Di kesempatan terakhirnya, mereka bermohon untuk mengajukan Team Leader pengganti. Berbagai alasan mereka berikan sebagai pembenaran, namun hati saya sudah membatu.
Saya pun bertanya kepada perwakilan manajemen konsultan kala itu, seorang direktur.
"Seharusnya, perusahaan anda tidak bisa menang seleksi kalau Pokja Pemilihan melakukan evaluasi dengan benar. Sebab, sudah jelas anda melakukan pemalsuan. Anda bukan saja tidak akan memenangkan seleksi, tapi perusahaan anda akan di-blacklist. Aneh kalau anda bisa lolos. Jangan-jangan anda menyuap Pokja Pemilihan ya?". Cecar saya.
Sang direktur mengelak dari tuduhan saya. Tapi gerakan bola matanya tak bisa menutupi kebohongan itu. Sayangnya, saya memang tidak punya bukti yang cukup untuk menguatkan tuduhan tersebut.Â
Pembicaraan kami berakhir dengan perasaan yang mengganjal. Untuk kesekian kalinya, saya memberi kesempatan mereka untuk melanjutkan pekerjaan. Saya sadar-jika sampai putus kontrak-konsekuensinya akan lebih pahit. Saya lebih mengutamakan kinerja organisasi ketimbang idealisme yang sudah dicederai oleh mitra kerja saya sendiri.
Selain itu, harapan saya untuk mendapatkan dukungan dari Auditor Internal terkait pengenaan sanksi atas pemalsuan data dalam proses seleksi pun pupus. Pengaduan dan bukti-bukti yang saya sampaikan tak pernah ditindak lanjuti. Dugaan saya pun semakin liar. Saya menduga ada kelompok berpengaruh di belakang para oportunis ini. Kelompok yang mengendalikan beberapa project konstruksi yang dilaksanakan di tahun anggaran yang sama. Kelompok yang belakangan saya ketahui terafiliasi dengan atasan dan sahabat saya sendiri.
(Bersambung ke Bagian Tiga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H