“Aku berpikir bahwa aku terlalu sering mencintai orang lain, hingga aku lupa bagaimana caranya membenci,” Kata Delia dalam hati.
Langit menunjukkan senjanya. Begitu juga dengan murid-murid SMA Permata yang menunjukkan senyumnya ketika bel pulang sekolah berbunyi. Berbeda dengan yang lain, Dama harus terpaksa menunda keinginannya untuk pulang dikarenakan ia harus pergi ke perpustakaan. Jika ia tidak pergi, bisa habis dia dinasehati oleh Bu Lian karena telat mengembalikan buku. Saat ia berjalan melewati lapangan, di bawah pohon rindang, Dama melihat seorang gadis yang sedang asyik menulis sesuatu dibuku yang ia bawa dengan pipi lebam. Entah mengapa, setelah melihat gadis itu, Dama menjadi kehilangan kesadaran. Gadis itu memang cantik. Dari warna bedgenya, Dama bisa menebak bahwa gadis itu setingkat dibawahnya. Karena terburu waktu, Dama hanya mengingat wajah dan juga tingkat kelasnya.
Setelah lama menunggu, Delia akhirnya berniat untuk menghampiri Bagas. Namun, sebelum ia ingin berdiri, datang orang lain yang duduk disampingnya dan menyapanya. Namanya Kak Bima. Ia adalah kakak kelas Delia, temannya Bagas. Ia memberikan Delia minuman soda. Dengan ragu, Delia menggambilnya dan berterima kasih. Kemudian, Delia berdiri dari duduknya dan meninggalkan lelaki itu duduk sendirian di bawah pohon rindang.
Dalam perjalanan, Delia selalu memikirkan Kak Bima. Delia berpikir bahwa Kak Bima menyukainya, maka dari itu ia memberikan Delia minuman. Kejadian inilah yang juga menjadi awal dari pertemuannya dengan Bagas. Dulu Bagas adalah lelaki yang baik, itulah mengapa Delia menerimanya menjadi kekasih Delia. Namun, lambat laun Bagas berubah karena ia mengetahui rahasia tentang Delia. Ia menjadi kasar terhadap Delia. Ia suka menampar dan menjambak Delia jika Delia mencintai pria lain.
Dama akhirnya mengetahui siapa nama gadis yang ia lihat waktu itu. Namanya Delia Pratiwi, anak IPA kelas 11-A. Namun, sayangnya ia sudah memiliki kekasih. Betapa kecewanya Dama mengetahui hal tersebut. Namun pada suatu hari, Dama pulang terlambat karena ia punya jadwal piket di kelas. Saat Dama ingin menuju parkiran, tanpa sengaja Dama melihat Delia yang ditarik paksa oleh Bagas. Dama pun mengikuti kemana mereka berjalan.
Ternyata, mereka sampai di belakang sekolah yang sudah sepi. Sesampainya disana, Dama bersembunyi di balik pohon agar dapat melihat apa yang terjadi. Dengan keras, Bagas menampar pipi Delia berkali-kali, tentu saja Dama kaget melihatnya. Bukannya menangis ataupun marah, Delia nampak baik baik saja bahkan ia tersenyum setelah diperlakukan begitu. Dama pun heran atas sikap Delia, tapi ia mengenyahkan pikiran buruknya tentang Delia. Setelah kejadian itu, Dama mencari tahu semua tentang Delia.
Sekarang Dama tau mengapa Delia menjadi seperti itu. Ternyata, Delia adalah orang yang mudah terbawa perasaan. Disapa oleh seorang lelaki saja, Delia segera mencari tahu tentang orang itu dan menyukainya. Delia tidak bisa membedakan antara kagum, sayang dan cinta. Ia menganggap semuanya sama. Hal inilah yang membuat Delia menjadi lupa bagaimana cara membenci orang lain. Setiap ia disakiti, Delia menganggap bahwa itu adalah cara seseorang untuk mengunggkapkan perasaannya. Jadi, ia akan semakin mencintai orang itu jika diperlakukan dengan kasar.
Dama mengetahuinya dari teman Delia, yaitu Sania. Sania sudah bersama dengan Delia sejak mereka berada di bangku SMP. Sania pun menceritakan jika Bagas mengetahui hal tersebut dan memanfaatkannya agar Delia tak pernah menjauh dari Bagas. Saat mendengar bahwa Bagas berlaku seperti itu, membuat rahang Dama mengeras. Mulai detik ini, ia berjanji akan menjauhkan Delia dari orang brengsek itu.
Keesokan harinya, di area kantin, Dama menunggu gadis itu datang. Ia telah merencanakan sesuatu agar Delia bisa mengenalnya lebih dekat. Sepuluh menit kemudian, orang yang dinanti telah datang. Untungnya, ia sedang berjalan sendirian tanpa ada Bagas disampingnya. “Bagus, Ia berjalan sendirian,” batin Dama. Dengan gugup ia membawa makanan yang ia beli mendekati Delia.
“Bolehkah aku duduk di kursi ini? Seperti yang kau tau, tak ada kursi yang tersisa selain kursi yang ada di depanmu ini,” kata Dama
“Tentu, silahkan,” jawab Delia
Setelah diam beberapa saat, Dama memulai aksinya. Pertama-tama ia berkenalan dengan Delia. Setelah dirasa cukup kenal, Dama pun memulai perbincangan yang lain. Akhirnya bel masuk telah berbunyi, Dama pun telah berhasil mengenggam kertas yang berisi nomor ponsel gadis itu.
Seminggu berlalu, Dama dan Delia semakin dekat layaknya sahabat. Dama pun telah berhasil membuat Delia sedikit menjauh dari Bagas. Bagas pun merasakannya, Ia tak suka melihat gadisnya lebih mementingkan orang lain daripada dia yang notabene adalah pacarnya sendiri. Sepulang sekolah, Bagas menghampiri kelas Delia untuk mengajaknya pulang bersama. Namun, Bagas membawa Delia ke belakang sekolah yang sepi. Bagas lepas kontrol, ia menampar pipi Delia dengan keras. Namun, kali ini Delia tidak tersenyum lagi diperlakukan seperti itu.
Delia ingat apa yang dikatakan Dama, bahwa cinta itu tidak saling menyakiti tapi saling menjaga. Delia pun tak tinggal diam, sebelum semuanya semakin parah, Delia memilih untuk pergi dari tempat itu sekarang juga. Melihat Bagas yang lengah, Delia pun berlari dengan sekuat tenaga. Tuhan pasti mengabulkan doanya, di depan kelasnya, ia menemukan Dama yang sedang khawatir. Dengan cepat, Delia berlari menuju Dama. Dipeluknya Dama dengan tubuh bergetar. Tanpa basa-basi, Dama mengantar gadis itu pulang.
Setelah kejadian itu, Bagas menjadi murka. Ia takut jika ia akan kehilangan gadisnya. Ia harus menjadi satu-satunya laki- laki yang dicintai Delia. Bagas pun mengetikkan pesan untuk bertemu dengan Dama di belakang sekolah jam 8 malam. Dengan berani, Dama pun mengindahkan tantangan Bagas. Pukul 8 malam, Dama sudah sampai di belakang sekolah dengan seorang diri. Ia tak melihat ada seorangpun yang ada di area ini. “Apakah Bagas membohongiku ?” batin Dama. Tanpa diduga, Dama ambruk dan darah mengalir dimana-mana.
Malam itu juga, setelah mengetahui dari Sania bahwa Dama sedang berada di rumah sakit dan sedang kritis, Delia segera meminta kakaknya untuk mengantarkannya ke tempat Dama sekarang berada. Sesampainya disana, yang Delia lihat adalah semua orang menangis. Ia pun bertanya kepada Sania apa yang terjadi dan tiba- tiba semuanya menjadi gelap. Segelap malam tanpa rembulan.
Dama telah pergi jauh dari Delia, tanpa bisa Delia gapai kembali. Ia pergi dengan mengubur semua lembar baru yang ingin Delia mulai. Dama memang guru yang hebat, pikir Delia. Kini ia tahu cara membenci orang lewat apa yang Dama katakan. “Janganlah sekali-kali kau melupakan benci dan cinta, tanpa salah satunya saja, hidupmu akan jadi tak selaras,” setidaknya itulah yang Dama katakan pada Delia tepat satu hari sebelum Dama berpergian jauh.
“Rasa ini menuntunku pada sebuah lembaran baru di kehidupanku. Lembaran yang mana kau hanya bisa memandangku dari jauh. Aku akan mengingat ini selamanya, rasa sakit pertama yang pernah kualami dalam hidup,” Tulis Delia di lembar pertama buku diary pemberian Dama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI