Mohon tunggu...
Sathya Vahini
Sathya Vahini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Udayana

Mahasiswi Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana, Bali. Mempunyai beberapa cerpen dan novel di antaranya Ster-Vin, Love Before Meet, Ridiculous Triangle, Mawar Putih, Senja Bersama Malaikat, Moon's Gift and Violence of the World, dll. Penulis introvert yang suka makanan gurih + juicy + pedas, cokelat + dessert cream, ice matcha, ketenangan, musik, membaca, dan menulis tentunya. Bercita-cita menjadi nakes, penulis + sutradara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Drama Dunia Gender

3 Februari 2024   17:30 Diperbarui: 8 Februari 2024   06:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

              Sumber : YouTube Make More Joy 

Laki-laki dan perempuan itu kan sama-sama manusia, kenapa laki-laki lebih dispesialkan?”


“Zaman sekarang masih zaman patriarki? Kesetaraan gender dong!”

Kalimat-kalimat pejuang anti patriarki di atas seringkali bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari entah dari mulut tetangga, teman, hingga keluarga besar. Bisa juga kita temukan dari komentar netizen di media sosial seperti Instagram dan Tik-Tok.

Memang benar, laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia berhak memiliki hak dan kesempatan yang sama, tidak ada yang dibeda-bedakan, serta berhak menentukan keputusan sesuai harapan dan kapasitas diri masing-masing.

Namun ternyata, sering saya temukan beberapa tindakan double standard dari kaum hawa alias perempuan yang cukup membuat gregetan dan bingung sendiri.

Mengapa berteriak memperjuangkan kesetaraan gender, kalau hal di bawah ini pun masih ada perempuan yang pamrih;

1. Split bill 
Entah itu first date atau sudah pacaran sekalipun, perkara bayar makan biasanya dititikberatkan kepada laki-laki. Bagi perempuan, laki-laki yang mengajak split bill, atau bahkan dibayarkan oleh perempuan, dianggap tidak gentle man lah, perhitungan lah, dan masih banyak lagi cercaannya. Tapi, kenapa hanya perempuan yang ‘wajib’ dibayarkan makanannya? Kan makanan itu masuk ke perut masing-masing? Saya pribadi tidak menemukan letak kesetaraannya untuk hal yang satu ini.

Sebenarnya tidak ada salahnya jika perempuan berharap no split bill saat first date karena laki-laki yang mengajak jalan, maka dengan pay full the bill itu sebagai bentuk tanggung jawab laki-laki. Perempuan pun sudah effort untuk dandan, memakai parfum, dan baju bagus demi tampil baik dan menghargai laki-laki yang mengajak jalan.

Tapi bagi yang sudah berpacaran, tidak ada salahnya split bill, apalagi gantian saling bayar. Bisa juga laki-laki yang membayar makan, dan perempuan yang membayar untuk nonton di bioskop. Karena kalau tujuan jalan bareng untuk have fun, bukankah lebih baik tanpa membebani salah satu pihak?

Kalau perempuan bilang, “Ya itu kan kodrat laki-laki buat kerja dan cari uang. Kalau waktu pacaran cewek juga bayar, gimana nanti kalau sudah menikah?”

Sebelum mengatakan itu, apakah sudah memahami apa itu kodrat? Bekerja dan mencari uang itu bukan kodrat laki-laki. Karena  perempuan juga bisa melakukannya. Kodrat itu contohnya hamil dan melahirkan, itu kodrat perempuan karena laki-laki tidak memiliki rahim. Laki-laki yang transgender pun tidak akan bisa hamil. Begitu juga memiliki sperma. Itu kodrat laki-laki karena tubuh perempuan tidak memproduksi  sperma. Itu baru namanya kodrat.

Jadi untuk mencari uang jelas bisa dilakukan laki-laki ataupun perempuan dong. Kan sama-sama punya otak, tenaga, dan hak yang sama untuk bekerja dan mencari uang.

2. Main fisik
Kekerasan pada fisik memang tidak dibenarkan baik dalam keadaan murka sekalipun. Bahkan sudah ada Undang-Undang yang mengatur tindak kekerasan fisik. Namun lucunya, di lingkungan sekitar saya, di kerabat terdekat, bahkan juga sering saya lihat di media sosial, perempuan yang melakukan kekerasan fisik pada laki-laki sering dianggap bukan hal apa-apa. Lain halnya jika laki-laki yang melakukannya, seantero jagat raya akan mengutuk dan memberi gelar pengecut.

Lalu komentarnya, “Ya iyalah. Tenaga perempuan dan laki-laki kan berbeda. Kalau laki-laki yang memukul bisa babak belur. Kalau pukulan perempuan memang seberapa sih?”

Menurut saya sih, ya namanya juga pukulan. Apalagi jika dilakukan sekuat tenaga, mustahil tidak menimbulkan rasa sakit. Belum lagi rasa kesal dan malu yang dirasakan laki-laki jika hal itu terjadi di depan umum. Apalagi jika memang perempuan yang bersalah namun drama berpura-pura lebih marah sampai memukul. Bagaimana kalau si perempuan ternyata jago karate? Apa tidak babak belur tuh si laki-laki? Ditambah lagi masyarakat yang membela si perempuan karena anggapan perasaan perempuan lebih lembut sehingga gampang sakit hati.

Untuk hal ini, dunia memang tidak adil. Karena itu laki-laki memang hanya bisa bersabar dan mengalah saja sih. Karena kalau memukul balik, jelas akan lebih salah dan diteriaki pengecut.

3. Kriteria idaman
Saat beropini memaparkan kriteria pasangan ideal sebagai calon pasangannya, perempuan sangat bebas beropini tanpa perlu dihujat masyarakat dan netizen. Ingin pengusaha suskes, pengusaha batu bara, pekerja keras, bertanggung jawab, tidak kasar, berbonus tampan, gaji minimal 8 juta, dan harapan bagus lainnya. Sedikit saya temukan yang menghujat perempuan untuk kriteria mereka itu. Bahkan mereka cenderung dinilai ‘realistis’.

Berbeda lagi dengan laki-laki. Baru saja memaparkan satu kriteria, contohnya ‘pintar memasak’. Seketika para perempuan naik darah dan terlontarlah kalimat, “Cari istri apa pembantu?”

Belum lagi kriteria, “Pintar mengurus anak dan penyayang. Terbitlah kalimat, “Kan nanti ada baby sitter. Makanya banyak duit biar bisa sewa baby sitter.

Saya sendiri suka heran, perempuan bebas mengutarakan opini pasangan ideal yang serba bisa tapi perempuan sendiri tidak masalah kalau tidak bisa apa-apa.

Menurut saya, kalau perempuan ingin pasangan pengusaha kaya raya, ya minimal perempuan tersebut juga kaya dan mengerti bisnis. Kalau ingin yang bermobil, minimal punya mobil juga. Kalau ingin pasangan tampan bak Justin Bieber, ya setidaknya secantik Hailey Bieber. Kalau ingin pasangan konglomerat seperti Harvey Moeis, pastikan sudah seperti Sandra Dewi. Dan kalau ingin pasangan seperti Raffi Ahmad, lihatlah Nagita Slavina.

Karena ini dunia nyata, bukan kisah negeri dongeng tentang seorang raja yang jatuh cinta pada gadis desa sederhana dan mengangkatnya menjadi ratu. Jadi, wajib untuk kita ‘sadar diri’. Kebanyakan laki-laki ‘berkualitas’ pun akan memilih perempuan yang juga ‘berkualitas’, memiliki prinsip dan tujuan demi masa depan, bukan yang tidak bisa apa-apa.

Di dunia nyata, bisa saja ada yang beruntung seperti kisah dongeng itu. Tapi keberuntungan itu belum tentu bisa menghampiri setiap perempuan di dunia.

Kalau perempuan juga bekerja, wajar tidak ada waktu untuk memasak dan mengurus anak. Jadi tidak masalah kalau memerlukan pembantu atau baby sitter.

Tapi kalau ibu rumah tangga, apa yang dilakukan di rumah kalau memasak dilakukan pembantu dan mengurus anak oleh baby sitter? Apa hanya duduk santai mengayunkan kaki bak ratu tanpa melakukan sesuatu yang baik dan berguna bagi keluarga, sebagai seorang istri dan ibu? Apa hanya hidup membebani pasangan?

Pasangan bekerja menafkahi keluarga dan menggaji pembantu? Padahal lebih baik kalau pasangan saling support dan perhatian, tanpa ada orang lain yang ‘menyertai’ di rumah. Seperti saat suami pulang kerja dan seorang istri sudah menyiapkan makan siang, seperti saat istri kelelahan mengurus anak dan digantikan oleh suaminya. Daripada uang dipakai untuk menggaji pembantu, akan lebih bagus jika ditabung untuk masa depan keluarga dan anak-anak bukan? Karena pasangan yang saling menyayangi tidak akan membiarkan pasangannya berjuang sendiri sementara ia hanya duduk santai dan merasa harus dispesialkan.

4. Prioritas
Ini yang paling membuat saya geram. Perkara duduk di kendaraan umum saja, masih ada perempuan yang berpikir kalau mereka wajib diprioritaskan karena fisik mereka yang dirasa lebih mudah lelah. Karena itu, lelaki wajib rela berkorban dan membiarkan perempuan yang duduk.

 Ingatlah lelaki bukan robot, mereka juga manusia yang bisa merasa lelah. Bagaimana kalau ternyata lelaki itu adalah kepala keluarga yang kelelahan setelah bekerja seharian demi menafkahi keluarga? Sedangkan perempuan yang ingin meminta duduk tersebut sehat-sehat saja dan masih muda? Apakah tetap akan tega? Bagaimana jika ayah atau saudara laki-laki kalian dalam posisi tersebut? Apakah kalian tidak geram?

Kalau untuk perempuan hamil, lansia, dan berkebutuhan khusus, tanpa perlu diminta setiap orang yang memiliki hati dan pikiran (tidak peduli lelaki atau perempuan), pasti akan ikhlas berbagi tempat duduk dan mengikhlaskan dirinya sendiri untuk berdiri kok.

 Karena yang diperjuangkan adalah ‘kesetaraan gender’ kan? Bukan bagian kesetaraan yang hanya menguntungkan kaum perempuan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun