Ketika dipercaya melaksanakan tugas, saya membayangkan pekerjaan ini akan berjalan dengan mudah. Dengan bantuan konsultan berpengalaman-waktu perencanaan yang terbatas dan kendala-kendala lainnya-seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sayangnya, kenyataan yang saya hadapi tidak demikian.
Setelah diskusi project sore yang sangat dilematis itu, saya pun melanjutkan tugas. Hasil diskusi menyisakan pekerjaan rumah yang cukup banyak. Desain interior yang sudah setengah jalan harus kami rombak dari awal. Saya sudah menduga hal ini akan terjadi. Sebab, konsultan interior sudah tidak menunjukan kinerja yang baik sejak hari pertama mereka bekerja.Â
Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), identifikasi risiko sudah seyogyanya dilakukan. Berbagai upaya mitigasi telah saya lakukan untuk meminimalisir timbulnya dampak negatif. Akan tetapi mitigasi itu tak lebih dari ikhtiar saja. Terkadang hasil yang kita terima tak sesuai dengan ekspektasi.
Pada kasus ini, risiko mendapatkan penyedia yang tidak tepat mutu tak mampu saya tolak. Bukan karena saya tidak punya nyali untuk menolak hasil kerja kelompok kerja pemilihan (sebutan untuk panitia seleksi konsultan), namun-saya sadar-penolakan hanya akan berbuntut pada panjangnya waktu untuk melakukan seleksi ulang. Durasi pekerjaan akan semakin menipis, kinerja organisasi pun akan terganggu.
Padahal, saya sempat optimis dengan hasil seleksi dari kelompok kerja pemilihan. Salah satu anggotanya cukup saya kenal memiliki kemampuan yang memadai dan cukup berpengalaman untuk seleksi semacam ini. Saya sangat yakin, ia bisa memimpin anggota kelompok kerja pemilihan lainnya untuk bekerja secara profesional.Â
Saya ingat betul ketika ia bertanya kepada saya. "Apakah ada arahan dari pimpinan untuk pekerjaan jasa konsultansi ini?".
Dengan tegas saya menjawab, "Tidak ada".Â
Pertanyaannya semacam itu biasa dilontarkan oleh kalangan kami, pengelola pengadaan. Saya mengira ia berupaya mengonfirmasi apakah ada intervensi negatif dari pimpinan untuk mengarahkan pemenang seleksi pada pekerjaan tersebut dan akan memberi jawaban yang bijak untuk menolak atau merekomendasikan jalan keluar. Rupanya, ia punya maksud lain.Â
Seharusnya jawaban saya pun membuat mereka bisa berkerja dengan penuh integritas. Belakangan, saya baru menyadari konfirmasi itu justru bermakna: "jika pimpinan tidak mengirim jagoan, maka jagoan kami bisa menang".
Singkat cerita-setelah proses seleksi yang penuh kejanggalan-saya mereviu hasil seleksi kelompok kerja pemilihan. Saya menduga, mereka berupaya memenangkan satu-satunya peserta seleksi yang mendaftar.Â
Aneh. Padahal, tidak ada syarat yang diskriminatif. Mengapa yang mendaftar hanya satu peserta. Saya menduga ada pembatasan akses ke Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), sehingga yang bisa mendaftar hanya satu peserta tersebut. Tapi itu semua hanya dugaan. Saya tidak punya bukti apa pun.
Kejanggalan itu berlanjut pada tahap persiapan kontrak. Personel yang ditawarkan saat seleksi tak kunjung dihadirkan, bahkan untuk sekedar bergabung di Whatsapp Group. Saya menduga manajemen konsultan dan personel yang ditugaskan tidak siap dengan gaya saya mengelola kontrak.Â
Mereka seperti gelagapan ketika diminta foto selfie dengan KTP dikirim via Whatsapp Group. Saya pun menduga banyak di antara personel belum mencapai kesepakatan nilai fee dengan manajemen sebab belum adanya perikatan di antara mereka. Dokumen personel yang disampaikan pada saat seleksi kemungkinan besar berstatus 'pinjaman', hanya demi memenangkan seleksi.
Alhasil, saya memulai kontrak desain interior itu dengan setengah hati. Dalam pikiran saya, pekerjaan ini harus tetap dilaksanakan dengan segala risikonya dan saya adalah pihak yang harus menanggung risiko tersebut.
Setelah membuang waktu untuk menunggu semua personel bergabung dalam Whatsapp Group yang saya buat, saya pun mengundang mereka untuk rapat perdana.Â
Di rapat tersebut-selain berbicara hal-hal yang bersifat teknis-saya berpesan kepada semua pihak yang hadir. "Jangan ada yang melakukan tindakan koruptif dalam pekerjaan ini. Serapat apapun kalian tutupi-insyaa Allah-saya pasti akan tahu."Â
Pesan itu saya tujukan bukan hanya kepada konsultan terpilih, namun tim internal yang ada di belakang saya juga. Meski dunia pengadaan barang/jasa lekat dengan persepsi koruptif, tapi saya tidak ingin itu terjadi di pekerjaan yang saya pimpin. Siapapun yang menodai visi itu, pasti akan saya mintai pertanggungjawaban.
Lalu, pekerjaan pun dimulai. Personel ahli dan berpengalaman yang ditawarkan dalam dokumen penawaran tak lebih dari anggota Whatsapp Group. Kehadiran mereka di lokasi pekerjaan atau di dalam rapat bisa dihitung dengan jari. Saya lebih sering melihat anak-anak muda fresh graduate yang bekerja di lapangan.Â
Hal itu berdampak pada kualitas desain yang dihasilkan. Memang, mereka bisa membuat desain interior. Tetapi yang saya butuhkan lebih dari sekedar tukang gambar, saya butuh tim konsultan.
Dua bulan lamanya setelah saya menghadapi kondisi tersebut. Tiba-tiba team leader dari konsultan menghubungi saya. "Tumben!". Kata saya dalam hati. Padahal sebelumnya, bicara di dalam rapat pun sangat jarang. "Mengapa tiba-tiba beliau menelepon?". Gumam saya.
Kabar tak sedap saya dapatkan darinya. Pengakuannya membuat saya naik pitam. Kecurigaan saya di awal terbukti benar. Dari mulut sang Team Leader saya mendapatkan informasi bahwa dokumen pribadinya dipalsukan oleh manajemen konsultan dalam proses seleksi, mereka juga tidak pernah melibatkannya dalam proses desain dan tidak membayar fee yang sudah dijanjikan.
Saya merekam percakapan telepon tersebut. Saya menyiapkan skenario untuk memberi konsultan sanksi yang setimpal. Dua surat peringatan (SP) saya layangkan dalam tenggat waktu yang sangat singkat. Saya manfaatkan ketidakmampuan manajemen konsultan untuk menghadirkan Team Leader sebagai dasar penerbitan SP. Kesempatan pun mereka tinggal satu kali. Jika SP ketiga saya terbitkan, maka tamat riwayat mereka di project ini.
Di kesempatan terakhirnya, mereka bermohon untuk mengajukan Team Leader pengganti. Berbagai alasan mereka berikan sebagai pembenaran, namun hati saya sudah membatu.
Saya pun bertanya kepada perwakilan manajemen konsultan kala itu, seorang direktur.
"Seharusnya, perusahaan anda tidak bisa menang seleksi kalau Pokja Pemilihan melakukan evaluasi dengan benar. Sebab, sudah jelas anda melakukan pemalsuan. Anda bukan saja tidak akan memenangkan seleksi, tapi perusahaan anda akan di-blacklist. Aneh kalau anda bisa lolos. Jangan-jangan anda menyuap Pokja Pemilihan ya?". Cecar saya.
Sang direktur mengelak dari tuduhan saya. Tapi gerakan bola matanya tak bisa menutupi kebohongan itu. Sayangnya, saya memang tidak punya bukti yang cukup untuk menguatkan tuduhan tersebut.Â
Pembicaraan kami berakhir dengan perasaan yang mengganjal. Untuk kesekian kalinya, saya memberi kesempatan mereka untuk melanjutkan pekerjaan. Saya sadar-jika sampai putus kontrak-konsekuensinya akan lebih pahit. Saya lebih mengutamakan kinerja organisasi ketimbang idealisme yang sudah dicederai oleh mitra kerja saya sendiri.
Selain itu, harapan saya untuk mendapatkan dukungan dari Auditor Internal terkait pengenaan sanksi atas pemalsuan data dalam proses seleksi pun pupus. Pengaduan dan bukti-bukti yang saya sampaikan tak pernah ditindak lanjuti. Dugaan saya pun semakin liar. Saya menduga ada kelompok berpengaruh di belakang para oportunis ini. Kelompok yang mengendalikan beberapa project konstruksi yang dilaksanakan di tahun anggaran yang sama. Kelompok yang belakangan saya ketahui terafiliasi dengan atasan dan sahabat saya sendiri.
(Bersambung ke Bagian Tiga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H