Â
Kemenangan Tasdi-Tiwi jangan dianggap sepele. Kemenangan keduanya menandai hadirnya politik dinasti di wilayah Banyumas. Maksudnya Dinasti Triyono Budi Sasongko (TBS), Bupati Purbalingga Periode 2000-2005 dan 2005-2010.
Seperti diketahui bersama Dyah Hayuning Pratiwi (Tiwi) adalah anak sulung dari TBS, yang saat ini menjadi Pejabat Gubernur Kalimantan Utara. Perempuan kelahiran Jakarta 11 April 1987 ini sebentar lagi akan memimpin sekaligus meneruskan Trah TBS di Kota Perwira.
Karena lahir di Ibu Kota, tentu saja Tiwi tidak mengenal Kota Perwira seperti halnya Tasdi. Saya rasa Tiwi lebih mengenal Jakarta dibanding Purbalingga dan daerah ngapak lainnya. Hanya saja (mungkin) orangtuanya sudah bersabda bahwa Purbalingga merupakan daerah yang sudah dijanjikan untuk diri dan keturunan Tiwi.
Dengan modal itu Tiwi bisa meyakinkan warga bahwa pemimpin daerah tak perlu harus pribadi yang lahir dan tumbuh di Purbalingga (wonge dewek). Bahkan ada informasi yang menyebut- Tiwi ini belum memiliki KTP Purbalingga, sehingga pada 9 Desember kemarin dia tidak mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika benar demikian, Tiwi memang benar-benar perempuan yang dijanjikan Tuhan untuk rakyat Braling.
Tak hanya warga Purbalingga. Ratusan kader, bahkan ribuan kader PDIP yang sudah puluhan tahun berproses di partai pun bisa ia pahamkan. Tiwi bisa dengan mudah menjelaskan bahwa Trah Raja lebih penting dibanding alasan-alasan klasik pengabdian kepada partai. Latar belakangnya sebagai anak dari Bupati Purbalingga dua periode dari PDIP sudah cukup sebagai pangabsah bahwa ia pantas menjadi pemimpin Purbalingga.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana remuk redamnya perasaan kader-kader militan PDIP yang ingin mendampingi Tasdi sebagai wakil bupati. Mereka harus bersedia minggir untuk mempersilakan Putri Raja naik ke singgasana tanpa bekal pengalaman dan pengabdian di partai. Semoga saja mereka tidak lantas mengutuk diri sendiri hanya karena bukan keturunan Raja.
Sebelum Tiwi di Purbalingga, Dyah Handayani Nastiti (adik Tiwi) secara mengejutkan lebih dulu mengejutkan Kabupaten Banyumas. Pada Pemilu Legislatif 2014 lalu anak TBS ini meraup 10.647 suara di Kecamatan Baturraden, Sumbang, Kembaran, dan Sokaraja. Mengingat waktu itu dia hanyalah mahasiswi 22 tahun yang awam dunia politik, hasil ini sangat menggemparkan.
Tapi begitulah. Bemodal nama besar Trah TBS dia bisa menyihir warga di Dapil 3 Banyumas. Saya sempat meliput kegiatan kampanye dia di Kecamatan Baturraden. Saya menyaksikan pimpinan PDIP setempat sampai harus menyatakan menyerah begitu saja di bawah sosok Nastiti. Sampai-sampai, si ketua PDIP kecamatan tersebut, dalam sambutannya, menyerukan agar warga PDIP mencoblos gambar calon anggota dewan paling muda ini.
Kini Nastiti sudah duduk manis di kursi DPRD Banyumas. Dia bisa seruangan dengan puluhan politisi lokal berpengalaman. Saya tidak tahu apakah dia cukup mampu untuk menjadi wakil rakyat Banyumas atau tidak. Bagi saya kehadiran perempuan ini cukup menjadi contoh nyata begitu runyamnya politik dan demokrasi di Indonesia.
Sukses mendudukkan anaknya di DPRD Banyumas tidak lantas membuat TBS puas. TBS berusaha sekuat tenaga manghadirkan anak lainnya di Pilkada Purbalingga. Sebagai politisi dan pejabat berpengalaman tentu saja semua bisa diolah. Melalui serangkaian lobi-lobi politik kelas atas akhirnya dia bisa mendudukkan Tiwi bersanding dengan Tasdi. TBS sepertinya sadar betul bahwa Tiwi masih belum pantas untuk ditempatkan sebagai calon bupati. Jadi wakil bupati dulu tidak apa-apa, siapa tahu di pilkada selanjutnya bisa naik kelas.
Saya yakin semua orang yang ingin bertarung di Pilkada Banyumas 2018 sudah sadar dengan fenomena menguatnya dinasti TBS ini. Bagaimanapun juga hadirnya dua Putri Raja ini bisa menjadi ancaman sekaligus harapan. Satu sisi bisa menyulitkan mereka (khususnya kader PDIP) untuk bisa menggondol surat rekomendasi dari Megawati. Sedangkan bagi partai di luar PDIP, yang tidak punya kader berkualitas sekaligus berduit, bisa berlomba-lomba untuk menjagokan dinasti TBS ini.
Anda jangan berasumsi Nastiti akan maju di Pilkada Banyumas. Saya yakin TBS tidak akan tergesa-gesa untuk berkuasa di Banyumas. Apalagi saat ini dia masih punya satu jagoan lain yang lebih siap dan berpengaruh. Ia adalah Wahyu Budi Saptono, Sekda Banyumas yang tidak lain adik kandung TBS itu sendiri. Orang paling berkuasa di lingkungan PNS Banyumas ini-di bawah bupati dan wakil bupati-merupakan kandidat sesungguhnya.
Ada saatnya Paman si-Tiwi dan Nastiti ini muncul dan dimunculkan. Saya yakin di internal PDIP dan Bupati Achmad Husein-yang notabene kader PDIP-juga sudah bersiap-siap mengantisipasi takdir pahit ini. Sehingga lobi-lobi pilitik kelas tinggi tidak boleh sampai terlambat. Jika terlambat sama artinya membiarkan TBS sesuka hati meyakinkan Megawati agar bersedia menunjuk Pak Sekda di Pilkada Banyumas.
Kalau nantinya Pak Sekda benar-benar memperoleh mandat dari PDIP untuk menggantikan Husein, sejarah baru Banyumas akan benar-benar lahir. Sejarah itu berupa mengguritanya dinasti TBS di wilayah ini. Mari kita tunggu sejarah itu dua tahun lagi.
Apa yang dilakukan TBS tentu saja tidak melanggar hukum. Semua sah-sah saja atas nama demokrasi. Lagipula di berbagai daerah praktik seperti ini sudah lama berjalan. Misalnya Dinasti Dewi Sri di Kabupaten Brebes, Tegal, Kota Tegal, dan Pemalang. Di semua daerah itu keluarga Dewi Sri sempat berkuasa dan berusaha berkuasa secara bersamaan. Nahas, raja-raja kecil itu runtuh di pilkada terakhir, hanya Brebes saja yang masih digdaya.
Dinasti politik TBS tersebut, jika benar terwujud, sebenarnya juga memiliki latar sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Anda pasti pernah mendengar cerita Raden Joko Kaiman yang dikenal sebagai Bupati Mrapat. Konon setelah dinobatkan sebagai bupati pertama Banyumas. Beliau kemudian membagi wilayah kekuasaan Wirasaba menjadi Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.
Jadi, para bupati atau adipati dulunya memang satu keluarga. Mereka yang jadi penguasa kabupaten adalah masih satu keturunan Trah Raja atau biasa disebut berdarah biru. Artinya selain darah biru harus minggir, jangan pernah bercita-cita untuk menjadi bupati. Kecuali mau nekat bikin Trah Raja sendiri-seperti halnya Tasdi di Purbalingga. (Purwokerto, 18 Desember 2015)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H