal. 29-30)