Dan disinilah beliau digembleng pendidikan militer ala Nippon (Pelatih militer dari Nippon, lupa namanya) sangat disiplin dan tegas. Dan disini pula dikenalkan pertama kalinya dengan senjata api/bedil. Yaitu bagaimana berlatih perang, membongkar dan pasang berbagai senjata, setelah mahir baru berlatih menembak, senjata yang dikenalkan seperti Karaben, Stan Gun, Water Martel, Granat. Cukup lama beliau bertugas kurang lebih 2 tahun di Tangsi ini dengan segala suka dukanya kata beliau lebih banyak dukanya. Sampai akhirnya antara tanggal 18 Agustus 1945, sore mendengar bahwa Indonesia Merdeka dan dipimpin oleh orang sendiri dan beliau teringat pesan Meneer Soegeng gurunya saat sekolah di LST, terjawab sudah. Dipimpin oleh Soekarno dan Muhammad Hatta. Saat mendengar ini beliau sedang sakit di tangsi.
Dan semua pucuk senjata dikumpulkan oleh 'Polisi Istimewa' dan dalam kondisi sakit beliau pulang ke Dukuh Kejawar, dan saat itu beliau tidak pernah mendengar hiruk pikuk perjuangan dilain tempat/daerah, karena saat itu alat komunikasi apalagi radio di Dukuh Kejawar tidak ada yang punya. Pikirnya sederhana dan simple sekarang sudah Merdeka dan sudah jadi Negara Republik dipimpin oleh bangsa sendiri yaitu Sukarno dan Hatta.
Setelah sehat, beliau aktif lagi dikepemudaan sampai akhirnya ada pemberitahuan dari Kepala Dukuh, bahwa setiap bekas Peta disuruh menghadap di markas BKR di Desa Kedungbenda untuk didata ulang. Sesampainya disana tidak hanya di data tapi beliau ikut mendaftar menjadi Anggota BKR (Agustus 1945), dan mendapat tugas pertama melatih baris-berbaris ratusan calon-calon tentara pejuang, dan kemiliteran lainnya, termasuk ilmu kemiliteran saat di Peta beliau tularkan pada mereka.
Tanpa beliau sadari, dengan ikut terlibat langsung menididik dan menularkan ilmunya sebenarnya telah melahirkan prajurit tangguh sukses dan mungkin ada yang jadi Jendral. Disini belum terima gaji, kenapa mau melatih? jawabnya bila mereka jadi prajurit jangan mati konyol, tapi mati terhormat. Caranya dengan latihan disiplin, taktik pakai otak dan mahir membela diri jangan sampai mudah tertembak musuh, itu yang perlu dilatih terus. Prajurit memang dilatih untuk menembak dan membunuh, itu mudah.
Tapi bagaimana supaya tidak mudah tertembak di medan perang itu ada taktiknya, perang itu pakai otak dan insting walau seorang prajurit (kopral) disamping fisik yang terlatih, kata beliau. Dan satu pesan beliau saat di medan perang jangan mengambil/merampas harta orang, siapapun orangnya, pantang. Alhamdulillah beliau telah membuktikanya dengan melewati berbagai medan peperangan dan menjadi salah satu prajurit dari sekian ratus ribu yang selamat dari medan perang.
Kembali kegiatan di BKR, selang beberapa bulan aktif di BKR beliau dipanggil ke Markas TKR yang berkedudukan di RS Elizabeth (sekarang masih berdiri) disana baru beliau tahu BKR menjadi TKR (Oktober 1946), disini ditempatkan dalam Batalion Zeni, beliau masih ingat Komandannya Mayor. Subekti, Sekretaris Sutondo, dan beliau sebagai Staff dengan pangkat Sertu (Sersan Satu) punya ajudan Casim.
Dari sinilah kiprah beliau dimulai dalam menjejakan langkah menjadi prajurit kecil yang terlibat langsung didalam Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan Kesatuan Republik Indonesia yang sangat panjang dari mulai Agresi I, II, AOI, DI, PRRI, Aceh, dan terakhir sejarah kelam anak bangsa PKI. Ini adalah awal tulisan dari Jejak Langkah Kecil Prajurit Pejuang.
MERDEKA...MERDEKA....MERDEKA.
..
Terimakasih: