Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setangkup Adonan Roti

2 Juli 2012   08:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, dengan gaya meyakinkannya Ia akan bercerita tentang makna apa di balik pergeseran itu? Satu alasan yang selalu aku kuping dari balik meja kasir 'Bahwa hidup itu harus dinamis, pun tata letak ruang kedai ini. Saya perlakukan sama, Anda disini bukan hanya menikmati menu-menu kami, tapi coba nikmati dan resapi isi ruang ini, buka indera mata Anda? Lengkap sudah Anda menikmati rasa dan perasaan yang di wakili setiap indera Anda'  selalu Ia ulang di depan para pelanggan. Ia sendiri penikmat sejati berbagai gaya dan posisi, ku akui itu!

.................

Ketika pagi jelang siang, jelang detik-detik jarum jam menuju angka dua belas. Ia sudah berdiri disamping pintu masuk, sambil memegang setangkup adonan roti. Matanya melihat jam dinding, menunggu jarum detik tepat di angka duabelas. Ia akan membuka pintu masuk dan membalik tulisan dari tutup menjadi buka. Tentang ketepatan waktu, Ia tidak kopromi. Pun demikian ketika melayani pelanggannya, satu menu Ia mematok waktu 'tiga menit tigapuluh tiga detik' tepat! Sudah tersaji, mulai dari mulai menggilas adonan, melebarkan adonan di atas keramik, menggulung, menggoreng sampai memberi toppingnya dan menyajikan. Ia tidak pernah meleset satu detikpun. Itupun, Ia masih sempat nyerocos 'Disini anda, tidak hanya datang, duduk menikmati sajian, membayar lalu pergi!' sambil meracik adonan. Sambungnya 'Anda juga saya ajak menikmati aktifitas saya, ini Bung...lihat?" Ia melempar adonan, berputar, Ia meliukkan badan, kedua tangan tengadah tepat di bawah putaran, tanganpun Ia putar. Tepuk tangan membahana, mata-mata memadang takjub.

Ia beratraksi, terus dan terus..... aku di balik meja kasir hanya senyum-senyum. Ia sangat-sangat menghayati dan menikmati setiap tatapan kekaguman, tepuk tangan, sanjungan-sanjungan. Kini, bukan hanya meriamania saja yang datang, bahkan bagi mereka yang tidak suka pun berkunjung, mereka penasaran. Ada juga penikmat atraksinya daripada menyantap roti meriam pedasnya yang mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi langganan tetap.

Ia semakin menggila, membuat berbagai terobosan menu-menu baru dengan segudang variasi toppingnya, itulah kenapa tulisan memakai kapur, Ia dengan seenaknya akan menghapus, mengganti atau menambah daftar menu. Tentu, Ia semakin menuntut aku di setiap pagi lepas Subuh, menyatukan rasa dan perasaan mengaduk tepung-tepung dalam baskom semakin lama semakin besar dan besar. Genggaman kebersamaan tangan-tangan kami pun semakin menjauh tak terjangkau, klimakpun semakin jarang dan sudah enam bulan ini menguap di telan kabut. Akhirnya, Ia selalu uring-uringan. Puncaknya, ketika tepat pagi jelang siang, ketika akan membuka Kedai. Ia kulihat berwajah masam, gelisah, merancau tak jelas, menatap detik-detik jarum jam menunjuk angka duabelas, Ia kulihat wajahnya semakin menegang, ditangannya setangkup adonan Ia kepal-kepal, terlihat otot-ototnya menegang, mengeras, berdenyut-denyut. Ia seakan akan klimaks.

Ia kutegur "Hari ini kita libur, menata ulang kebersamaan rasa dan perasaan kita yang semakin renggang, jangan terlalu tenggelam dalam egomu, dengar suara detik-detik semakin lama semakin keras, dan suara-suara di luar sana semakin bergemuruh, tak dengarkah kau?" Ia sekilas menatapku "Kau yang semakin ego, kau hanya mendengar suara detik-detik itu! tak pernah kau melihat jarum-jarum detik itu melangkah! Dengar, lihat dan resapi suara detik itu adalah musik pengiring jiwa, dan suara gemuruh itu jiwa-jiwa kelaparan"

Tanpa sadar aku menengok ke arah jam dinding, terlihat detak jarum sedang melangkah menunjuk angka sembilan ke angka sepuluh, kurang sepuluh detik lagi Ia akan membuka pintu masuk. Sekian detik aku menoleh, aku terkesiap mendengar pintu di buka, belum waktunya. Seketika aku terpana, mataku terbelalak, mulutku terkunci, melihat air bah menerjang masuk dan menenggelamkanya. Ia semakin lama semakin tenggelam...tenggelam, tanganku tak kuasa menggapai. Aku hanya bisa terpaku memandang buih-buih memecah di permukaan air dan setangkup adonan roti mengapung...

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun