Mohon tunggu...
Sathya Vahini
Sathya Vahini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Udayana

Mahasiswi Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana, Bali. Mempunyai beberapa cerpen dan novel di antaranya Ster-Vin, Love Before Meet, Ridiculous Triangle, Mawar Putih, Senja Bersama Malaikat, Moon's Gift and Violence of the World, dll. Penulis introvert yang menyukai bakso pedas, cokelat, ice matcha, kedamaian, musik, membaca, dan menulis tentunya. Bercita-cita akting di film horor/fantasi sekaligus menjadi sutradara genre tertentu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Drama Dunia Gender

3 Februari 2024   17:30 Diperbarui: 8 Februari 2024   06:28 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ini dunia nyata, bukan kisah negeri dongeng tentang seorang raja yang jatuh cinta pada gadis desa sederhana dan mengangkatnya menjadi ratu. Jadi, wajib untuk kita ‘sadar diri’. Kebanyakan laki-laki ‘berkualitas’ pun akan memilih perempuan yang juga ‘berkualitas’, memiliki prinsip dan tujuan demi masa depan, bukan yang tidak bisa apa-apa.

Di dunia nyata, bisa saja ada yang beruntung seperti kisah dongeng itu. Tapi keberuntungan itu belum tentu bisa menghampiri setiap perempuan di dunia.

Kalau perempuan juga bekerja, wajar tidak ada waktu untuk memasak dan mengurus anak. Jadi tidak masalah kalau memerlukan pembantu atau baby sitter.

Tapi kalau ibu rumah tangga, apa yang dilakukan di rumah kalau memasak dilakukan pembantu dan mengurus anak oleh baby sitter? Apa hanya duduk santai mengayunkan kaki bak ratu tanpa melakukan sesuatu yang baik dan berguna bagi keluarga, sebagai seorang istri dan ibu? Apa hanya hidup membebani pasangan?

Pasangan bekerja menafkahi keluarga dan menggaji pembantu? Padahal lebih baik kalau pasangan saling support dan perhatian, tanpa ada orang lain yang ‘menyertai’ di rumah. Seperti saat suami pulang kerja dan seorang istri sudah menyiapkan makan siang, seperti saat istri kelelahan mengurus anak dan digantikan oleh suaminya. Daripada uang dipakai untuk menggaji pembantu, akan lebih bagus jika ditabung untuk masa depan keluarga dan anak-anak bukan? Karena pasangan yang saling menyayangi tidak akan membiarkan pasangannya berjuang sendiri sementara ia hanya duduk santai dan merasa harus dispesialkan.

4. Prioritas
Ini yang paling membuat saya geram. Perkara duduk di kendaraan umum saja, masih ada perempuan yang berpikir kalau mereka wajib diprioritaskan karena fisik mereka yang dirasa lebih mudah lelah. Karena itu, lelaki wajib rela berkorban dan membiarkan perempuan yang duduk.

 Ingatlah lelaki bukan robot, mereka juga manusia yang bisa merasa lelah. Bagaimana kalau ternyata lelaki itu adalah kepala keluarga yang kelelahan setelah bekerja seharian demi menafkahi keluarga? Sedangkan perempuan yang ingin meminta duduk tersebut sehat-sehat saja dan masih muda? Apakah tetap akan tega? Bagaimana jika ayah atau saudara laki-laki kalian dalam posisi tersebut? Apakah kalian tidak geram?

Kalau untuk perempuan hamil, lansia, dan berkebutuhan khusus, tanpa perlu diminta setiap orang yang memiliki hati dan pikiran (tidak peduli lelaki atau perempuan), pasti akan ikhlas berbagi tempat duduk dan mengikhlaskan dirinya sendiri untuk berdiri kok.

 Karena yang diperjuangkan adalah ‘kesetaraan gender’ kan? Bukan bagian kesetaraan yang hanya menguntungkan kaum perempuan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun