"Maaf" Jelas kutangkap, suara khas Ia galau.
"Lupakan"
"Kau masih marah?" Jawabnya, desah napasnya menggetarkan bulu kudukku.
"Lalu?"
"Selalu 'lalu'? Rasa dan perasaanku serasa kau sesaat baru pergi?"
"Ya.. lalu siapkah kau menyatukan 'rasa' dan perasaan? Bukan hanya sekedar  penghayatan?"
"Kau sendiri yang mengajariku tentang penghayatan 'rasa' dan 'perasaan' dalam olah ini. Ketika itu aku praktekan, kutangkap kau tidak suka?"
"Lalu...?"
"Lalu? Kenapa kau tinggalkan disaat itu! kau terlalu!!" Ia teriak, lalu hening. Sesaat, kurasakan desah napas menghembus telingaku. Aku terkesiap, tak sempat menjawab. Kutangkap, gemrisik kain beradu. Siluet kabus tipis menampakan sosok Ia di hadapanku. Aku rengkuh erat, tiada kata bisa aku ucap. Ku pejamkan mata, meresapi, menggeliat, melayangkan sukma melesat ke taman Surgawi, Jiwa-jiwa menari-nari telanjang, nyanyian kidung Asmaradhana mengalun mengisi jagat alam semesta, damai-damai-damai. Helaan napas dan degup jantung, menyadarkan ia dan aku masih berpijak bumi. Bagi dia perjalanan waktu bagai detik.
"Aku sudah menyadari, ternyata rasa dan perasaan ini harus kita satukan" Ia berbisik. Hembuskan napas, menggelitik telinga, aku beringsut kesamping menghadapnya. Kurengkuh dan kusatukan jari-jari tanganku, kabut tipis membawa kebersamaan, meleburkan ia dan aku. Lalu..........
"Kita...?" Aku berbisik